BROMOCORAH

BROMOCORAH

Ajimukti

Banyak orang mengeluh karena turunnya hujan. Tapi tidak sedikit juga yang begitu kegirangan mana kala hujan turun. Hujan ya hujan. Ia akan turun meski banyak yang tidak suka, karena hujan turun pada mereka yang menanti kehadirannya.

Melirik jam di tangan, masih belum lewat tengah malam.

"Mas, kira-kira kita nanti sampai disana jam berapa?"

"Mungkin sebelum subuh, sampeyan tidur lagi saja."

"Hmmm."

Mereka bukanlah kakak beradik. Bahkan yang dipanggil Mas, usianya jauh lebih muda dari yang memanggilnya. Bahkan mungkin sebaya anaknya.

Namanya Ajimukti, seorang pemuda yang cukup menarik. Berkulit putih dengan tinggi dan perawakan ideal. Bentuk wajahnya tirus dengan hidung sedikit mancung juga bola mata sedikit coklat.

Sementara yang memanggilnya Mas, beliau adalah pengasuh Ajimukti sejak Ajimukti masih berusia tiga tahun. Namanya Dullah, tapi Ajimukti biasa memanggilnya Lek Dul. Lek, kalau orang Jawa Timuran diartikan paman atau om. Usianya sekitar lima puluh tahun lebih, kulitnya sawo matang, tidak terlalu tinggi tapi memiliki otot yang terbilang kekar untuk ukuran tubuh seusianya.

"Kita berharap saja sesampainya disana hujan sudah reda ya, Lek."

"Iya, Mas. Semoga."

Dullah membenarkan posisi duduknya. Sekilas matanya melirik kearah Ajimukti yang sepertinya gelisah. Entah apa yang sedang dipikirkan Ajimukti saat ini. Dullah tidak berani menegur atau bahkan bertanya. Hanya saja Dullah hafal betul dengan mimik wajah Ajimukti. Bagaimana pun, dia telah mengasuh Ajimukti belasan tahun.

Dari jendela, terlihat jalanan sekitar sangat sunyi dan terus masih diguyur hujan yang cukup lebat. Sesekali mereka melewati beberapa jalan yang gelap tanpa penerangan lampu. Sopir pun harus mengurangi kecepatannya.

Bis masih melaju tidak terlalu kencang. Samar-samar terdengar alunan tembang kenangan bersaut dengan deras hujan diluar. Hawa dingin membuat hampir seluruh penumpang lelap tertidur tanpa peduli hujan yang mengguyur. Berharap saja semoga pak sopirnya tidak kantuk juga karena suasana ini.

Ajimukti meraih botol mineral di saku ranselnya. Membuka tutupnya dan menenggaknya. Jakun dilehernya terlihat naik turun menelan air yang mengalir di tenggorokannya.

Dullah hanya terdiam. Sesekali matanya masih mencuri curi pandang kearah Ajimukti. Dullah semakin yakin Ajimukti sedang gelisah saat ini. Beberapa kali juga tampak Ajimukti melihat jam ditangannya. Semakin memperlihatkan jelas kegelisahannya.

Ajimukti sedikit menyadari kalau Dullah sedari tadi diam-diam memperhatikan sikapnya.

"Saya bingung, Lek."

Dullah menegakkan duduknya. Dullah heran seolah Ajimukti tahu apa yang ada dipikirannya. Tapi Dullah sangat paham, memang begitulah Ajimukti. Kadang tidak perlu ditanyakan pun, Ajimukti pada akhirnya akan bercerita.

"Apakah yang saya lakukan ini memang benar atau justru sebuah kesalahan?"

Ajimukti mendesah. Membuang nafasnya panjang-panjang.

Dullah tersenyum.

"Mas Aji sejak awal sudah yakin kan? Kenapa sekarang ragu?"

"Bukan ragu, Lek. Tapi jujur ada hal-hal yang sejak awal mengganggu pikiran saya."

Dullah hanya terdiam. Dullah tidak ingin bertanya terang-terangan perihal apa itu. Dia biarkan sampai Ajimukti menceritakannya sendiri.

"Bismillah, Mas."

Ajimukti mengangguk berat lalu melempar sedikit senyum kearah Dullah. Dullah tahu senyum itu bukan berarti kegelisahan Ajimukti hilang, tapi justru sebaliknya.

