"Apa ada sesuatu yang serius, Ray?" tanya Lia menatap wajah kekasihnya.
"Tidak ada yang serius. Hanya aku harus meninggalkan profesi guru konselingku, perusahaan membutuhkan aku, baby." Pria itu memainkan helai rambut wanita cantik di pelukannya.
"Selain itu, bukankah aku harus mengumpulkan banyak uang untuk pernikahan kita," lanjutnya.
Lia menatap kedua manik mata kekasihnya, "Aku tidak memerlukan kemewahan untuk pernikahan kita. Sederhana saja, asalkan ada kamu di sampingku."
Pria itu kembali mengecup mesra bibir calon istrinya yang cantik. Kedua tangannya memeluk pinggangnya yang ramping. Tapi isi kepalanya bergerak tak tentu arah. Ia sedang memikirkan pembicaraan serius melalui telepon tadi.
Lia mendorong tubuh Ray ketika ia merasa mulai tak nyaman. Ia menatap kedua manik mata pria di hadapannya. "Ray, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Maaf Lia, aku... sebaiknya aku menyelesaikan masalahku dulu," kata Ray yang dengan segera berdiri dan keluar dari rumah itu.
Tak lama setelah kepergian Ray, sebuah mobil membunyikan klaksonnya dengan keras di depan pintu gerbang kediaman Savero. Lia dengan terkejut melompat dan berlari keluar.
Sebuah mobil Alphard berhenti tepat di depan gerbang rumahnya. Pengemudinya membuka kaca sampingnya. "Leon, sakit. Sebaiknya kau segera menemuinya."
"Leon? Siapa kamu?" tanya Lia.
Sang pengemudi melepas kacamata hitamnya. Lia menatapnya tak percaya, Samuel Augusto! Bagaimana dia menemukan kediamannya.
"Kau akan menemuinya atau tidak. Jika tidak, aku akan kembali pulang," katanya dengan nada datar.
"Ti-dak, eh... iya. Tunggulah, aku akan mengambil tas dan ponselku," jawab Lia dengan terbata-bata.
Samuel menghela napas dan membuang pandangannya ke depan. Dia tetap orang yang sama selama hampir delapan tahun berlalu, namun ia tetap orang yang dingin.
Setelah mengambil tas dan mengunci pintu rumahnya, Lia masuk ke dalam mobil Samuel. Mereka berdiam diri seolah tak saling kenal.
Perasaan Lia menjadi tak menentu. Bayangan kejadian malam itu kembali mengusiknya. Apakah dia mengenaliku? Sesekali Lia melirik ke samping kanannya. Samuel dengan cueknya menatap jalanan tanpa menganggapnya ada.
Lia menghela napas lega. Sepertinya Samuel tak mengenalinya. Dia lupa atau bahkan tak tahu siapa wanita yang bersamanya malam itu.
Samuel spontan menoleh, mendengar helaan napas Lia. "Kenapa? Apa kau mempunyai masalah denganku?"
"Ehm... ti-tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya memikirkan bagaimana keadaan Leon." Lia yang begitu gugup segera mencari alasan untuk menutupi kegugupannya.
"Sebelum ini, dimana kalian tinggal?"
"Kami tinggal di Singapore. Leon lahir dan besar di sana," kata Lia.
"Bagaimana dia bisa memainkan biola se-piawai itu di usianya yang baru 7 tahun? Apakah ayahnya adalah seorang musisi?" tanya Samuel.
Lia tertawa dengan gugup. Bagaimanapun juga dia harus menutupi kebenarannya. Kebenaran tentang ayahnya. "Dia mempelajarinya dari internet. Kau tahulah segala hal dapat kau pelajari dan kau kuasai sendiri melalui internet, saat ini."
"Bagaimana hari pertama dia di rumah karantina?" tanya Lia. Ia berusaha menghindari pertanyaan selanjutnya mengenai ayah dari puteranya.
"Aku rasa dia memiliki jiwa music yang baik. Dia dapat menguasai lagu dengan cepat dan mengalunkannya dengan alat musiknya," kata Samuel.
"Bukan, maksudku... apakah dia dapat bergaul dengan peserta lainnya? Terus terang aku ragu, dia adalah satu-satunya peserta anak-anak," sahutnya.
"Iya. Dia menyendiri. Dia mengatakan padaku jika dia rindu rumah di hari pertamanya. Dia memikirkan ibunya."
"Jadi, dia tidak memiliki seorang teman pun di sana?"
"Aku. Dia selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Dia berlatih bersamaku, saat santai juga di sampingku. Entah kenapa aku tak bisa melepaskan diri darinya."
Lia menundukkan kepalanya. Ia tahu bagaimana perasaan bocah kecilnya saat ini. Ia pasti menahan diri untuk tidak memeluk ayah kandungnya. Ia pasti sedih dan gelisah. Atau mungkin ia sakit karena memikirkan hal ini!
