Lia terlihat mulai kesal pada guru di hadapannya ini. Bagaimana tidak, dia seakan memaksa dirinya untuk mencari seorang suami, ayah bagi anaknya. Apa dikiranya ini adalah hal yang mudah. Semudah ia membalikkan telapak tangannya.
Mencari seorang ayah bagi Leon, tentu saja akan sangat mudah jika Lia tidak terlalu memusingkan bahwa pria itu harus sangat mencintai Leon sama seperti dirinya.
"Bagaimana jika Leon saya serahkan pada Bapak selaku guru konselingnya. Biarlah bapak menjadi cerminan pengganti ayahnya." Lia dengan keputusasaannya menjawab pernyataan guru dihadapannya. "Terus terang, saya tidak mau jika harus mencari seseorang suami hanya ala kadarnya. Saya ingin memastikan kehidupan anak saya lebih baik dari saat dia hanya bersama saya."
Pak Ray menatap tajam perempuan cantik di hadapannya. Dalam hatinya bertanya-tanya, apakah ini adalah kesempatan yang dibukakan oleh Lia kepadanya. Jantungnya mulai berdetak cepat. Bahkan pria mana yang bisa menolak wanita secantik Lia. Sebuah kesempatan emas, dia tak ingin menyia-nyiakannya.
"Tentu saja. Tentu saja saya bersedia. Leon bukan anak yang nakal. Dia penurut. Hanya butuh sedikit sentuhan kasih seorang ayah." Pak Ray spontan menyetujui permintaan Lia.
"Baiklah jika itu saja yang ingin kau bicarakan, saya permisi dulu untuk keperluan yang lain." Lia berpamitan melihat tak ada lagi yang ingin di sampaikan oleh guru muda itu.
"Baiklah, Lia, boleh saya memanggil nama saja?" tanyanya. "Karena aku lihat aku lebih tua beberapa tahun darimu."
"Apapun. Tak masalah," jawab Lia dengan cuek.
"Saya akan mulai pendekatan pada Leon. Nanti biar saya yang mengantar Leon pulang."
"Baik. Saya serahkan urusan Leon untuk yang terbaik pada anda."
Ray mengangguk, segaris senyuman terlukis di wajahnya hingga sosok tubuh pemilik wajah cantik itu lenyap di balik pintu ruangannya.
"Yess!!" soraknya sambil mengepalkan tinjunya ke udara.
🌹🌹🌹🌹🌹
"Leon, naiklah. Jangan ragu-ragu. Kita jalan-jalan dulu sebelum aku mengantarmu pulang." Pak Ray membuka pintu depan mobil Innosa-nya untuk bocah kecil itu.
"Apa mami tak akan mencariku?" tanyanya dengan penuh keraguan.
"Ibumu tidak akan mencarimu. Aku sudah meminta ijin untuk mengantarmu pulang."
Leon masuk ke mobil, meletakkan tasnya dan memasang sabuk keselamatan. Pak Ray segera duduk di balik kemudi.
"Jadi, kau mempelajari semua hal dengan sendirinya dari internet," kata Pak Ray tiba-tiba.
Bocah kecil di sampingnya menoleh menatap sang guru. "Apa mami menceritakan sesuatu?"
Pak Ray mengangguk. "Yah, your mom told me everything about you. Kau bebas menceritakan apapun perasaanmu padaku."
Bocah kecil itu menatap pria di sampingnya dengan tatapan tak percaya. Benarkah ibunya telah memberikan kepercayaan kepada pria ini?
"Kau boleh menganggapku sahabat, teman bahkan kau bisa menganggapku ayahmu jika kau mau," lanjut Ray melihat bocah kecil di sampingnya hanya menatapnya seolah tak percaya.
Ray mengangguk. "Baiklah, aku akan bercerita tentang keluargaku terlebih dahulu."
Ray kembali fokus pada jalanan kota, sembari melanjutkan ceritanya. "Aku seorang yatim piatu. Almarhum orang tuaku memberikan aku amanah sebuah perusahaan. Namun aku terlalu kecil saat itu. Dan memasrahkan pengurusannya pada pamanku."
Bocah kecil itu menatap Ray kembali. "Guru yang aneh," pikirnya. "Untuk apa dia menceritakan kemalangannya kepadaku, untuk sebuah simpati?"
Ray tertawa, seperti mengetahui isi kepala sang bocah. Dia terus melanjutkan ceritanya. "Aku lebih memilih bekerja sebagai konseling di sekolah ini, daripada mengurusnya perusahaan ayahku. Aku suka anak-anak."
Ray memarkir mobilnya di halaman parkir sebuah resto. "Kita makan siang dulu sebelum pulang."
🌹🌹🌹🌹🌹
"Pak Ray, apakah mami menceritakan sesuatu tentang ayahku?" tanya bocah itu sambil memotong steak di piringnya.