"Yasudah, Lek. Tidur lagi saja. Masih sekitar tiga jam untuk kita sampai disana."

"Sampeyan juga tidur dulu saja, Mas."

Sebenarnya tadi Dullah memang masih mengantuk hingga akhirnya Ajimukti tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Hanya saja Dullah tidak enak kalau melanjutkan tidurnya.

Ajimukti terlihat mulai memejamkan matanya. Entah tidur entah sedang memikirkan sesuatu, Dullah tidak ingin mencari tahu saat ini. Dia kembali menyandarkan kepalanya ke bangku. Matanya dengan cepat terpejam karena menahan kantuk sedari tadi.

Satu jam berlalu.

Dua jam berlalu, dan hujan belum juga reda.

Tiga jam berlalu.

"Persiapan. Persiapan. Terminal Persiapan."

Kondektur bis terdengar mulai memberi aba-aba pada para penumpang yang akan turun untuk mempersiapkan barang bawaan mereka.

Dullah sudah memangku ranselnya sembari membenarkan jaketnya. Matanya sesekali melirik kearah Ajimukti yang juga sedang bersiap-siap untuk turun. Kegelisahan itu masih terlihat jelas di wajah Ajimukti.

Bis berhenti. Seluruh penumpang berdiri dan berangsur keluar dari bis. Pun dengan Ajimukti dan Dullah.

"Alhamdulillah, akhirnya sampai ya, Mas."

"Iya, Lek."

Ajimukti melihat jam ditangannya.

"Belum subuh, Lek. Kita cari kopi dulu sambil nunggu subuh ya, Lek."

Dullah hanya mengangguk lalu berjalan mengikuti Ajimukti ke warung makan pinggiran terminal.

Beberapa jam kemudian.

Suara adzan subuh mengalun indah dari sebuah Masjid kuno yang cukup besar. Beberapa orang bersarung dan berpeci terlihat tergesa menuju Masjid itu.

Ajimukti berdiri tepat di halaman Masjid. Halamannya cukup luas dengan pasangan paving yang sudah tertata dengan corak yang terkombinasi rapi. Karena saking luasnya, mungkin cukup untuk parkir sekitar dua puluh bis besar. Dullah berdiri dibelakang Ajimukti.

Kini pandangan Ajimukti tertuju pada seorang laki-laki paruh baya, lebih tua beberapa tahun dari Dullah. Lelaki itu mengenakan koko putih, sarung putih dengan sedikit corak garis-garis hitam, peci putih juga sehelai surban yang dililitkan di lehernya. Hampir seluruh yang ada di Masjid berdiri tatkala melihat lelaki itu. Saling berebut untuk menyalami dan mencium tangan lelaki itu.

"Kita masuk sekarang, Lek."

"Baik, Mas."

Ajimukti berjalan ke arah Masjid di ikuti Dullah dibelakangnya. Pandangannya masih tertuju pada kerumunan orang-orang yang berebut untuk bisa menyalami lelaki berkalung surban itu.

Ajimukti menuju ke sisi pojok Masjid, meletakkan ranselnya, melepas jaketnya, lalu sholat fajar. Dullah pun begitu. Beberapa orang memandang mereka berdua dengan tatapan asing. Entah apa yang ada dipikiran mereka.

Iqomah berkumandang dari seorang pemuda yang sangat kental dengan pakaian ala santrinya. Ajimukti segera beranjak dari duduknya, bergabung dengan shoff dibagian belakang. Membiarkan ranselnya tetap disudut Masjid.

Selesai Sholat Subuh berjama'ah, Ajimukti masih duduk di teras Masjid. Beberapa orang yang melintas memandangnya masih dengan pandangan asing. Dullah yang sejak tadi merasa tidak nyaman dengan pandangan orang orang disekelilingnya.

Lelaki bersorban yang tadi membuat seluruh jama'ah berebut untuk menyalaminya yang juga menjadi imam sholat, kini keluar dari Masjid di ikuti tiga orang dibelakangnya, termasuk yang tadi mengumandangkan iqomah.

Melihat lelaki itu berjalan tak jauh darinya, Ajimukti segera bangun dari duduknya.

"Assalamu'alaikum, Pak."

