BROMOCORAH
Banyak orang mengeluh karena turunnya hujan. Tapi tidak sedikit juga yang begitu kegirangan mana kala hujan turun. Hujan ya hujan. Ia akan turun meski banyak yang tidak suka, karena hujan turun pada mereka yang menanti kehadirannya.
Melirik jam di tangan, masih belum lewat tengah malam.
"Mas, kira-kira kita nanti sampai disana jam berapa?"
"Mungkin sebelum subuh, sampeyan tidur lagi saja."
"Hmmm."
Mereka bukanlah kakak beradik. Bahkan yang dipanggil Mas, usianya jauh lebih muda dari yang memanggilnya. Bahkan mungkin sebaya anaknya.
Namanya Ajimukti, seorang pemuda yang cukup menarik. Berkulit putih dengan tinggi dan perawakan ideal. Bentuk wajahnya tirus dengan hidung sedikit mancung juga bola mata sedikit coklat.
Sementara yang memanggilnya Mas, beliau adalah pengasuh Ajimukti sejak Ajimukti masih berusia tiga tahun. Namanya Dullah, tapi Ajimukti biasa memanggilnya Lek Dul. Lek, kalau orang Jawa Timuran diartikan paman atau om. Usianya sekitar lima puluh tahun lebih, kulitnya sawo matang, tidak terlalu tinggi tapi memiliki otot yang terbilang kekar untuk ukuran tubuh seusianya.
"Kita berharap saja sesampainya disana hujan sudah reda ya, Lek."
"Iya, Mas. Semoga."
Dullah membenarkan posisi duduknya. Sekilas matanya melirik kearah Ajimukti yang sepertinya gelisah. Entah apa yang sedang dipikirkan Ajimukti saat ini. Dullah tidak berani menegur atau bahkan bertanya. Hanya saja Dullah hafal betul dengan mimik wajah Ajimukti. Bagaimana pun, dia telah mengasuh Ajimukti belasan tahun.
Dari jendela, terlihat jalanan sekitar sangat sunyi dan terus masih diguyur hujan yang cukup lebat. Sesekali mereka melewati beberapa jalan yang gelap tanpa penerangan lampu. Sopir pun harus mengurangi kecepatannya.
Bis masih melaju tidak terlalu kencang. Samar-samar terdengar alunan tembang kenangan bersaut dengan deras hujan diluar. Hawa dingin membuat hampir seluruh penumpang lelap tertidur tanpa peduli hujan yang mengguyur. Berharap saja semoga pak sopirnya tidak kantuk juga karena suasana ini.
Ajimukti meraih botol mineral di saku ranselnya. Membuka tutupnya dan menenggaknya. Jakun dilehernya terlihat naik turun menelan air yang mengalir di tenggorokannya.
Dullah hanya terdiam. Sesekali matanya masih mencuri curi pandang kearah Ajimukti. Dullah semakin yakin Ajimukti sedang gelisah saat ini. Beberapa kali juga tampak Ajimukti melihat jam ditangannya. Semakin memperlihatkan jelas kegelisahannya.
Ajimukti sedikit menyadari kalau Dullah sedari tadi diam-diam memperhatikan sikapnya.
"Saya bingung, Lek."
Dullah menegakkan duduknya. Dullah heran seolah Ajimukti tahu apa yang ada dipikirannya. Tapi Dullah sangat paham, memang begitulah Ajimukti. Kadang tidak perlu ditanyakan pun, Ajimukti pada akhirnya akan bercerita.
"Apakah yang saya lakukan ini memang benar atau justru sebuah kesalahan?"
Ajimukti mendesah. Membuang nafasnya panjang-panjang.
Dullah tersenyum.
"Mas Aji sejak awal sudah yakin kan? Kenapa sekarang ragu?"
"Bukan ragu, Lek. Tapi jujur ada hal-hal yang sejak awal mengganggu pikiran saya."
Dullah hanya terdiam. Dullah tidak ingin bertanya terang-terangan perihal apa itu. Dia biarkan sampai Ajimukti menceritakannya sendiri.
"Bismillah, Mas."