Pria itu meneguk minumannya. "Tentu saja." Segaris senyuman terlihat di bibirnya.
"Bisakah kau menceritakannya kepadaku?" tanya bocah kecil itu.
Raynold menggelengkan kepalanya. Terlihat raut wajah kecewa bocah kecil itu. "Maaf, aku tidak bisa menceritakannya padamu, Leon. Aku sudah berjanji pada ibumu."
"Tapi aku berhak tahu, siapa ayahku," katanya.
"Aku harus meminta ijin pada ibumu jika ingin memberitahukannya padamu." Pria itu mengedipkan matanya pada bocah kecil di hadapannya.
"Habiskan makananmu, lalu kita bungkus oleh-oleh untuk ibumu sebelum kita pulang."
Leon kembali memotong steak-nya dan menusuknya dengan garpu di tangan kirinya sebelum memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Kita rayu ibumu bersama-sama agar mau menceritakannya, ya."
Leon mengangguk. Ia tahu bahwa itu tak akan pernah berhasil. Kecuali ia berhasil merayu pak gurunya itu supaya mengungkapkan cerita ibunya.
Dan itu berarti Leon harus membuat dia nyaman dan percaya padanya. Leon melebarkan senyumnya, ia mulai memahami situasinya.
"Baiklah, aku akan ikuti permainanmu," katanya dalam hati. Bocah kecil itu memasukkan potongan terakhir daging steak ke dalam mulutnya.
"Apa bapak tahu, aku sebentar lagi harus tinggal di rumah karantina."
"Karantina?" Ray terkejut. "Mengapa harus di rumah karantina?"
"Aku sudah menjalani audisi pencarian bakat, dan berhasil lolos." Bocah itu menyedot jus jeruk dari gelasnya sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku akan meninggalkan mami selama beberapa saat. Aku membutuhkan seseorang untuk menjaga mami sementara aku tak di rumah."
"Audisi pencarian bakat?" Mata Pak Ray membulat. Bagaimana mungkin bahkan bocah kecil ini baru beberapa hari tinggal di Indonesia. Mana mungkin dia tiba-tiba sudah mengikuti ajang pencarian bakat.
Leon menganggukan kepalanya. Sebuah senyum menghias bibir mungilnya. "Bisakah kau membantuku menjaga mami?"
Tiba-tiba suatu permohonan aneh terucap dari bibirnya. Permohonan yang spontan membuat guru muda itu gugup dan canggung namun bahagia dalam hatinya.
"Ba-baiklah. Jika kau inginkan, aku akan membantumu," kata Ray. Leon yang dapat menangkap kegugupan dari gestur tubuhnya pun tersenyum. Dalam hatinya dia mengerti bahwa bapak gurunya ini mulai menyukai ibunya.
"Kau sudah selesai, Leon. Ayo, kita membeli oleh-oleh untuk ibumu. Sesuatu yang enak dan manis. Seperti cake. Apakah ibumu suka cake?" tanya guru muda itu.
"Suka. Tentu saja," jawab bocah kecil itu. "Apa Pak Ray tidak keberatan menjaga mami? Apa ada seseorang yang akan marah karenanya?"
"Tidak. Pak Ray tidak mempunyai siapapun untuk dijaga. Bukan suatu masalah besar untuk membantumu menjaga ibumu," katanya sambil memandang jajaran cake cantik di etalase kaca. "Bagaimana dengan yang itu?"
Jari telunjuknya menunjuk ke arah sebuah cake bertabur keju parut di atasnya dengan cream bertoping ceri berwarna merah cerah. Leon menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku rasa mami akan suka menerimanya."
Ray mengangkat tangannya, memberikan kode tangan pada sang pramuniaga lalu menunjuk ke arah cake yang diinginkannya.
"Tolong dibungkus ya, mbak," katanya dengan sopan.
Leon berpikir, "Tak ada salahnya mami aku dekatkan dengan Pak Ray. Dia pria baik dan sopan. Seandainya ayahku sebaik dia, aku akan sangat bahagia."
🌹🌹🌹🌹🌹
Hai semuanya--
Kali ini Chocoberry bikin karya baru dan karya ini aku ikutkan pada lomba anak geniusnya Noveltoon.
Khas tulisan Choco ya... uwu dan bikin baper, tapi ringan ga bikin masalah hidup yang udah berat semakin berat. Ehem...
Ikutin terus dan jangan lupa tap ❤ - klik 👍 and vote. Eh dan jangan lupa tinggalkan jejak komen kalian ya... Komentar kalian adalah motivasi untukku.
사랑 해요
salang haeyo 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
𝙦𝙞𝙡𝙡𝙖 𝙋𝙆𝙓𝘿 🗿
Lihat cakenya jadi laper 🤪🤭
2021-10-03
1
Aqiyu
pov Sam....
2021-09-29
1
R. Yani aja
kapan si bos tahu kalau dia punya anak?
2021-08-12
2