"Wa'alaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh."

Lelaki itu menghentikan langkahnya, sementara tiga orang dibelakang lelaki itu memandang Ajimukti bahkan dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Mas ini siapa? Tidak sopan sekali. Mas tidak tahu beliau ini siapa? Enak saja panggil Pak." Ucap salah satu pemuda dibelakang lelaki itu dengan wajah tidak sukanya terhadap Ajimukti.

Lelaki itu mengangkat tangannya. Memberi isyarat kepada pemuda itu untuk diam. Pemuda itu segera menunduk.

"Maaf saya tidak tahu bapak siapa. Maaf karena kelancangan saya." Ucap Ajimukti dengan sedikit menunduk.

"Tidak apa-apa anak muda. Kalau boleh tahu anak muda bapak ini siapa dan dari mana? Kok saya baru kali ini melihat kalian berdua." Kata lelaki itu sembari melihat ke arah Dullah yang sejak tadi diam dibelakang Ajimukti.

Ajimukti tersenyum, "Saya Ajimukti, Pak. Dan ini Dullah, paman saya."

Lelaki itu hanya menganggukan kepala, sementara tiga pemuda dibelakangnya masih menatap mereka berdua dengan tatapan kurang suka.

"Kami datang dari Jogjakarta." Imbuh Ajimukti.

"Ya ya ya. Betul sekali kalau kalian tidak mengenal siapa saya."

"Asal Mas dan bapak tahu ya. Beliau ini adalah Kyai Aminudin. Beliau Kyai yang sangat disegani didaerah ini karena santrinya banyak dan datang dari berbagai daerah di Indonesia. Jadi Mas jangan cuma panggil bapak ke beliau. Panggil beliau Kyai." Ucap pemuda yang sejak tadi terlihat kurang suka dengan Ajimukti juga Dullah.

"Mas ini sepertinya bukan santri seperti kami. Jadi wajar saja kalau tidak tahu bagaimana bersikap kepada seorang Kyai seperti Kyai kami ini." Imbuh pemuda yang satunya.

Ajimukti hanya tersenyum, kepalanya sedikit mengangguk pelan.

"Sudah sudah. Tidak apa-apa. Karena mereka kan bukan orang sini. Jadi wajar kalau tidak tahu." Sahut lelaki yang oleh tiga pemuda dipanggilnya dengan panggilan Kyai Aminudin itu.

"Oh iya, kalau saya boleh tahu kalian berdua ini mau kemana?" Tanya Kyai Aminudin kemudian.

"Sekali lagi maaf kan atas kelancangan saya, Pak...."

"Oh, Kyai." Ajimukti membenarkan omongannya sendiri.

"Kedatangan kami kesini karena kami ingin mencari Pondok Pesantren Hidayah, Kyai."

Seketika tiga pemuda dibelakang Kyai Aminudin tertawa. Sementara Kyai Aminudin hanya tersenyum tipis.

Dullah terheran, apa yang membuat mereka tertawa.

"Kalian tahu dari mana nama pondok kami ini?" Tanya salah seorang pemuda itu.

"Kok bisa-bisanya tahu nama pondoknya tapi tidak tahu siapa Kyai nya." Imbuh pemuda yang lain.

Sekali lagi Kyai Aminudin melambaikan tangannya dan ketiga pemuda itu paham apa maksudnya.

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa kalian mencari Pondok Pesantren saya ini?"

Ajimukti tersenyum tipis. Ekspresi wajahnya berubah.

"Saya ingin menjadi santri disini, Kyai." Ucap Ajimukti tenang.

Sekali lagi ketiga pemuda itu terbahak.

"Nyantri disini katamu?"

"Kamu sudah bisa baca Al Qur'an belum?"

"Iya, tidak sembarang orang bisa menjadi santri Pondok Hidayah. Kamu tahu! Pondok ini pondok pesantren yang sudah mempunyai nama baik. Santri disini sudah terkenal kemampuan mengajinya."

"Nanti jangan-jangan kamu cuma mau menyombongkan diri dengan embel-embel Pesantren kami. Padahal kamu belum bisa apa-apa."

"Wah, bisa menjatuhkan nama baik Pesantren itu."

