Eling eling siro menungsa, temenana anggonmu ngaji
Mumpung durung den rawuhi, Malaikat juru pati
Aja sira banget banget anggonmu bungah ning alam dunya
Malaikat juru pati lirak lirik marang sira
Anggone nglirik Malaikat, arep jabut nyawa nira
Anggone jabut angenteni, dawuhe Kang Maha Mulya
Adzan Maghrib baru saja usai dikumandangkan dan sebuah syi'ir jawa mengalun indah setelahnya. Ajimukti menyipitkan matanya. Selama dua hari disini baru kali ini dirinya mendengar pujian selepas adzan. Suara adzan isya' barusan pun berbeda dengan yang biasanya. Jelas itu bukan Budi.
"Ternyata ada pujian juga, Mas."
"Iya, Lek. Kira-kira siapa ya, Lek? Suaranya enak bener. Bikin merinding."
"Sepertinya saya tahu, Mas. Kalau dugaan saya tidak salah pasti dia."
Ajimukti kembali menyipitkan matanya.
"Kita ke masjid, Mas. Mas juga akan tahu sendiri."
Tak lama Ajimukti sudah berada di dalam masjid. Beberapa santri pun sudah berada di dalam masjid melakukan sholat tahiyatal masjid. Pandangannya tertuju pada seorang pemuda yang duduk bersila dengan microphone di tangannya.
"Seperti dugaan saya, Mas. Manan yang pujian."
"Ternyata Manan memiliki suara sebagus ini ya, Lek."
Ajimukti melangkah lalu mengambil takbiratul ikram sholat tahiyatal masjid. Begitu juga Dullah.
Sholat isya' berjama'ah sudah selesai dilaksanakan. Kyai Aminudin yang menjadi imam pun sudah kembali kedalam rumahnya. Di dalam masjid hanya tinggal beberapa santri termasuk Imam dan Khalil. Yang Ajimukti dengar, mereka para santri senior setiap ba'da isya' ada kajian kitab.
Ajimukti dan Dullah beranjak meninggalkan masjid untuk kembali ke kamar, karena untuk santri seperti mereka mengaji hanya ba'da subuh dan dzuhur juga ba'da ashar di beberapa hari tertentu.
Belum jauh mereka berjalan meninggalkan masjid. Seseorang setengah berlari menyusul mereka berdua. Nafasnya ngos-ngosan ketika sudah berada didekat mereka. Ajimukti dan Dullah berhenti sejenak.
"Kenapa berhenti?"
"Kamu ini kenapa lari lari, Mas Manan?" Tanya Dullah kemudian.
"Tidak apa-apa, Lek Dul. Sudah saya mau numpang ngopi di kamar kalian. Ayo."
Manan mendahului Ajimukti dan Dullah. Ajimukti dan Dullah hanya saling pandang dan sama-sama mengangkat bahu, lalu berjalan kembali menuju kamar mereka.
Setiba dikamar, Dullah segera menyalakan pemanas air. Sementara Ajimukti dan Manan sudah sama-sama duduk di tikar yang tidak terlalu lebar.
"Rokok dulu, Mas." Ajimukti mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku bajunya.
"Kamu ini. Sudah panggil nama saja. Tidak usah pakai Mas segala."
"Maaf lupa. Kebiasaan soalnya."
Tak berselang lama, Dullah datang membawa tiga cangkir kopi yang masih begitu panas.
"Wah ini yang saya tunggu. Kopi hitam. Panas."
Dullah hanya tersenyum lalu ikut duduk di tikar.
"Sejujurnya saya penasaran. Kalian ini datang darimana?" Tanya Manan kemudian.
"Sebelum kami menjawab itu. Saya ingin tahu sesuatu tentang kamu, Manan." Sahut Dullah.
Manan mengernyitkan kening.
"Maksudnya tahu tentang saya itu bagaimana ya, Lek Dul?"
"Begini, Manan. Siang tadi di aula kamu bilang sesuatu tentang Prastowo."
"Oh itu. Soal Pak dhe Prastowo itu, tho?"
Dullah mengangguk.
"Dulu sebelum Kyai Aminudin memegang seluruh kendali atas Pondok Hidayah ini dan mengubah semua aturan yang sudah ada. Pondok Hidayah ini milik seorang Kyai yang sangat baik. Beliau adalah Kyai Salim Muthoriq. Sementara Pak dhe Prastowo sendiri adalah pemasok ayam potong sekaligus sahabat baik Kyai Salim. Pak dhe Prastowo sering datang kesini membantu apapun di pondok ini. Bahkan Pak dhe tidak pernah mau dibayar meski setiap seminggu dua kali mengirim berpuluh puluh kilo ayam potong kesini."
Baik Dullah maupun Ajimukti mengangguk seakan paham akan cerita Manan.
"Kenapa saya memanggil Pak dhe Prastowo dengan sebutan pak dhe? Seperti kataku tadi siang. Bapakku dan Pak dhe Prastowo juga Kyai Salim pun berteman baik."
"Tunggu tunggu." Dullah memotong cerita Manan.
"Kamu bilang, bapakmu dan Prastowo juga Kyai Salim berteman baik kan? Kalau boleh tahu siapa nama bapakmu itu?"
"Bapakku bernama Hasan Bakri."
"Hasan Bakri?" Dullah mengerutkan keningnya.
"Apa sampeyan tahu nama bapaknya Manan itu, Lek?" Tanya Ajimukti pada Dullah.
Dullah menggelengkan kepala.
"Saya tidak pernah tahu nama itu, Mas."
"Apa mungkin beliau ini orang baru ya, Lek?"
