Setelah beberapa hari belakang makan di kopma Jesi sudah sangat terbiasa. Untuk gadis yang tak pernah pilih-pilih makanan itu tak sulit untuk menyesuaikan selera lidahnya dengan lingkungan baru. Sekarang ia tau tak selalu makanan yang murah itu tidak enak, nyatanya disini meskipun murah tetep enak. Hanya masalah tempat saja yang membedakan, tapi tak masalah untuknya.
“Hari ini gue mau nyobain seblaknya, Al. Gue lihat stand seblak depan selalu ramai, enak kali yah.” Jesi mengigit bibir bawahnya membayangkan enaknya makanan yang katanya pedas itu.
“Iya, katanya sih enak. Tapi aku nggak kuat pedes, Jes. Aku mau makan nasi aja kayak biasa, udah kebiasaan dari kecil kalo nggak nasi berasa nggak makan.”
Keduanya terpisah, Jesi ikut mengantri di deretan stand seblak sementara Alya masuk ke dalam untuk mengambil makanan.
Untuk menghilangkan rasa bosan karena antrian yang begitu padat, Jesi iseng-iseng mengeluarkan ponselnya. Senyum ceria itu jelas terlihat kala dia membaca chat masuk dari Zidan. Setelah curhat dengan Alya tadi, dia mengirim pesan terlebih dulu sekedar menanyakan sedang apa dan mengajak bertemu jika sedang senggang.
“Aku lagi sibuk nyiapin bahan buat skripsi sayang. Maaf yah jadi nggak bisa sering-sering nemuin kamu.”
“Iya, kak. Nggak apa-apa kok jarang ketemu juga asal sering kasih kabar yah, kak. Semangat yah skripsinya. Kalo butuh bantuan kasih tau aku aja, kali aja aku bisa bantu.” Balas Jesi.
Mengingat penuturan Alya jika menyusun skripsi itu tak mudah, Jesi memutuskan untuk menyemangati kekasihnya atau ikut bantu-bantu nyari buku referensi tak apa.
Setelah cukup lama mengantri akhirnya satu mangkok makanan berisi sayap, enak kerupuk dan makaroni dengan kuah berwarna merah bisa Jesi dapatkan. Aroma pedas bercampur wangi daun jeruk membuat dirinya semakin tak sabar untuk menyantap makan berkuah itu.
Duduk di samping Alya yang sudah menyelesaikan makannya lebih dulu, Jesi mulai meniup seblaknya sebelum di makan.
“Enak banget, Al. Pedes mantap. Cobain deh!” Jesi menyodorkan sendoknya pada Alya, “aaa... Al”
“Nggak mau, Jes. Pedes. Buat kamu aja.” Tolak Alya.
“Ah payah lo. Enak banget loh, seger.” Ucap Jesi kemudian kembali menyuapkan seblak ke mulutnya.
“asli ini mah enak banget euy. Pantesan rame, antrinya juga lama. Sama seblak yang biasa gue makan di tempat langganan gue mah enakan ini. Padahal harganya jauh lebih murah loh ini.”
Jesi masih asik menikmati seblaknya meskipun keningnya mulai berkeringan karena kepedesan tapi yak membuat gadis itu berhenti hingga isi maangkuknya hanya menyisakan tulang.
“Loh... Lo di sini, Jes? Gue kira lo yang sama Zidan tadi.” Ujar seseorang.
“Maksudnya?”
“Gue baru dari cafe depan, liat Zidan sama cewek. Mesra banget gue kira lo.” Jawabnya.
“Paling lo salah liat deh. Kak Zidan lagi otw nyari buku buat referensi skripsinya kok.” Ujar Jesi dengan yakin.
“Terserah lo deh. Tapi gue yakin sih nggak salah liat. Gue udah hampir empat tahun sekelas sama dia, jelas-jelas itu Zidan. Kalo lo nggak percaya liat aja sendiri!” Ujar lelaki jangkung itu, tanpa menunggu tanggapan Jesi ia berlalu pergi.
Jesi mengambil ponselnya dari tas, ia buru-buru menelpon Zidan. Dalam dering ketiga panggilannya itu sudah terhubung.
“Halo Kak Zidan lagi dimana?”
“Toko buku, nyari referensi. kenapa sayang?”
“Oh... nggak apa-apa kak. cuma kangen aja. Semangat yah ngerjain skripsinya. Aku doain kaka nyusun skripsinya diberi kemudahan dan kelacaran supaya cepet kelar biar kita bisa jalan lagi.” Pungkasnya kemudian mengakhiri panggilan.
Meskipun sudah menghubungi Zidan dan memastikan keberadaannya tapi tetap menyisakan ragu dalam hati. Ia jadi kembali teringat pemandangan di lampu merah dan kini ia ragu harus membuktikan ucapan seniornya tadi atau mempercayai kekasihnya.
“Jes...” panggil Alya.
“Hm.”
