Lia menyeret kopernya masuk ke dalam bandara keberangkatan internasional. Sesekali ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya dari orang-orang yang berlalu lalang.
Beberapa orang melihatnya dengan pandangan prihatin. Tentu saja mereka akan merasa kasihan melihat mata sembab Lia yang terkesan bengkak. Ia telah menangis semalaman.
Kesedihannya, di saat ia sedang terpuruk karena suatu masalah tapi ayahnya menolaknya dan menyingkirkannya hanya karena sebuah nama baik.
Ia sudah terbiasa hidup serba kecukupan, sebentar lagi dia harus berjuang sendiri di perantauan. Ditambah lagi dengan masa depannya. Bagaimana dia akan bisa mengurus kehamilan dan anaknya kelak.
Suara dari pengeras suara bandara menyadarkannya dari lamunannya. Ia bergegas berjalan menuju pramugari yang berdiri di depan pintu masuk pesawat. Pramugari itu memeriksa pasport dan ticketnya sebelum masuk ke dalam kabin pesawat.
Lia duduk di kursinya, tepat di sebelah jendela. Seorang wanita berusia setengah baya duduk di sebelahnya, menyapanya dengan ramah.
"Hai,"
Lia membalas senyumannya. "Hai mam."
"Apa kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja," jawabnya dengan nada getir.
"Sayang, setiap manusia mempunyai masalah. Semua tergantung pada cara menghadapinya," kata wanita itu, "busungkan dadamu, hadapi masalahmu. Dan kau akan menang."
Cairan bening kembali keluar dari matanya. Wanita setengah baya itu dengan sabar mengeringkannya dengan selembar tissu di tangannya.
"Tidak ada salahnya untuk menangis. Air mata dapat membasuh semua luka di hatimu," katanya, "asal kau tak terlalu lama menangis. Jika kau terus menangis, kau akan semakin terpuruk dan susah untuk bangkit."
Perjalanan udara itu terasa sangat cepat saat kedua wanita itu saling berbincang dan menceritakan kisahnya.
"Putriku yang malang, dia harus berjuang melalui beberapa kali kemoterapi. Namun tak ada yang dapat aku lakukan. Dia tetap harus pergi," katanya mengakhiri kisahnya.
"Aku turut berduka, mam."
"Aku baik-baik saja. Semua sudah aku lalui," kata wanita itu. Sebuah senyuman terukir di wajahnya.
"Lia, kau boleh tinggal bersamaku jika kau mau. Aku akan sangat senang sekali mendapatkan seorang putri sepertimu," kata wanita itu. "Kau bisa menempati kamar almarhum putriku."
"Baiklah mam. Pasti akan menyenangkan. Lagi pula aku belum memikirkan apa yang akan kulakukan nanti."
"Lia, jangan khawatir. Aku akan mendukungmu. Kau adalah putriku kini," sahutnya. "Putri keluarga Savero."
Tak terasa waktu cepat berlalu. Setelah kejadian yang membuatnya sangat terpuruk dalam lubang kegelapan, perlahan ia mulai merangkak bangkit.
Kini cahaya telah muncul dalam kehidupannya. Benih yang tertanam dalam rahimnya telah menjelma menjadi seorang anak yang sangat tampan lagi pintar.
"Mami, mami," bocah kecil itu melompat kegirangan saat aku menjemputnya di sekolah. Di lehernya tergantung sebuah medali. Entah kompetisi apa lagi yang diikutinya.
Lia menggiringnya masuk ke dalam mobil. "Leon, kali ini kompetisi apa lagi yang kau menangkan, sayang?"
"Mathematic, mami!" jawabnya. "Mami, ada surat untukmu dari ibu guru."
"Surat untuk mami? Apa kau melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, sayang?" Lia tertawa terkekeh sementara sang bocah cemberut mendengar canda ibunya.
Lia membuka lembaran surat itu. Sebuah surat tentang keinginan sekolah melakukan pertukaran pelajar. Dan sekolah menunjuk Leon sebagai salah satu pesertanya.
"Baiklah. Kita tidak akan berangkat," kata Lia sambil melipat kembali kertas itu.
"Tapi, mami. Leon ingin berangkat. Leon ingin tahu negara tempat mami lahir dan besar," kata Leon merengek.
"Mami said, no!"
Leon memasang muka cemberutnya. Demikian seharian ia hanya memasang muka masam hingga Grany Diane pun menegurnya.
"Leon, kemarilah," panggil Diane. "Kau cemberut seharian. Ada apa sebenarnya."
"Grany, Leon mendapat kesempatan mengikuti pertukaran pelajar, tapi mami tak mau Leon berangkat."
"Apa masalahnya, Lia. Berangkatlah. Temani anakmu mengikuti pertukaran pelajar."
"Mam, aku akan antar. Tapi tidak jika itu adalah Indonesia!"