Ajimukti mengangguk berat lalu melempar sedikit senyum kearah Dullah. Dullah tahu senyum itu bukan berarti kegelisahan Ajimukti hilang, tapi justru sebaliknya.
"Yasudah, Lek. Tidur lagi saja. Masih sekitar tiga jam untuk kita sampai disana."
"Sampeyan juga tidur dulu saja, Mas."
Sebenarnya tadi Dullah memang masih mengantuk hingga akhirnya Ajimukti tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Hanya saja Dullah tidak enak kalau melanjutkan tidurnya.
Ajimukti terlihat mulai memejamkan matanya. Entah tidur entah sedang memikirkan sesuatu, Dullah tidak ingin mencari tahu saat ini. Dia kembali menyandarkan kepalanya ke bangku. Matanya dengan cepat terpejam karena menahan kantuk sedari tadi.
Satu jam berlalu.
Dua jam berlalu, dan hujan belum juga reda.
Tiga jam berlalu.
"Persiapan. Persiapan. Terminal Persiapan."
Kondektur bis terdengar mulai memberi aba-aba pada para penumpang yang akan turun untuk mempersiapkan barang bawaan mereka.
Dullah sudah memangku ranselnya sembari membenarkan jaketnya. Matanya sesekali melirik kearah Ajimukti yang juga sedang bersiap-siap untuk turun. Kegelisahan itu masih terlihat jelas di wajah Ajimukti.
Bis berhenti. Seluruh penumpang berdiri dan berangsur keluar dari bis. Pun dengan Ajimukti dan Dullah.
"Alhamdulillah, akhirnya sampai ya, Mas."
"Iya, Lek."
Ajimukti melihat jam ditangannya.
"Belum subuh, Lek. Kita cari kopi dulu sambil nunggu subuh ya, Lek."
Dullah hanya mengangguk lalu berjalan mengikuti Ajimukti ke warung makan pinggiran terminal.
Beberapa jam kemudian.
Suara adzan subuh mengalun indah dari sebuah Masjid kuno yang cukup besar. Beberapa orang bersarung dan berpeci terlihat tergesa menuju Masjid itu.
Ajimukti berdiri tepat di halaman Masjid. Halamannya cukup luas dengan pasangan paving yang sudah tertata dengan corak yang terkombinasi rapi. Karena saking luasnya, mungkin cukup untuk parkir sekitar dua puluh bis besar. Dullah berdiri dibelakang Ajimukti.
Kini pandangan Ajimukti tertuju pada seorang laki-laki paruh baya, lebih tua beberapa tahun dari Dullah. Lelaki itu mengenakan koko putih, sarung putih dengan sedikit corak garis-garis hitam, peci putih juga sehelai surban yang dililitkan di lehernya. Hampir seluruh yang ada di Masjid berdiri tatkala melihat lelaki itu. Saling berebut untuk menyalami dan mencium tangan lelaki itu.
"Kita masuk sekarang, Lek."
"Baik, Mas."
Ajimukti berjalan ke arah Masjid di ikuti Dullah dibelakangnya. Pandangannya masih tertuju pada kerumunan orang-orang yang berebut untuk bisa menyalami lelaki berkalung surban itu.
Ajimukti menuju ke sisi pojok Masjid, meletakkan ranselnya, melepas jaketnya, lalu sholat fajar. Dullah pun begitu. Beberapa orang memandang mereka berdua dengan tatapan asing. Entah apa yang ada dipikiran mereka.
Iqomah berkumandang dari seorang pemuda yang sangat kental dengan pakaian ala santrinya. Ajimukti segera beranjak dari duduknya, bergabung dengan shoff dibagian belakang. Membiarkan ranselnya tetap disudut Masjid.
Selesai Sholat Subuh berjama'ah, Ajimukti masih duduk di teras Masjid. Beberapa orang yang melintas memandangnya masih dengan pandangan asing. Dullah yang sejak tadi merasa tidak nyaman dengan pandangan orang orang disekelilingnya.
Lelaki bersorban yang tadi membuat seluruh jama'ah berebut untuk menyalaminya yang juga menjadi imam sholat, kini keluar dari Masjid di ikuti tiga orang dibelakangnya, termasuk yang tadi mengumandangkan iqomah.