“Kok jadi ngelamun lagi?”
“Gue bingung, Al. Menurut lo gue mesti gimana? Percaya sama kak Zidan kalo dia lagi di toko buku atau percaya sama temen sekelasnya kak Zidan. Lo denger sendiri kan tadi? Katanya kak Zidan di cafe depan sama cewek. Tapi barusan gue telpon katanya di toko buku.”
“Terserah kamu maunya gimana, Jes?”
“Kalo emang percaya sama kak Zidan yah udah, tapi kalo misal kau ragu yah tinggal lihat aja ke cafe depan nggak ada salahnya. Dari pada menerka-nerka.” Saran Alya.
“Tapi temenin yah, Al?” pinta Jesi.
“Ya udah ayo. Tapi jangan lama-lama yah, waktu istirahat kita tinggal bentar lagi.”
“Iya bentar doang. Cuma liat terus balik lagi.” Ucap Jesi.
Keduanya berjalan dengan sedikit terburu-buru karena jarak dari kopma ke cafe yang terletak di depan kampus cukup jauh membuat keduanya terengah-engah begitu tiba di seberang cafe.
“Bentar, Al. Ngos-ngosan banget dah gue berasa maraton.” Ucap Jesi sebelum menyeberang jalan. Jesi bahkan seperti anak kecil yang menempel pada ibunya, dia memegang lengan Alya begitu menyebrang jalan.
Tiba di halaman cafe Jesi melepaskan pegangannya pada Alya. Ia berulang kali mengucek matanya pelan, memastikan jika kali ini ia tak salah lihat seperti saat di lampu merah. Ya, itu Zidan. Bahkan dari luar pun Jesi bisa melihat dengan jelas, kekasihnya di dalam sana sedang tersenyum sambil menggenggam tangan seorang perempuan yang tak ia ketahui karena membelakanginya.
“Al...”
“Kak Zidan, Al. Dia beneran ada di sini. Lihat mereka mesra banget, gue bahkan nggak pernah kayak gitu.” Mata Jesi sudah mulai berkaca-kaca.
“Nggak bisa dibiarin nih!” Jesi dengan cepat masuk ke dalam cafe.
“Jes tunggu!” ujar Alya tapi tak dihiraukan, meskipun matanya berkaca-kaca tapi Alya bisa melihat jelas kekasalan dia wajah Jesi. Entah yang dilakukannya benar atau salah tapi Alya memutuskan ikut menyusul Jesi ke dalam.
“Jadi ini toko bukunya?” teriak Jesi begitu tiba di meja Zidan. Ditatapnya lekat-lekat lekaki yang langsung berdiri begitu ia tiba.
“Dan sekarang mana referensi nya?” bicaranya kian keras membuat seluruh pengunjung melihat ke arah mereka.
“Cewek ini?” Jesi berbalik melihat ke arah perempuan yang duduk di hadapan Zidan.
Mengetahui kebenaran Zidan membohonginya saja sudah sangat menyakitkan ditambah dengan kenyataan jika kekasihnya bersama perempuan lain. Rasa sakitnya kian menyesakkan saat mendapati perempuan yang bersama Zidan adalah Raya, sahabatnya sendiri.
“Raya, lo?” Jesi sampai tak mampu meneruskan ucapannya, kenyataan di depan matanya membuat ia semakin marah sekaligus kecewa.
“Sayang ini nggak seperti yang kamu kira.” Zidan berusaha menenangkan Jesi dengan memengang pundak gadis itu.
“Lepasin! Jangan sentuh gue.” Jesi menyingkirkan tangan Zidan dari pundaknya.
“Sayang dengerin aku dulu, ini nggak seperti yang kamu kira.” Ucap Zidan.
“Ini seperti yang lo kira, Jes!” ucap Raya.
“Raya!” bentak Zidan.
“Kenapa? Udah saatnya anak manja ini tau, kalo dia nggak berarti apa-apa buat lo.” Timpal Raya.
“Raya, stop!” sentak Zidan lagi.
“Nangis aja. Lo mau nangis kan?” cibir Raya,
“udah manja, miskin, bisanya cuma nangis!” ejeknya lagi.
Jesi menghapus air matanya kemudian tersenyum tertahan, “gue kira lo beneran sahabat gue, Ray. Makasih buat semuanya selama ini.”
“Kak Zidan juga. Kita berakhir sampai di sini!” imbuhnya kemudian meninggalkan cafe, tak menghiraukan Zidan yang terus memanggil namanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
putri
dasar para penghianat 😡🤬
2024-04-15
0
Ita rahmawati
pantesan si raya nyesel bgt tuh ntiny,,ternyta dia jhat bgt ke jesi,,untung aj jesi yg kmu gituin,cba klo ak gk bakal deh ak maafin smpe nangis darah sekalipun 😡😡
2023-03-27
0
Ajusani Dei Yanti
akhirnya ketauan juga busuk nya raya
2023-03-07
0