"Kenapa? Kau merasa tak enak hati?" tanya Samuel.
Lia tertawa, "Apakah dia semerepotkan itu? Bahkan menurutku, dia anak yang sangat mandiri."
Samuel tertawa. "Benar. Kau benar. Dia sangat mandiri. Bahkan mempelajari segalanya dan mengobati segala keingintahuannya sendiri dari internet. Luar biasa."
Lia tertawa, "Iya. Aku terbiasa menyuruhnya membuka informasi dari internet. Hal ini mulai terjadi ketika rasa ingin tahunya semakin memuncak. Tentu saja, aku tak ingin kehilangan kesempatan. Di masa golden age-nya itulah aku mulai mengajarkan padanya untuk bertanya pada internet."
"Kau benar-benar praktis." Samuel kembali fokus pada jalanan.
"Aku tak ingin salah dalam menjelaskan hal yang sangat ingin diketahuinya. Akan fatal jika hal yang salah itu tersimpan dalam memorinya." lanjut Lia.
"Semoga dia juga adalah anak yang bertanggung jawab. Akan sangat berbahaya jika anak seumur dia mengkonsumsi segala ilmu tanpa pengawasan dari orang tua." Lia menatap pria di sampingnya. Sepeduli itukah dia pada Leon. Atau semua arogansinya di layar televisi adalah sebuah kepalsuan belaka.
"Turunlah. Leon ada di kamarnya." Samuel memarkir mobil nya di carport rumahnya.
"Satu hal lagi." Lia tiba-tiba mengingat rasa penasarannya. "Bagaimana kau bisa mengetahui kediamanku?"
"Leon memintaku menjemputmu. Kurasa aku sudah tak mempunyai hutang padanya." Sam terkekeh sambil menutup pintu mobilnya.
Lia berjalan di belakang Samuel masuk ke dalam rumah karantina. Terlihat beberapa remaja dan dewasa berlatih di sebuah ruangan. Samuel mengarahkan telunjuknya ke sebuah kamar lainnya.
"Mami," panggil Leon ketika melihat sosok wanita cantik membuka pintu kamarnya. Wanita cantik itu berjalan mendekati ranjang anaknya.
Ia memeriksa kening putranya dengan menempelkan telapak tangannya. "Kau kenapa Leon?"
Leon hanya menggeleng, "Aku hanya rindu mami."
"Apa sebaiknya kau pulang saja, sayang. Tak usah kau ikut kompetisi seperti ini. Kau bahkan masih terlalu kecil."
"Tidak mam. Aku harus di sini selama mungkin. Aku ingin lebih mengenal ayahku, walaupun dia tidak tahu bahwa aku puteranya." Leon tersenyum menatap wajah cantik ibunya yang terlihat cemas.
"Aku akan baik-baik saja, mam."
"Tidak Rudy, aku sudah katakan padamu. Cari orang itu sampai dapat. Dan habisi dia bahkan keluarganya!" suara keras Samuel terdengar hingga ke dalam kamar.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Samuel menutup panggilan teleponnya dan berjalan menuju Leon. "Aku sudah membayar hutangku, bukan. Jadi kau tahu harus bagaimana selanjutnya?"
Lia benar-benar terkejut. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Pembicaraan teleponnya begitu misterius. Siapa sebenarnya orang yang sedang dicarinya, lalu apa sebenarnya yang sedang dibicarakannya dengan Leon?
Lia menatap puteranya dengan tatapan tak percaya. Leon mengangguk dengan patuhnya. Samuel tertawa senang dan berlalu dari kamar itu.
Dengan geram, Lia mengikuti pria itu. Kecurigaannya pada Samuel tiba-tiba muncul. Dia tak ingin anaknya celaka karena kecerobohannya. Ditariknya lengan tangan Samuel hingga menghadapnya. "Hutang dan tindakan selanjutnya. Jelaskan padaku semuanya, sebelum aku menjadi salah paham!"
🌹🌹🌹🌹🌹
Hai semuanya--
Kali ini Chocoberry bikin karya baru dan karya ini aku ikutkan pada lomba anak geniusnya Noveltoon.
Khas tulisan Choco ya... uwu dan bikin baper, tapi ringan ga bikin masalah hidup yang udah berat semakin berat. Ehem...
Ikutin terus dan jangan lupa tap ❤ - klik 👍 and vote. Eh dan jangan lupa tinggalkan jejak komen kalian ya... Komentar kalian adalah motivasi untukku.
사랑 해요
salang haeyo 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Siti Nurjanah
ternyata Ray TDK sebaik yg ada di pikiranku. blm dah jd suami istri main sosor trs
2023-06-05
0
𝙦𝙞𝙡𝙡𝙖 𝙋𝙆𝙓𝘿 🗿
kayaknya Samuel & Ray ada kaitan nya ya 🤔🤔
2021-10-04
2
Aqiyu
hmmmm 🤔🤔🤔🤔🤔🤔🤔
2021-09-29
1