"Bisa jadi, Mas."
"Maaf Manan. Apa kamu tahu sejak kapan bapakmu dan Prastowo ini dekat?"
Manan menggaruk garuk dagunya.
"Setahu saya ya. Bapak dan Pak dhe Prastowo ini satu guru ngaji. Dulu sewaktu masih muda bapak dan Pak dhe Prastowo belajar ngaji sama Simbah Zaini."
Dullah kembali mengerutkan keningnya.
"Bagaimana, Lek?" Tanya Ajimukti kemudian.
"Maaf Manan. Saya pernah mendengar nama Simbah Zaini itu. Tapi setahu saya beliau ini memang sempat menyalurkan ilmunya. Tapi beliau hanya punya dua murid yang biasa mengaji padanya. Satu Prastowo dan satunya lagi Anggoro namanya. Saya belum pernah dengar nama Hasan Bakri, bapakmu itu."
Tiba-tiba Manan terbahak. Ajimukti dan Dullaj saling beradu pandang tidak paham apa yang membuat Manan tertawa seperti itu.
"Ya Anggoro itu bapak saya, Lek Dul. Itu nama bapak saya waktu masih mudanya. Setelah menikah dengan ibu saya, bapak ingin memulai kehidupan baru. Sampai sampai mengganti namanya dari yang sebelumnya Anggoro menjadi Hasan Bakri."
Dullah tercengang mendengar penuturan Manan.
Abdul manan tiba-tiba mendekat ke arah Ajimukti lalu berbisik. "Bapak saya dulu itu waktu mudanya preman. Tapi ssssttt jangan bilang siapa-siapa."
Ajimukti hanya tersenyum. Sepertinya Manan tidak menyadari sesuatu.
Manan meraih gelas kopi didepannya. Ia kemudian menyeruput perlahan kopi yang masih panas itu.
"Bisakah saya bertemu bapak kamu?" Tanya Dullah kemudian.
Manan mendongak kearah Dullah lalu diletakkannya gelas kopinya.
"Bisa, Lek Dul. Biasanya setiap akhir bulan bapak pasti kesini, ya meski kalau kesini cuma sebentar habis itu bapak pasti kerumah Pak dhe Prastowo. Malah kalau disana bisa sangat lama."
"Hmmm. Baiklah kalau begitu."
"Makanya saya sejak melihat kalian tadi siang. Saya yakin kalian bukan santri seperti para santri disini yang seperti sekarang ini. Tapi jujur saya masih penasaran. Kok Lek Dul bisa kenal akrab dengan Pak dhe Prastowo?"
Dullah tidak ingin buru-buru mengatakan apapun pada Manan.
"Saya dulu juga sempat ngaji sama Simbah Zaini. Tapi tidak lama. Cuma beberapa bulan."
"Og begitu rupanya. Pantas saja kok Lek Dul ini bisa tahu nama bapak saya yang dulu."
Dullah hanya mengangguk.
"Berarti Lek Dul juga kenal bapak saya?"
"Tentu saja kenal. Makanya tadi saya tanya kapan saya bisa bertemu bapakmu itu."
Manan hanya mengangguk lalu kembali menggaruk dagunya.
"Berarti benar firasat saya sejak tadi siang."
Kembali Ajimukti dan Dullah saling beradu pandang.
"Firasat apa?" Tanya Ajimukti yang sejak tadi masih diam.
"Kalian tidak benar-benar tidak bisa ngaji kan?"
Dullah menelan ludah.
"Ya kami memang benar-benar tidak bisa ngaji kok." Ajimukti mencoba meyakinkan Manan.
Manan tersenyum mengejek. Lalu menatap Ajimukti dan Dullah dengan sangat tajam.
"Orang lain mungkin bisa kalian kelabuhi. Tapi tidak dengan Abdul Manan ini. Nalarnya saja. Lek Dul sudah kelepasan bicara kan barusan."
"Kelepasan bicara apa?" Dullah tampak gugup. Jangan-jangan dirinya sudah salah ucap.
"Lek Dul bilang kan tadi. Lek Dul pernah beberapa bulan ikut ngaji ke Simbah Zaini?"
"Iya. Lalu?"
Dullah tampak khawatir. Jangan-jangan Manan tahu dirinya sedang berbohong. Jangan-jangan Manan tahu kalau Dullah tidak pernah ngaji pada Zaini.
"Sangat tidak mungkin kalau orang yang telah ngaji sama seorang yang alim seperti Simbah Zaini sampai tidak bisa ngaji. Benar kan asumsi saya ini?"
Deg! Dullah lagi-lagi menelan ludah.
Ajimukti mengusap usap keningnya sendiri.
"Teliti sekali Manan ini. Sampai sampai dia bisa berasumsi sedetail itu." Batin Ajimukti sambil diam-diam melirik kearah Manan yang kembali menyeruput kopinya.
"Haruskah Manan ada dalam bagian rencanaku ini nantinya?" Sekali lagi Ajimukti membatin.
"Ah. Tidak tidak tidak. Jangan dulu." Bantah suara hatinya.
Untuk sesaat kamar itu hening. Hanya ada suara desiran angin dari luar yang menggoyang daun-daun kering diluar kamar itu yang samar-samar terdengar lirih memecah keheningan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Tirta Kamandanu
Dari beberapa kisah yg sudah saya baca....
sepertinya kisah ini yg menduduki peringkat teratas versi ku walau baru beberapa bab di baca.....
2022-04-06
2
yamink oi
up
2022-01-05
1
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
waalaah... Si Lek keceplosan
2021-12-31
2