Tiga pemuda itu saling berebut mencela Ajimukti. Ajimukti hanya diam dan tenang. Tanpa berekspresi apapun. Sementara Dullah hanya menggeleng kepala pelan.

"Sudah sudah." Sahut Kyai Aminudin.

"Tapi ada benarnya juga kata mereka ini, Mas. Jangan sampai nama besar Pondok Hidayah hanya untuk embel-embel biar dipandang orang."

"Saya memang belum bisa apa-apa, Kyai. Oleh karena itu saya kesini ingin belajar. Karena yang saya dengar, di pondok ini semua santrinya pandai mengaji dan alim-alim."

Kyai Aminudin tergelak. Sepertinya senang dengan pujian Ajimukti.

"Tentu saja, Mas. Kalau itu sudah tidak usah ditanyakan lagi. Siapa sih yang tidak tahu nama besar Pondok Pesantren Hidayah? Juga kealiman saya sebagai Pengasuh Pondok?"

"Maka dari itu, Kyai. Saya ingin menimba ilmu dari pondok yang memang disegani. Bukan hanya pondok biasa."

Sekali lagi Kyai Aminudin tergelak senang.

"Baiklah. Sebaiknya kita bicara di pondok saja, Mas, Pak. Biar kalian juga bisa melihat sendiri Pondok Hidayah itu seperti apa? Dan seberapa banyak santrinya."

"Baik Kyai kalau begitu."

Salah satu dari tiga pemuda mengangkat tangannya untuk bicara. Kyai Aminudin mempersilahkannya.

"Kyai tidak salah ingin menerima mereka sebagai santri disini?"

Kyai Aminudin tersenyum. "Sudahlah apa salahnya kita memberi peluang kepada yang ingin bertaubat."

Dullah menelan ludah.

"Tapi Kyai. Semua santri disini datang dengan orang tua mereka. Hampir semua yang datang naik mobil-mobil bagus. Banyak diantara mereka anak pejabat atau penguasa. Lah, ini mereka kesini saja entah naik apa. Apa bisa mereka membayar iuran bulanan disini?"

Jelas sekali pemuda itu sedang mengejek Ajimukti dan Dullah karena sejak tadi pandangannya tertuju pada Ajimukti dan Dullah.

"Itu kita pikirkan nanti. Kita ke pesantren dulu saja. Sudah mau siang."

"Baik, Kyai.'

Kyai Aminudin mengajak Ajimukti dan Dullah ke pesantren. Ketiga pemuda itu masih belum beranjak. Jelas sekali ketidak sukaan mereka pada Ajimukti saat ini.

Ketika Kyai Aminudin menoleh ke arah mereka bertiga. Baru mereka bertiga tergopoh-gopoh berjalan mengikuti Kyai nya itu.

Dullah menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Ajimukti menyadari itu. Ajimukti paham betul dengan pengasuhnya sejak kecil itu. Paham akan ketidak nyamanan dan kegelisahan Dullah.

Ajimukti meraih pundak Dullah. Merabanya sejenak. Mencoba menenangkanya. Meyakinkan Dullah bahwa semua akan baik-baik saja.

Dullah tersenyum tipis ke arah Ajimukti. Sekarang Dullah tahu kenapa sejak di bis tadi Ajimukti tampak gelisah. Mungkin hal yang terjadi ini sudah ada dibayangan Ajimukti. Sekali lagi Dullah menarik nafasnya dalam-dalam dan kembali melepasnya kuat-kuat. Dalam kondisi seperti ini Dullah mencoba tenang mengikuti saja apa yang akan Ajimukti lakukan.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Ilham

Ilham

satu lagi ajimukti goblok ngapain belajar di pesantren sana KLO kyai nya aja sombong kan masih banyak pesantren yang lain

2024-12-27

1

Noni Fitria

Noni Fitria

waaah yg kaya gini nih,,kiyai, santri yg duluan masuk neraka,,sifat ujub,riya,takabur nya itu subhanallah

