NovelToon NovelToon

BROMOCORAH

Ajimukti

Banyak orang mengeluh karena turunnya hujan. Tapi tidak sedikit juga yang begitu kegirangan mana kala hujan turun. Hujan ya hujan. Ia akan turun meski banyak yang tidak suka, karena hujan turun pada mereka yang menanti kehadirannya.

Melirik jam di tangan, masih belum lewat tengah malam.

"Mas, kira-kira kita nanti sampai disana jam berapa?"

"Mungkin sebelum subuh, sampeyan tidur lagi saja."

"Hmmm."

Mereka bukanlah kakak beradik. Bahkan yang dipanggil Mas, usianya jauh lebih muda dari yang memanggilnya. Bahkan mungkin sebaya anaknya.

Namanya Ajimukti, seorang pemuda yang cukup menarik. Berkulit putih dengan tinggi dan perawakan ideal. Bentuk wajahnya tirus dengan hidung sedikit mancung juga bola mata sedikit coklat.

Sementara yang memanggilnya Mas, beliau adalah pengasuh Ajimukti sejak Ajimukti masih berusia tiga tahun. Namanya Dullah, tapi Ajimukti biasa memanggilnya Lek Dul. Lek, kalau orang Jawa Timuran diartikan paman atau om. Usianya sekitar lima puluh tahun lebih, kulitnya sawo matang, tidak terlalu tinggi tapi memiliki otot yang terbilang kekar untuk ukuran tubuh seusianya.

"Kita berharap saja sesampainya disana hujan sudah reda ya, Lek."

"Iya, Mas. Semoga."

Dullah membenarkan posisi duduknya. Sekilas matanya melirik kearah Ajimukti yang sepertinya gelisah. Entah apa yang sedang dipikirkan Ajimukti saat ini. Dullah tidak berani menegur atau bahkan bertanya. Hanya saja Dullah hafal betul dengan mimik wajah Ajimukti. Bagaimana pun, dia telah mengasuh Ajimukti belasan tahun.

Dari jendela, terlihat jalanan sekitar sangat sunyi dan terus masih diguyur hujan yang cukup lebat. Sesekali mereka melewati beberapa jalan yang gelap tanpa penerangan lampu. Sopir pun harus mengurangi kecepatannya.

Bis masih melaju tidak terlalu kencang. Samar-samar terdengar alunan tembang kenangan bersaut dengan deras hujan diluar. Hawa dingin membuat hampir seluruh penumpang lelap tertidur tanpa peduli hujan yang mengguyur. Berharap saja semoga pak sopirnya tidak kantuk juga karena suasana ini.

Ajimukti meraih botol mineral di saku ranselnya. Membuka tutupnya dan menenggaknya. Jakun dilehernya terlihat naik turun menelan air yang mengalir di tenggorokannya.

Dullah hanya terdiam. Sesekali matanya masih mencuri curi pandang kearah Ajimukti. Dullah semakin yakin Ajimukti sedang gelisah saat ini. Beberapa kali juga tampak Ajimukti melihat jam ditangannya. Semakin memperlihatkan jelas kegelisahannya.

Ajimukti sedikit menyadari kalau Dullah sedari tadi diam-diam memperhatikan sikapnya.

"Saya bingung, Lek."

Dullah menegakkan duduknya. Dullah heran seolah Ajimukti tahu apa yang ada dipikirannya. Tapi Dullah sangat paham, memang begitulah Ajimukti. Kadang tidak perlu ditanyakan pun, Ajimukti pada akhirnya akan bercerita.

"Apakah yang saya lakukan ini memang benar atau justru sebuah kesalahan?"

Ajimukti mendesah. Membuang nafasnya panjang-panjang.

Dullah tersenyum.

"Mas Aji sejak awal sudah yakin kan? Kenapa sekarang ragu?"

"Bukan ragu, Lek. Tapi jujur ada hal-hal yang sejak awal mengganggu pikiran saya."

Dullah hanya terdiam. Dullah tidak ingin bertanya terang-terangan perihal apa itu. Dia biarkan sampai Ajimukti menceritakannya sendiri.

"Bismillah, Mas."

