"Leon ingin menjaga mami!" kata bocah kecil itu.
"Menjaga mami? Mami yang wajib menjagamu, sayang."
"Tapi mami adalah seorang perempuan. Dan seorang laki-laki harus menjaga perempuan." Leon melipat kedua lengannya di dadanya. "Leon tidak ingin mami dicelakai orang jahat. Bukankah Leon satu-satunya yang bisa melindungi mami di dunia ini?"
Lia menyembunyikan kekacauan dalam hatinya. Ah, Leon bahkan masih berusia 7 tahun tapi mengapa sudah menpunyai pemikiran seperti ini. Bukankah seharusnya dia menikmati masa kecilnya dengan bermain dan bersenang-senang dengan teman-temannya.
Leon melirik ibunya yang terlihat menghela napas. Dia berpikir, apakah kesalahannya berlatih tae-boxing secara mandiri? Apakah salahnya menjadi penjaga ibunya? Mengapa ibunya merasa tertekan karenanya alih-alih bangga akan pencapaiannya saat ini.
"Mami, apa mami marah? Apa Leon tidak boleh belajar tae-boxing? Bahkan Leon tidak menyerang siapapun, mami. Dia yang menyerang Leon." Bocah kecil itu menatap wajah ibunya dengan pandangan cemas. "Maafin Leon, mami."
Ah... dia memang manis. Bahkan dia meminta maaf untuk sesuatu yang tidak dia perbuat, hanya untuk melegakan hatiku.
"Leon, tae-boxing adalah seni bela diri yang cukup berbahaya. Mami harap kamu bisa mengontrol bagaimana kau mempergunakannya. Mami tidak ingin siapapun terluka karenamu." Lia memutuskan untuk mendukungnya dan memberikan peringatan daripada memintanya untuk berhenti.
Lia tahu, akan percuma untuk menghentikan Leon. Ia tahu karakter Leon yang kuat, jika ia memilih untuk menjadi penjaga ibunya, dia akan tetap mencari cara lain untuk mencapainya.
*****
"Silahkan masukkan semua buku kalian! Meja bersih, hanya pensil dan sebuah penghapus saja yang boleh ada di atasnya. Ibu Lely akan memberikan tes untuk mengetahui seberapa pemahaman kalian pada materi ini."
Guru pengampu matematika itu menebarkan pandangannya pada seluruh penghuni kelas. Semua siswa mengemas buku mereka ke dalam tasnya. Dan selang tak lama kemudian, ruang kelas menjadi sunyi.
Bu Lely, guru pengampu matematika yang terkenal kedisiplinannya. Semua siswa patuh padanya tak ada yang berani bertindak gegabah sehingga berakhir mendapat skor buruk.
Bu Lely membagikan lembaran kertas test ke barisan terdepan setiap lajur dan mereka mendistribusikan lembaran itu hingga ke meja paling belakang. Semuanya dalam suasana hening.
"Apa semua sudah mendapatkan soalnya?" tanyanya dengan suara bening dan lantang pada seluruh siswa penghuni kelas.
"Sudah bu!"
"Baiklah. Sekarang kalian boleh mengerjakan ketiga puluh soal itu dengan baik dan cermat. Waktunya sampai jam pelajaran kita berakhir. 90 menit." Bu Lely menjelaskan semuanya dengan cermat.
Soal penjumlahan dan pengurangan bersusun untuk anak kelas 1 SD, apalagi dengan jumlah soal sebanyak itu. Waktu 90 menit adalah standar waktu yang cukup.
Bu Lely duduk di kursinya, di depan kelas. Tapi tanpa diduganya, seorang anak berdiri lalu berjalan ke arahnya. Bocah kecil itu menyerahkan selembar kertas berisi soal yang telah penuh dengan jawabannya.
Bu Lely terperangah. Ia menatap bocah kecil itu dengan tatapan terkejut. Dalam benaknya apakah sistem pendidikan di negara tetangga itu lebih maju daripada negaranya. Tapi ini keterlaluan. 5 menit untuk 30 soal yang diberikannya.
Bu Lely membaca jawaban yang tertulis di lembaran itu. Wajahnya tiba-tiba berubah memucat. Ketika sebuah soal yang diberikannya terdapat kesalahan, namun dijawab dengan benar oleh Leon. Bahkan ini tentang bilangan negatif! Sampai dimana kiranya pelajaran matematika yang sudah didapatkannya.
"Baiklah. Aku tak mungkin mengijinkanmu istirahat lebih awal," katanya. "Pergilah ke ruang konseling dan berbicaralah pada Pak Ray."
"Baik, Bu." Leon keluar dari kelasnya dan berjalan menuju ruang konseling dengan patuhnya. Sementara seisi kelasnya menjadi riuh karena kejadian itu.
Terdengar suara lantang Bu Lely yang dengan segera membuat ruang kelas kembali hening.