2024-01-10

1

Fatkhur Kevin

Fatkhur Kevin

merasa senior jd sombong

2023-09-18

0

lihat semua
Episodes
1 Ajimukti
2 Hidayah
3 Teman Lama Dullah
4 Jalan Hidayah
5 Kembali Ke Malang
6 Titik Awal
7 Tidak Lebih Dari Tiga Bulan
8 Hasan Basri, Anggoro?
9 Kompetisi
10 Maqam Ya?
11 Dondong Opo Salak?
12 Atur Siasat
13 Sandiwara Ajimukti
14 Gus?
15 Celetuk Dullah
16 Tragedi Surat Dewi
17 Ajimukti Aufatur Muthoriq
18 Kompetisi Lagi
19 Rumpi Santri
20 Perkenalan Dengan Putri Kyai Aminudin
21 Boss!!!
22 Punakawan
23 Filosofi Punakawan
24 Kun Pariyan, Wa Laa Takun Pakisan!
25 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
26 Balada Trio Senior
27 Uji Coba
28 Bibit! Bebet! Bobot!
29 Hujan!
30 Sore Itu Dipasar
31 Sebuah Janji
32 Habiba Lagi! Lagi Lagi Habiba!
33 Siapa Dia?
34 Gerak Faruq
35 Menuju Kompetisi
36 Balada Gelang Kaoka
37 Mencari Habiba
38 Kabar Kemenangan Ajimukti
39 Ah, Ternyata Habiba
40 Do'a Di Iring Shalawat
41 Bakmi Jowo
42 Pertemuan Kedua
43 Orang Tak Dikenal
44 Dia Dalam Doa
45 Curhat
46 Lelaki Tua Itu, Kembali
47 Saudara Yang Sama
48 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
49 Sipat Kandhel?
50 Negosiasi Perasaan
51 Khansa binti Khadzdzam
52 Nugroho Sastro Darmono?
53 Delapan Tahun Lalu
54 Ajimukti VS Budi Nugroho
55 Sukrono Sukro Rino
56 Nguri-uri Peninggalan Leluhur
57 Kalung Kayu Stigi
58 Sedulur Papat Limo Pancer
59 Nafsu Dan Hati Nurani
60 Perginya Budi
61 Mas Kyai Salim Dan Ustadz Amin
62 Bicara Mahar
63 Toleransi
64 Allah Dan Muhammad
65 Teras Ndalem
66 Perdebatan Dimulai
67 Dan Pada Akhirnya
68 Pagi Yang Cerah Senyum Merekah
69 Pertemuan Wali Santri
70 Jangan Panggil, Ning!
71 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
72 Mencari Aminudin
73 Kekhawatiran Sumiatun
74 Menunggu Habiba
75 Penasaran
76 Tiga Mantra Kehidupan
77 Godril Dengan Tattonya
78 Sebuah Rencana
79 Al-insaanu Hayawaanun Naathiq
80 Siapa Yang Mengirim Mereka?
81 Tidak Pantas Dipanggil Gus!
82 Problema Kehidupan
83 Wejangan Nyai Sarah
84 Sobri VS Suko
85 Prastowo Turun Tangan
86 Siapa Warsito Itu?
87 Kelicikan Suko
88 Kepulangan Ari Godril
89 Kebetulan Yang Kebetulan
90 Selebar Daun Kelor
91 Melamar Habiba
92 Balas Budi
