Belinda menyapukan kuas dengan perlahan, memindahkan bayangan di dalam otaknya tentang sebuah taman bermain dengan sebuah bianglala yang sedang berputar ke atas kanvas. Ia begitu fokus, berkonsentrasi dengan setiap garis dan warna yang ia buat. Suara pintu terbuka dan langkah kaki mendekat tidak membuat Belinda teralihkan.
"Nona, Tuan Antolini datang berkunjung," ucap Siena, wanita paruh baya yang menjadi pelayan pribadi Belinda. Namun, Belinda merasa wanita itu hanyalah mata-mata dari kakak dan ayahnya.
Belinda hanya diam, mengabaikan ucapan Siena.
"Nona ... Tuan Benjamin tidak akan suka bila menunggu lama," tambah Siena lagi.
Kuas Belinda seketika berhenti mendengar nama Benjamin.
"Kakak? Bukan Ayah?" tanyanya memastikan. Tadi ia mengira ayahnya lah yang datang.
Siena mengangguk. "Ya, Nona. Beliau menunggu Anda di bawah."
Siena lalu undur diri, tidak menunggu nonanya bergerak mengikuti. Seolah tahu, nama Benjamin adalah jaminan kalau gadis itu akan segera bangkit meninggalkan pekerjaaannya.
Belinda memperhatikan jari-jarinya yang terkena noda cat, namun memutuskan kalau tidak baik membuat kakaknya yang jarang berkunjung itu menunggu lama. Setelah merapikan roknya yang kusut, Belinda melangkah keluar dari ruangan besar di lantai dua yang dijadikan sebagai ruangannya untuk melukis.
Mata Benjamin memperhatikan dengan seksama ketika Belinda menuruni tangga mansion. Rok gadis itu berkerut dimana-mana, menandakan waktu yang dihabiskannya duduk berjam-jam dengan melukis. Blus katun yang dipakainya tampak biasa, rambutnya dijadikan satu lalu diikat di belakang leher. Jari-jari gadis itu terdapat noda cat. Tidak ada perhiasan sama sekali, meski hanya sepasang anting atau kalung mungil. Belinda tak ubahnya gadis pelayan atau gadis penjual jeruk yang biasa Benjamin temui di pasar tradisional di pulau ini.
"Selamat siang, Ben." Belinda membungkukkan tubuhnya sedikit. Kedua tangannya disatukan di depan tubuh, lalu ia menunggu dengan patuh. Sikap yang terbiasa ia lakukan baik di depan ayahnya atau kakaknya itu.
"Apa kabarmu, Bel?"
Belinda tahu Benjamin hanya berbasa-basi. Kakaknya itu hanya melakukan kewajiban. Mengurus Bel seperti keinginan dari ibunya sebelum meninggal. Tentu saja ibu yang dimaksud adalah ibu Belinda. Istri kedua dari Belardo Antolini. Wanita yang sebelumnya hanyalah seorang pelayan di rumah besar keluarga Antolini.
"Aku baik-baik saja ... dan sehat."
"Sepertinya begitu. Duduklah. Ada yang ingin kubicarakan."
Belinda menurut. Ia duduk dengan patuh. Ekspresinya datar tanpa emosi.
Benjamin tidak ingat kapan Belinda akhirnya berhenti menyambut kedatangannya ke mansion ini. Dulu, Belinda remaja selalu berlari bila mendengar ada yang datang. Baik ayahnya atau Benjamin. Dengan gembira menyambut kedatangan salah satu dari pria yang merupakan keluarganya. Lalu gadis itu tiba-tiba berhenti bersikap antusias ketika menerima kunjungan mereka. Ben tidak pernah tahu alasannya. Tebakannya adalah, gadis itu akhirnya mengerti, bahwa sikap hangat dan penuh cinta sama sekali tidak akan pernah diterimanya dari sang ayah, ataupun Ben. Mereka tidak pernah dekat, meskipun itu bukan berarti Ben sama sekali tidak peduli dan tidak mengurus Belinda.
Benjamin memegang janjinya pada Lucretia. Ibu Belinda yang sudah meninggal. Bahwa ia akan menjaga dan melindungi Belinda. Adik satu-satunya yang ia miliki meskipun berbeda ibu.
"Bulan depan, kau akan berumur dua puluh, Bel. Ada rencana yang sudah disepakati dengan sebuah keluarga terpandang dan mempunyai nama baik turun temurun, berasal dari Kota Broken Bridge. Kau pernah dengar nama kota itu?"
Belinda mengangkat kepalanya. Ia dan Benjamin duduk berhadapan. Sejak lama Belinda mengerti, bila Benjamin atau ayahnya datang ke pulau ini mengunjungi Belinda karena memang mereka ada urusan. Bukan murni mengunjunginya. Baik urusan dengan para penggarap lahan tanah di perkebunan atau penyewa tanah di desa kecil di dekat mansion tempat tinggalnya ini.
Tanah di tempat ini, semua memang milik Belardo Antolini, atau lebih tepatnya pulau ini ... Ayahnya pemiliknya, dan Belinda diasingkan di tempat ini. Sendirian.
"Ya."
"Bagus. Keluarga Tuan Verone Marchetti berasal dari sana. Sebentar lagi akan diadakan pertemuan antara dua keluarga. Jadi kau akan ikut aku. Bersiaplah, kita pergi sebentar lagi."
Belinda memandang Benjamin, kebingungan.
"Tidak perlu bingung, Bel. Kau dan aku akan pergi ke Mansion utama keluarga Antolini. Nanti malam ... kau akan dipertemukan dengan calon suamimu, Verga Machetti."
NEXT >>>>>
**********
From Author,
Happy reading semuanya. jangan lupa dukungannya dengan tekan like, love, bintang lima, komentar dan Vote hadiah. Terima kasih banyak sebelumnya.
Salam. DIANAZ.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Triiyyaazz Ajuach
owh jadi ibu Belinda adl pelayan kasian juga sich hidup terasing spt itu
2023-07-26
0
Selvia Suri Krisna Dewi
tempat opo kui
2023-04-24
0
Ari Gareng
jadi inget d Medan ada nama tempat Titi bobrok
2023-03-07
0