Melihat lelaki itu berjalan tak jauh darinya, Ajimukti segera bangun dari duduknya.
"Assalamu'alaikum, Pak."
"Wa'alaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh."
Lelaki itu menghentikan langkahnya, sementara tiga orang dibelakang lelaki itu memandang Ajimukti bahkan dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Mas ini siapa? Tidak sopan sekali. Mas tidak tahu beliau ini siapa? Enak saja panggil Pak." Ucap salah satu pemuda dibelakang lelaki itu dengan wajah tidak sukanya terhadap Ajimukti.
Lelaki itu mengangkat tangannya. Memberi isyarat kepada pemuda itu untuk diam. Pemuda itu segera menunduk.
"Maaf saya tidak tahu bapak siapa. Maaf karena kelancangan saya." Ucap Ajimukti dengan sedikit menunduk.
"Tidak apa-apa anak muda. Kalau boleh tahu anak muda bapak ini siapa dan dari mana? Kok saya baru kali ini melihat kalian berdua." Kata lelaki itu sembari melihat ke arah Dullah yang sejak tadi diam dibelakang Ajimukti.
Ajimukti tersenyum, "Saya Ajimukti, Pak. Dan ini Dullah, paman saya."
Lelaki itu hanya menganggukan kepala, sementara tiga pemuda dibelakangnya masih menatap mereka berdua dengan tatapan kurang suka.
"Kami datang dari Jogjakarta." Imbuh Ajimukti.
"Ya ya ya. Betul sekali kalau kalian tidak mengenal siapa saya."
"Asal Mas dan bapak tahu ya. Beliau ini adalah Kyai Aminudin. Beliau Kyai yang sangat disegani didaerah ini karena santrinya banyak dan datang dari berbagai daerah di Indonesia. Jadi Mas jangan cuma panggil bapak ke beliau. Panggil beliau Kyai." Ucap pemuda yang sejak tadi terlihat kurang suka dengan Ajimukti juga Dullah.
"Mas ini sepertinya bukan santri seperti kami. Jadi wajar saja kalau tidak tahu bagaimana bersikap kepada seorang Kyai seperti Kyai kami ini." Imbuh pemuda yang satunya.
Ajimukti hanya tersenyum, kepalanya sedikit mengangguk pelan.
"Sudah sudah. Tidak apa-apa. Karena mereka kan bukan orang sini. Jadi wajar kalau tidak tahu." Sahut lelaki yang oleh tiga pemuda dipanggilnya dengan panggilan Kyai Aminudin itu.
"Oh iya, kalau saya boleh tahu kalian berdua ini mau kemana?" Tanya Kyai Aminudin kemudian.
"Sekali lagi maaf kan atas kelancangan saya, Pak...."
"Oh, Kyai." Ajimukti membenarkan omongannya sendiri.
"Kedatangan kami kesini karena kami ingin mencari Pondok Pesantren Hidayah, Kyai."
Seketika tiga pemuda dibelakang Kyai Aminudin tertawa. Sementara Kyai Aminudin hanya tersenyum tipis.
Dullah terheran, apa yang membuat mereka tertawa.
"Kalian tahu dari mana nama pondok kami ini?" Tanya salah seorang pemuda itu.
"Kok bisa-bisanya tahu nama pondoknya tapi tidak tahu siapa Kyai nya." Imbuh pemuda yang lain.
Sekali lagi Kyai Aminudin melambaikan tangannya dan ketiga pemuda itu paham apa maksudnya.
"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa kalian mencari Pondok Pesantren saya ini?"
Ajimukti tersenyum tipis. Ekspresi wajahnya berubah.
"Saya ingin menjadi santri disini, Kyai." Ucap Ajimukti tenang.
Sekali lagi ketiga pemuda itu terbahak.
"Nyantri disini katamu?"
"Kamu sudah bisa baca Al Qur'an belum?"
"Iya, tidak sembarang orang bisa menjadi santri Pondok Hidayah. Kamu tahu! Pondok ini pondok pesantren yang sudah mempunyai nama baik. Santri disini sudah terkenal kemampuan mengajinya."
"Nanti jangan-jangan kamu cuma mau menyombongkan diri dengan embel-embel Pesantren kami. Padahal kamu belum bisa apa-apa."