93 Meringkus Warsito
94 Satu Nama Baru
95 Sobri
96 Mantu Kurang Ajar
97 Nugroho Dan Kehidupannya
98 Pesan Prastowo
99 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
100 Pokok'e Seneng
101 Malam Di Teras Langgar
102 Kesedihan Habiba
103 Obrolan Jaman Edan
104 Belum Menikah Bicara Thalaq
105 Pulang!
106 Menjemput Habiba
107 Jadilah Purnamaku, Ning!
108 Adigang, Adigung, Adiguna
109 Gejolak Hati Sobri
110 Delapan Menit
111 Pembenci Pemberi Kebaikan
112 Semakin Dekat Semakin Kasar
113 Panggil saja, Umi...!
114 Mungkinkah Wali Mastur?
115 Hal Tatazawajani...!
116 Santri Itu Tosan Aji
117 Bainal-Tsaqaafah Wad-diin
118 Belajar Dari Lalat dan Lebah
119 Ilmu Ikhlas
120 Kesadaran Ajeng
121 Ular Ular
122 Hexa, Santri Baru
123 Ajeng
124 Qulal-haqo Walaw Kan-murona
125 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
126 Sa...bar...!
127 Targhib Atau Tarhib?
128 Masih Tentang Hexa
129 Bro Sobri...!
130 Al 'ulamaa' Warotsatul-Anbiyaa'
131 Pertemuan Dengan Arya
132 Wang Sinawang
133 Tahlilan
134 Tamu Spesial
135 Ini Penting Untuk Wanita
136 Nengahi
137 Sinau Macapat
138 Santri
139 Kredit? Riba?
140 Nduk...!
141 Terselip Dalam Kitab
142 Pertemuan Sobri Dan Gandung
143 Sahabat Sebenarnya
144 Obrolan Membosankan
145 Sak Bab Jum'atan
146 Kembalinya Nafisa
147 Mulut Untuk Telinga
148 Kenali Dunia
149 Mas...!
150 Melunaknya Ego
151 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
152 Kawal Sampai Halal
153 Wali Jami'
154 Sembrono
155 Obrolan Bapak Anak
156 Nafisa
157 Non Marital
158 Sambat
159 Agen Rahasia
160 Ta’addud Al-Jumat
161 Sisi Lain
162 Hobby
163 Kekhawatiran Itu
164 Ngwejang Manan
165 Satu Hal Tentang Kebencian
166 Kalimat Dalam Selembar Surat
167 Menunggu Kunjungan
168 Ilmu Mantik
169 Bu Dhe Satu Lagi
170 Kala Hujan
171 Insya Allah
172 Binniyat
173 Kalung Temurun
174 Uluwwul Himmah
175 !!!..Waraqat Istiraahah...!!!
176 Tamu Tamu Sukrono
177 Arya's Memories
178 Mulatsih
179 Bicara Mulatsih
180 Kakak Sekaligus Guru
181 Tasamuh
182 Bertemunya Ajimukti Mulatsih
183 Kenyang
184 Santri Singa
185 Atur Pangapura
186 Langkah Awal Budi
187 Semangkok Soto
188 Adab dan Ilmu
189 Terbiasa Tak Membiasakan
190 Ruang Kunjung
191 Rahasia Hati
Episodes