Bocah kecil itu menghentikan langkahnya di depan pintu ruang konseling. Dengan perlahan, diketuknya pintu itu.
Bocah kecil itu melangkah masuk ke dalam ruangan konseling dan menyeret kursi di hadapan Pak Ray yang tersenyum menyambutnya.
"Kau semakin sering mengunjungiku, Leon." Guru muda itu menautkan jari jemari kedua tangannya di atas meja.
"Bu Lely menyuruhku kemari, Pak. Entah apa kesalahanku kali ini," kata bocah kecil itu dengan sedih.
Pak Ray mengerutkan keningnya. "Apa kau mengacau di kelas matematika?"
Ini sangat aneh, hampir tidak ada kasus siswa dalam pelajaran matematika. Bu Lely termasuk guru killer di sekolah itu dan hampir tidak ada siswa yang mau berurusan dengannya.
Bocah kecil itu menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Tidak pak. Aku bahkan sudah menyelesaikan semua soalnya dengan cepat dan mengumpulkannya. Tapi aku tak tahu mengapa aku malah dikirim kemari."
Pak Ray mengangkat teleponnya. "Ya, Bu." Lalu ia hanya mendengarkan suara seseorang yang keluar dari gagang pesawat telepon di tangannya.
"Baiklah. Saya mengerti." Pak Ray meletakkan kembali gagang pesawat telepon itu ke tempatnya semula.
Ia menatap wajah bocah di depannya. "Baiklah. Bapak ingin sekali bertemu kembali dengan ibumu. Ada beberapa hal yang bapak ingin ketahui tentang pendidikanmu sebelumnya."
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu ruang konseling. Seraut wajah cantik muncul dari balik pintu tertutup itu.
"Ibu Cornelia. Silahkan duduk," katanya dengan ramah.
"Mami...."
Lia melemparkan senyuman pada puteranya. Dalam hatinya terbersit pertanyaan, apa lagi yang telah diperbuat putera ajaibnya ini.
"Leon, kau tunggulah di depan. Di ruang tunggu. Bapak akan berbicara dengan ibumu."
Leon mengangguk dengan patuh dan berjalan keluar. Ray mengikuti langkah kaki bocah itu hingga pintu ruangannya tertutup.
"Jadi, apa lagi yang diperbuatnya kali ini pak?" tanya Lia tanpa basa-basi. Ia sudah siap mendengarkan apapun yang ingin disampaikan oleh guru pria di hadapannya.
"Tidak, saya hanya ingin tahu pencapaian Leon di sekolah sebelumnya supaya bisa menempatkannya di kelas yang sesuai, ibu." Ray menjelaskan kesalahpahaman itu.
"Maksud bapak? Apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh anak berusia 7 tahun ini? Apakah dia tidak layak untuk bersekolah di sini?" Lia begitu terkejut, apa sebenarnya yang telah terjadi, mengapa guru konseling ini menganggap Leon tidak layak berada di kelasnya?
"Ini bukan masalah seperti yang anda bayangkan. Leon sudah menguasai materi yang seharusnya dia dapatkan di kelas 5 SD. Ini sangat tidak mungkin. 30 soal matematika dia selesaikan dalam 5 menit. Bahkan tanpa suatu kesalahan."
Lia menggigit bibirnya dengan gelisah. "Dia banyak belajar dan berlatih, pak. Bahkan di sekolah lamanya, ia sering diikutsertakan dalam olimpiade dalam berbagai mata pelajaran." Lia menjelaskan kemampuan Leon.
"Jadi, dia belajar dan belajar apapun sebagai pelampiasan rasa kesepiannya. Kembali ke saran saya kemarin, seorang anak harus mendapat porsi yang cukup, bermain dan berkembang secara emosional. Anak laki-laki sangat membutuhkan sosok ayah."
🌹🌹🌹🌹🌹
Hai semuanya--
Kali ini Chocoberry bikin karya baru dan karya ini aku ikutkan pada lomba anak geniusnya Noveltoon.
Khas tulisan Choco ya... uwu dan bikin baper, tapi ringan ga bikin masalah hidup yang udah berat semakin berat. Ehem...
Ikutin terus dan jangan lupa tap ❤ - klik 👍 and vote. Eh dan jangan lupa tinggalkan jejak komen kalian ya... Komentar kalian adalah motivasi untukku.
사랑 해요
salang haeyo 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
𝙦𝙞𝙡𝙡𝙖 𝙋𝙆𝙓𝘿 🗿
Duuuh.... dikit2 masuk & diundang guru konseling, klo gue jd emaknya bs esmosi 🤪🤪🤣🤣🤭🤭
2021-10-03
4
Aqiyu
walaupun saran Rey bagus tapi kok nyesek ya
2021-09-29
3
🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn
up thorrrrr
2021-09-23
1