Senyum Verga masih terkembang ketika wanita yang baru saja keluar dari rumah telah berbalik dan melihatnya. Wanita itu segera menyapa dan memberikan salam.
"Selamat siang, Tuan. Saya sudah mengatur makan siang di meja Anda," ucapnya pelan.
"Terima kasih. Ah, apakah istriku sudah ada di dalam?"
Wanita tersebut menggelengkan kepalanya. "Tidak ada siapapun, Tuan. Tapi saya tidak tahu kalau Nyonya ada di atas. Saya tidak naik ke atas."
Verga mengangguk, mengucapkan terimakasih dan memandang wanita itu berlalu dari depan rumah. Ia segera masuk, menuju ruang makan, melihat sekilas makan siang yang sudah diatur di atas meja, lalu dengan perasaan gundah dan gelisah, Verga menaiki tangga menuju kamar mereka.
Pemandangan yang ia lihat masih sama, kosong, tidak ada yang berubah, tidak ada siapapun. Dibimbing oleh nalurinya, Verga bergerak ke arah lemari, tangannya mendorong pintu ganda lemari besar tersebut. Tatapan kosong sekian detik mengisi bola mata Verga. Otaknya sekian detik menolak berpikir, menolak mengambil kesimpulan.
Namun, seiring bola matanya yang bergerak menatap seluruh isi lemari, Verga memahami satu hal. Semua benda milik Belinda tidak ada lagi, termasuk koper wanita itu. Verga menelan ludah memikirkan kenapa istrinya tidak terlihat dimanapun dan kenapa semua barang miliknya pun raib entah kemana.
Setelah satu menit berdiri tegak tanpa reaksi, sebuah senyum miring menyeruak di bibir Verga. Disusul oleh tawa kering yang terdengar dipaksakan.
"Jangan katakan kalau apa yang melintas di kepalaku ini benar ... kau pergi, Bel? Sendiri? Tanpa bicara!?"
Verga berbalik, mengambil ponsel dan menelpon ponsel milik Belinda. Nomor yang sudah diberikan oleh Belinda sebelumnya. Tidak aktif.
Mengeratkan kedua rahang, dengan tatapan tajam Verga memindai keseluruhan isi kamar mereka. Ia bergerak mencari-cari dibalik susunan bajunya sendiri, membuka kopernya, lalu memeriksa setiap sudut lemari.
Verga tidak tahu apa yang ia cari, namun nalurinya mengatakan pasti ada sebab hingga semua barang dan koper Belinda serta sosok istrinya itu lenyap.
Setelah tidak menemukan apapun di dalam lemari, Verga menarik selimut, membuangnya ke atas lantai. Rapi, bersih, tidak ada apapun. Ia juga membuang bantal-bantal di atas ranjang. Melihat ada apa di bawah bantal-bantal itu. Nihil.
Setelahnya Verga masuk ke kamar mandi. Sama saja, tidak ada jejak istrinya. Satu bendapun tidak ada lagi milik istrinya di sana.
Verga berdiri di tengah kamar, memutar sendiri badannya dengan mata menatap sekeliling. Tatapannya keras, sekeras kedua rahangnya yang kini beradu hingga gigi-giginya gemeretak.
Tidak menemukan jawaban apa-apa akhirnya Verga kembali turun ke lantai bawah. Pandangan matanya tertumpu pada meja dengan makan siang yang sudah di tata disana.
Verga menyipit, membayangkan saat tadi pagi ia sarapan dengan istrinya di meja itu. Dengan teliti tanpa melewatkan satu adeganpun, ia memutar kembali acara makan pagi tersebut di otaknya dengan kedua bola mata tak lepas memandang ke arah meja.
"Kau makin gugup setelah sarapan hampir selesai, Bel ... kukira kau malu karena kedua mataku tak bisa lepas dari memandangmu ...."
Verga melirik satu demi satu alat makan yang ada di atas meja. Saat matanya berhenti pada gelas minum yang masih kosong di atas sana, ia teringat bola mata istrinya yang tak lepas menatap ketika ia meneguk air minum saat sarapan tadi.
Verga menyimpan semua perkiraan yang melintas di kepalanya. Ia melangkah dengan kedua tangan masuk ke dalam kantong celana. Tiba di bingkai pintu antara ruang tengah dan ruang tamu, ia bersandar pada bingkai pintu dan menatap ke arah sofa tempat dirinya tadi tertidur nyenyak tanpa tahu apapun.
Bibir Verga membentuk seringai, namun kedua bola matanya menatap dingin ke arah sofa.
"Jangan bilang kau yang membuatku tertidur, Bel ...."
Setelah membisikkan kalimat itu, Verga berbalik dan pergi ke arah dapur. Ia menatap semua yang ada di sana, mendekat ke arah kabinet dan menarik setiap toples yang ada di sana. Verga mencium semua isi toples, mengernyit dan tidak mengenal satu pun isi dari toples-toples tersebut.
"Kurasa semua ini bumbu?" tanyanya pada diri sendiri. Setelah menyandarkan pinggul di meja dapur, Verga mengembuskan napas panjang.
"Aku bukan detektif ... Belinda Antolini, ah salah ... Belinda Marchetti, permainan apa yang sedang kau mainkan? Pergi? Kenapa?"
Setelah terdiam di dapur tersebut beberapa menit, Verga kembali mengembuskan napas panjang. Ia mengambil ponsel di dalam kantongnya dan menghubungi nomor Juan.
"Halo, Juan? Kau dan ayah, apakah sudah pulang?"
"Belum, Tuan. Tuan Verone akan pulang ke Broken Bridges besok."
"Apakah kau kenal seseorang yang bisa membantuku mencari orang hilang?"
"Eh? Orang hilang? Mencari? Siapa, Tuan?"
"Jawab saja pertanyaanku. Jangan balik bertanya, Juan!"
"Maafkan saya, Tuan. Setahu saya, kita bisa menghubungi polisi."
"Tidak. Aku tidak mau berurusan dengan polisi."
"Ah ... semacam detektif swasta, begitu, Tuan?"
"Ya. Semacam itu."
"Mmm ... saya akan mencarinya, Tuan. Tapi ... bolehkan saya tahu siapa yang Anda cari? Bukankah Anda sedang berbulan madu?"
"Berikan nomornya padaku jika sudah dapat. Satu lagi, Juan ... jangan beritahu siapapun permintaanku ini. Termasuk Ayah."
"Mmm .... baik, Tuan."
NEXT >>>>>
**********
From Author,
Terima kasih sudah mampir ya. Author mohon dukungannya dengan tekan like, love, bintang lima, komentar dan vote. Sekali lagi, terima kasih.
Salam. DIANAZ.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Triiyyaazz Ajuach
ayo Verga cari istrimu smp dpt
2023-07-27
0
nobita
ku rasa nanti Belinda akan menyesal meninggalkan suami yg sangat menyayanginya...
2023-03-13
0
Cut Ainun
bella jgn pergi kamu kan bisa bicara baik baik ap yg kamu inginkan...tpi klo gak gitu gak seru dong ceritany 😂😂😂
2022-07-13
0