Updated 191 Episodes

1
Ajimukti
2
Hidayah
3
Teman Lama Dullah
4
Jalan Hidayah
5
Kembali Ke Malang
6
Titik Awal
7
Tidak Lebih Dari Tiga Bulan
8
Hasan Basri, Anggoro?
9
Kompetisi
10
Maqam Ya?
11
Dondong Opo Salak?
12
Atur Siasat
13
Sandiwara Ajimukti
14
Gus?
15
Celetuk Dullah
16
Tragedi Surat Dewi
17
Ajimukti Aufatur Muthoriq
18
Kompetisi Lagi
19
Rumpi Santri
20
Perkenalan Dengan Putri Kyai Aminudin
21
Boss!!!
22
Punakawan
23
Filosofi Punakawan
24
Kun Pariyan, Wa Laa Takun Pakisan!
25
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
26
Balada Trio Senior
27
Uji Coba
28
Bibit! Bebet! Bobot!
29
Hujan!
30
Sore Itu Dipasar
31
Sebuah Janji
32
Habiba Lagi! Lagi Lagi Habiba!
33
Siapa Dia?
34
Gerak Faruq
35
Menuju Kompetisi
36
Balada Gelang Kaoka
37
Mencari Habiba
38
Kabar Kemenangan Ajimukti
39
Ah, Ternyata Habiba
40
Do'a Di Iring Shalawat
41
Bakmi Jowo
42
Pertemuan Kedua
43
Orang Tak Dikenal
44
Dia Dalam Doa
45
Curhat
46
Lelaki Tua Itu, Kembali
47
Saudara Yang Sama
48
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
49
Sipat Kandhel?
50
Negosiasi Perasaan
51
Khansa binti Khadzdzam
52
Nugroho Sastro Darmono?
53
Delapan Tahun Lalu
54
Ajimukti VS Budi Nugroho
55
Sukrono Sukro Rino
56
Nguri-uri Peninggalan Leluhur
57
Kalung Kayu Stigi
58
Sedulur Papat Limo Pancer
59
Nafsu Dan Hati Nurani
60
Perginya Budi
61
Mas Kyai Salim Dan Ustadz Amin
62
Bicara Mahar
63
Toleransi
64
Allah Dan Muhammad
65
Teras Ndalem
66
Perdebatan Dimulai
67
Dan Pada Akhirnya
68
Pagi Yang Cerah Senyum Merekah
69
Pertemuan Wali Santri
70
Jangan Panggil, Ning!
71
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
72
Mencari Aminudin
73
Kekhawatiran Sumiatun
74
Menunggu Habiba
75
Penasaran
76
Tiga Mantra Kehidupan
77
Godril Dengan Tattonya
78
Sebuah Rencana
79
Al-insaanu Hayawaanun Naathiq
80
Siapa Yang Mengirim Mereka?
81
Tidak Pantas Dipanggil Gus!
82
Problema Kehidupan
83
Wejangan Nyai Sarah
84
Sobri VS Suko
85
Prastowo Turun Tangan
86
Siapa Warsito Itu?
87
Kelicikan Suko
88
Kepulangan Ari Godril
89
Kebetulan Yang Kebetulan
90
Selebar Daun Kelor
91
Melamar Habiba
92
Balas Budi
93
Meringkus Warsito
94
Satu Nama Baru
95
Sobri
96
Mantu Kurang Ajar
97
Nugroho Dan Kehidupannya
98
Pesan Prastowo
99
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
100
Pokok'e Seneng
101
Malam Di Teras Langgar
102
Kesedihan Habiba
103
Obrolan Jaman Edan
104
Belum Menikah Bicara Thalaq
105
Pulang!
106
Menjemput Habiba
107
Jadilah Purnamaku, Ning!
108
Adigang, Adigung, Adiguna
109
Gejolak Hati Sobri
110
Delapan Menit
111
Pembenci Pemberi Kebaikan
112
Semakin Dekat Semakin Kasar
113
Panggil saja, Umi...!
114
Mungkinkah Wali Mastur?
115
Hal Tatazawajani...!
116
Santri Itu Tosan Aji
117
Bainal-Tsaqaafah Wad-diin
118
Belajar Dari Lalat dan Lebah
119
Ilmu Ikhlas
120
Kesadaran Ajeng
121
Ular Ular
122
Hexa, Santri Baru
123
Ajeng
124
Qulal-haqo Walaw Kan-murona
125
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
126
Sa...bar...!
127
Targhib Atau Tarhib?
128
Masih Tentang Hexa
129
Bro Sobri...!
130
Al 'ulamaa' Warotsatul-Anbiyaa'
131
Pertemuan Dengan Arya
132
Wang Sinawang
133
Tahlilan
134
Tamu Spesial
135
Ini Penting Untuk Wanita
136
Nengahi
137
Sinau Macapat
138
Santri
139
Kredit? Riba?
140
Nduk...!
141
Terselip Dalam Kitab
142
Pertemuan Sobri Dan Gandung
143
Sahabat Sebenarnya
144
Obrolan Membosankan
145
Sak Bab Jum'atan
146
Kembalinya Nafisa
147
Mulut Untuk Telinga
148
Kenali Dunia
149
Mas...!
150
Melunaknya Ego
151
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
152
Kawal Sampai Halal
153
Wali Jami'
154
Sembrono
155
Obrolan Bapak Anak
156
Nafisa
157
Non Marital
158
Sambat
159
Agen Rahasia
160
Ta’addud Al-Jumat
161
Sisi Lain
162
Hobby
163
Kekhawatiran Itu
164
Ngwejang Manan
165
Satu Hal Tentang Kebencian
166
Kalimat Dalam Selembar Surat
167
Menunggu Kunjungan
168
Ilmu Mantik
169
Bu Dhe Satu Lagi
170
Kala Hujan
171
Insya Allah
172
Binniyat
173
Kalung Temurun
174
Uluwwul Himmah
175
!!!..Waraqat Istiraahah...!!!
176
Tamu Tamu Sukrono
177
Arya's Memories
178
Mulatsih
179
Bicara Mulatsih
180
Kakak Sekaligus Guru
181
Tasamuh
182
Bertemunya Ajimukti Mulatsih
183
Kenyang
184
Santri Singa
185
Atur Pangapura
186
Langkah Awal Budi
187
Semangkok Soto
188
Adab dan Ilmu
189
Terbiasa Tak Membiasakan
190
Ruang Kunjung
191
Rahasia Hati

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!