"Apa kau lupa, Lia. Kau belum menang. Angkat kepalamu, busungkan dadamu dan takhlukkan masalahmu," kata Diane. "Aku yakin kau akan menang. Setelah semua kesedihan kau lalui, pasti kebahagiaan akan datang. Berangkatlah sayang."
🌹🌹🌹
Demikianlah, Lia kembali menyeret kopernya keluar dari bandara kedatangan internasional. Kali ini dia tidak sendiri. Seorang bocah kecil tampan mengiringi langkah kakinya. Tangan kanannya menarik sebuah tas koper dan di tangan kirinya sebuah hardcase.
Seorang pria muda menunggu di pintu keluar, dia membawa sebuah papan bertuliskan sebuah nama dengan huruf besar seluruhnya. LEONARD.
"Pak Toni?" tanyaku.
"Oh, hai Nona Cornelia," katanya dengan ramah. "Dan kau pasti Leonard."
"Senang bertemu dengan kalian. Nyonya Diane menyuruhku menjemput anda dan mengantar kalian ke rumah tinggalnya," katanya, sementara tangannya dengan cekatan mengambil alih koper kami.
Seorang pegawai yang cekatan. Dengan segera ia mengatur semua tas ke dalam mobilnya.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di kediaman Savero. Sebuah vila kecil di tengah kota.
"Mami, nanti sore bisa antar Leon?" Bocah kecil itu menganggetkan ibunya yang sedang asik menata pakaiannya ke dalam lemari.
"Kau mau kemana Leon?" tanya Lia kembali dengan kesibukannya setelah melirik sejenak kesibukan puteranya.
"Leon baru saja apply form kompetisi pencarian bakat, mam," kata bocah itu masih tetap asik dengan artikel di dalam laptopnya.
"Baiklah. Kau mandi dan bersiaplah dulu. Lalu ceritakan pada mami, jam dan tempat kompetisinya."
Dengan patuh, Leon segera mematikan laptopnya dan bergegas ke kamar mandi. Lia tersenyum, entah apa lagi yang akan membuatnya takjub.
Bocah tampannya selalu berhasil membuatnya terkagum-kagum. Entah apa yang tak bisa dilakukan oleh anak ajaibnya. Ia adalah anugerah terindah untuknya.
"Mami, Leon sudah mandi. Sudah siap. Ayo, jam 5 sore nih, mam."
"Iya. Mami antar. Ayo, mami udah siap kok. Sini alamatnya," kata Lia mencangklong tasnya dan menyambar kunci kontak yang tergantung di dinding.
"Memangnya mami tahu tempatnya?" tanya Leon.
"Mami kan dulu juga tinggal di sini. Mami rasa tak akan banyak perubahan berarti," kata Lia sambil mengendarai mobil city car-nya.
"Leon, sepertinya kita tersesat."
Bocah itu tertawa. "Mami, belok di bundaran depan dan kita ambil arah ke kiri."
"Kau yakin, Leon? Apa kau perlu GPS?" tanya Lia.
"Yakin mam. Leon sudah hafalkan peta kota ini. Kita tidak mungkin tersesat," jawabnya meyakinkan ibunya.
Tak lama kemudian, Lia sudah memarkirkan mobilnya di sebuah halaman sebuah gedung yang cukup besar. Tempat audisi kompetisi pencarian bakat.
Leon menjinjing hardcase di tangan kirinya, sementara tangan kanannya menggandeng tanganku.
Seorang pria menghampiri kami.
"Dimana tempat audisi pencarian bakat?" tanyaku.
"Apa kau sudah mengisi formulir?"
"Sudah secara online, sudah. Dan seharusnya sebentar lagi adalah giliranku."
"Online? Kami tidak membuka jalur online," kata pria itu. "bagaimana mungkin--"
"Kau boleh mengeceknya."
Sementara dari pengeras suara terdengar suara panggilan. "Leonard Savero, peserta dengan nomer 2035. Silahkan tampil."
"Maaf, itu nama saya," katanya sambil melewati petugas yang masih tercengang.
🌹🌹🌹🌹🌹
Hai semuanya--
Kali ini Chocoberry bikin karya baru dan karya ini aku ikutkan pada lomba anak geniusnya Noveltoon.
Khas tulisan Choco ya... uwu dan bikin baper, tapi ringan ga bikin masalah hidup yang udah berat semakin berat. Ehem...
Ikutin terus dan jangan lupa tap ❤ - klik 👍 and vote. Eh dan jangan lupa tinggalkan jejak komen kalian ya... Komentar kalian adalah motivasi untukku.
사랑 해요
salang haeyo 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Aqiyu
wow
2021-09-29
1
𝙦𝙞𝙡𝙡𝙖 𝙋𝙆𝙓𝘿 🗿
wah sayang ga ada POV nya Samuel sejak malem itu thor 😁🤭
2021-09-28
1
Rina Siti Mυɳҽҽყ☪️💟⨀⃝⃟⃞☯
semangat 😘
2021-08-03
1