"Wah, bisa menjatuhkan nama baik Pesantren itu."
Tiga pemuda itu saling berebut mencela Ajimukti. Ajimukti hanya diam dan tenang. Tanpa berekspresi apapun. Sementara Dullah hanya menggeleng kepala pelan.
"Sudah sudah." Sahut Kyai Aminudin.
"Tapi ada benarnya juga kata mereka ini, Mas. Jangan sampai nama besar Pondok Hidayah hanya untuk embel-embel biar dipandang orang."
"Saya memang belum bisa apa-apa, Kyai. Oleh karena itu saya kesini ingin belajar. Karena yang saya dengar, di pondok ini semua santrinya pandai mengaji dan alim-alim."
Kyai Aminudin tergelak. Sepertinya senang dengan pujian Ajimukti.
"Tentu saja, Mas. Kalau itu sudah tidak usah ditanyakan lagi. Siapa sih yang tidak tahu nama besar Pondok Pesantren Hidayah? Juga kealiman saya sebagai Pengasuh Pondok?"
"Maka dari itu, Kyai. Saya ingin menimba ilmu dari pondok yang memang disegani. Bukan hanya pondok biasa."
Sekali lagi Kyai Aminudin tergelak senang.
"Baiklah. Sebaiknya kita bicara di pondok saja, Mas, Pak. Biar kalian juga bisa melihat sendiri Pondok Hidayah itu seperti apa? Dan seberapa banyak santrinya."
"Baik Kyai kalau begitu."
Salah satu dari tiga pemuda mengangkat tangannya untuk bicara. Kyai Aminudin mempersilahkannya.
"Kyai tidak salah ingin menerima mereka sebagai santri disini?"
Kyai Aminudin tersenyum. "Sudahlah apa salahnya kita memberi peluang kepada yang ingin bertaubat."
Dullah menelan ludah.
"Tapi Kyai. Semua santri disini datang dengan orang tua mereka. Hampir semua yang datang naik mobil-mobil bagus. Banyak diantara mereka anak pejabat atau penguasa. Lah, ini mereka kesini saja entah naik apa. Apa bisa mereka membayar iuran bulanan disini?"
Jelas sekali pemuda itu sedang mengejek Ajimukti dan Dullah karena sejak tadi pandangannya tertuju pada Ajimukti dan Dullah.
"Itu kita pikirkan nanti. Kita ke pesantren dulu saja. Sudah mau siang."
"Baik, Kyai.'
Kyai Aminudin mengajak Ajimukti dan Dullah ke pesantren. Ketiga pemuda itu masih belum beranjak. Jelas sekali ketidak sukaan mereka pada Ajimukti saat ini.
Ketika Kyai Aminudin menoleh ke arah mereka bertiga. Baru mereka bertiga tergopoh-gopoh berjalan mengikuti Kyai nya itu.
Dullah menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Ajimukti menyadari itu. Ajimukti paham betul dengan pengasuhnya sejak kecil itu. Paham akan ketidak nyamanan dan kegelisahan Dullah.
Ajimukti meraih pundak Dullah. Merabanya sejenak. Mencoba menenangkanya. Meyakinkan Dullah bahwa semua akan baik-baik saja.
Dullah tersenyum tipis ke arah Ajimukti. Sekarang Dullah tahu kenapa sejak di bis tadi Ajimukti tampak gelisah. Mungkin hal yang terjadi ini sudah ada dibayangan Ajimukti. Sekali lagi Dullah menarik nafasnya dalam-dalam dan kembali melepasnya kuat-kuat. Dalam kondisi seperti ini Dullah mencoba tenang mengikuti saja apa yang akan Ajimukti lakukan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Ilham
satu lagi ajimukti goblok ngapain belajar di pesantren sana KLO kyai nya aja sombong kan masih banyak pesantren yang lain
2024-12-27
1
Noni Fitria
waaah yg kaya gini nih,,kiyai, santri yg duluan masuk neraka,,sifat ujub,riya,takabur nya itu subhanallah
2024-01-10
1
Fatkhur Kevin
merasa senior jd sombong
2023-09-18
0