Sinar matahari masih terang menyinari rumah bulan madu sepasang pengantin baru yang baru sehari menikmati pernikahan mereka. Suara ombak pun terdengar berirama hingga ruang tamu rumah tersebut.
Verga Marchetti yang terpejam tidak bergerak selama beberapa jam perlahan membuka mata. Silau cahaya membuat ia menyipit, mengangkat tangan melindungi bola matanya.
Perlahan namun pasti, kabut di kepala Verga mulai pupus. Ia sedikit demi sedikit mulai bisa berpikir jernih. Satu nama yang ia ingat ketika kesadaran menyeruak di kepalanya.
"Be...." Verga berhenti, kerongkongannya terasa kering dan pedih. Ia duduk tegak di sofa, menarik kaki dan memijit kepalanya dengan kedua tangan. Setelah merasa keseimbangannya mulai membaik, Verga menelan ludah, memandang ke arah pintu ruang tengah tempat meja makan dan ruang santai berada.
"Bel!?" panggil Verga dengan suara dikencangkan.
Tidak ada jawaban membuat Verga mengembuskan napas panjang. Ia yakin istrinya yang kelelahan tertidur sendirian di kamar mereka. Belinda pasti sengaja tidak membangunkan dirinya yang telah tertidur lebih dulu di atas sofa.
Verga menumpukan kedua kaki, berdiri perlahan dengan tangan kanan mengusap wajah.
"Aku harus mencuci wajahku, mataku seperti lengket satu sama lain," ucap Verga pada dirinya sendiri.
Kaki Verga mulai melangkah, memasuki ruang tengah, ia melirik tangga yang menuju ke arah lantai atas dimana kamar berada. Senyum Verga menyeruak, ia akan memberi waktu sebanyak apapun yang dibutuhkan Belinda untuk tidur. Istri mungilnya yang penuh gairah pastilah sangat kelelahan.
Verga terus melangkah hingga tiba di ruangan berikutnya, tempat sebuah dapur kecil berada. Ia menghidupkan kran wastafel dan mencuci wajah, rasa sejuk dan dingin dari air mengalir yang dibasuhkan ke kulit wajahnya membuat kesadaran Verga makin membaik. Kedua bola matanya kembali segar, begitu juga dengan kepalanya. Segelas air minum membuat Verga merasa jauh lebih baik, tenggorokannya tidak lagi kering dan pedih.
"Ini sudah lama lewat dari waktu makan siang. Belinda belum makan, sebaiknya aku yang mengatur meja," bisik Verga.
Verga menghubungi pengurus dari rumah paviliun tersebut, memesan makan siang, lalu sambil bersiul kecil menyenandungkan lagu riang, ia melangkah menaiki anak tangga ke lantai atas.
Kesan pertama yang ia tangkap adalah keheningan. Verga mengira istrinya pasti tertidur nyenyak tidak bergerak di bawah selimut mereka. Dengan sangat perlahan, ia membuka pintu kamar, lalu masuk dan memfokuskan tatapan ke atas tempat tidur.
Tempat tidur itu masih sangat rapi, dengan dua bantal tersusun di bagian kepala, selimut terpasang rapi di atas tempat tidur, ranjang itu terlihat sama seperti ketika Verga turun ke lantai bawah untuk sarapan bersama istrinya tadi pagi.
"Bel?"
Verga mengernyit, ia segera berjalan menuju kamar mandi. Mengetuk dua kali dan menunggu. Namun, keheningan di dalam kamar mandi maupun kamar mulai membuatnya merasa gelisah.
Dengan hati bertanya-tanya, Verga membuka pintu kamar mandi. Ia melangkah masuk dan berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan. Kosong. Tidak ada siapapun.
"Belinda! Bel!?"
Verga berbalik, mencari-cari di seputar kamar. Ia segera menuju pintu geser dari kaca bening di sisi kamar, mendorongnya dan melangkah keluar. Sepoi angin menerbangkan anak rambut Verga, dengan menyipitkan mata ia memandang berkeliling dari atas balkon kecil kamar pengantinnya.
Tidak ada kelebat siapapun yang ia kenal. Tidak ada kelebat istrinya diantara orang-orang yang ia lihat. Verga mendelik, menajamkan pandangan. Sama saja. Nihil.
Berbalik kembali memasuki kamar, Verga mulai turun ke lantai bawah. Sambil berteriak memanggil nama istrinya. Tidak ada dugaan apapun di kepala laki-laki itu tentang kemana Belinda pergi.
Ia keluar dari rumah, membungkuk dan mengintip ke dalam mobil mereka yang masih terparkir di carport depan rumah. Kosong.
"Bel!"
Verga berlari ke arah pantai. Melintasi pasir putih tanpa alas kaki. Ia memicingkan mata ke arah sekitarnya sambil berputar. Mencari sosok Belinda yang dikiranya menikmati pergi ke pinggir pantai sendirian tanpa dirinya.
"Maaf, Bel. Aku tertidur," bisik Verga sambil berjalan cepat menelusuri pinggir pantai. Ia berhenti dan mulai menaikkan ujung celana nya ketika ombak mulai membasahi ujung celana tersebut.
"Kau kemana, Bel?"
Verga kembali berjalan, meneliti setiap wajah yang ia lewati, memicingkan mata memandang setiap wanita yang ia temui. Sampai akhirnya ia menyadari ia sudah terlalu jauh meninggalkan rumah paviliun mereka.
Verga memutuskan kembali, berharap Bel sudah ada di rumah dan menunggunya. Beberapa langkah lagi akan tiba di depan rumah, Verga melihat seorang wanita keluar dari pintu depan, tubuh wanita itu sedikit terhadang mobil yang ada di depan, wanita itu membelakangi Verga karena sedang menutup pintu.
Senyum Verga mengembang, dengan langkah lebih ringan ia berjalan cepat menuju rumah paviliun.
NEXT >>>>>
**********
From author,
17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2021
Salam persatuan, Indonesia! Semangat selalu, semoga damai dan sejahtera negeriku. Aamiin.
Harap bersabar menunggu up ya. Terima kasih yang masih menunggu kelanjutan cerita ini. Dukung otor dengan like, love, bintang lima, komentar dan vote ya. Terima kasih banyak.
Salam. DIANAZ.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Triiyyaazz Ajuach
kasian Verga blm sadar ditinggalkan Belinda
2023-07-27
0
Ekawati Hani
Kasian bang Verga 😂
2022-09-08
1
Anand
aku bacanya pas 17 Agustus 2022
2022-08-17
0