Ajimukti mengangguk berat lalu melempar sedikit senyum kearah Dullah. Dullah tahu senyum itu bukan berarti kegelisahan Ajimukti hilang, tapi justru sebaliknya.

"Yasudah, Lek. Tidur lagi saja. Masih sekitar tiga jam untuk kita sampai disana."

"Sampeyan juga tidur dulu saja, Mas."

Sebenarnya tadi Dullah memang masih mengantuk hingga akhirnya Ajimukti tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Hanya saja Dullah tidak enak kalau melanjutkan tidurnya.

Ajimukti terlihat mulai memejamkan matanya. Entah tidur entah sedang memikirkan sesuatu, Dullah tidak ingin mencari tahu saat ini. Dia kembali menyandarkan kepalanya ke bangku. Matanya dengan cepat terpejam karena menahan kantuk sedari tadi.

Satu jam berlalu.

Dua jam berlalu, dan hujan belum juga reda.

Tiga jam berlalu.

"Persiapan. Persiapan. Terminal Persiapan."

Kondektur bis terdengar mulai memberi aba-aba pada para penumpang yang akan turun untuk mempersiapkan barang bawaan mereka.

Dullah sudah memangku ranselnya sembari membenarkan jaketnya. Matanya sesekali melirik kearah Ajimukti yang juga sedang bersiap-siap untuk turun. Kegelisahan itu masih terlihat jelas di wajah Ajimukti.

Bis berhenti. Seluruh penumpang berdiri dan berangsur keluar dari bis. Pun dengan Ajimukti dan Dullah.

"Alhamdulillah, akhirnya sampai ya, Mas."

"Iya, Lek."

Ajimukti melihat jam ditangannya.

"Belum subuh, Lek. Kita cari kopi dulu sambil nunggu subuh ya, Lek."

Dullah hanya mengangguk lalu berjalan mengikuti Ajimukti ke warung makan pinggiran terminal.

Beberapa jam kemudian.

Suara adzan subuh mengalun indah dari sebuah Masjid kuno yang cukup besar. Beberapa orang bersarung dan berpeci terlihat tergesa menuju Masjid itu.

Ajimukti berdiri tepat di halaman Masjid. Halamannya cukup luas dengan pasangan paving yang sudah tertata dengan corak yang terkombinasi rapi. Karena saking luasnya, mungkin cukup untuk parkir sekitar dua puluh bis besar. Dullah berdiri dibelakang Ajimukti.

Kini pandangan Ajimukti tertuju pada seorang laki-laki paruh baya, lebih tua beberapa tahun dari Dullah. Lelaki itu mengenakan koko putih, sarung putih dengan sedikit corak garis-garis hitam, peci putih juga sehelai surban yang dililitkan di lehernya. Hampir seluruh yang ada di Masjid berdiri tatkala melihat lelaki itu. Saling berebut untuk menyalami dan mencium tangan lelaki itu.

"Kita masuk sekarang, Lek."

"Baik, Mas."

Ajimukti berjalan ke arah Masjid di ikuti Dullah dibelakangnya. Pandangannya masih tertuju pada kerumunan orang-orang yang berebut untuk bisa menyalami lelaki berkalung surban itu.

Ajimukti menuju ke sisi pojok Masjid, meletakkan ranselnya, melepas jaketnya, lalu sholat fajar. Dullah pun begitu. Beberapa orang memandang mereka berdua dengan tatapan asing. Entah apa yang ada dipikiran mereka.

Iqomah berkumandang dari seorang pemuda yang sangat kental dengan pakaian ala santrinya. Ajimukti segera beranjak dari duduknya, bergabung dengan shoff dibagian belakang. Membiarkan ranselnya tetap disudut Masjid.

Selesai Sholat Subuh berjama'ah, Ajimukti masih duduk di teras Masjid. Beberapa orang yang melintas memandangnya masih dengan pandangan asing. Dullah yang sejak tadi merasa tidak nyaman dengan pandangan orang orang disekelilingnya.

Lelaki bersorban yang tadi membuat seluruh jama'ah berebut untuk menyalaminya yang juga menjadi imam sholat, kini keluar dari Masjid di ikuti tiga orang dibelakangnya, termasuk yang tadi mengumandangkan iqomah.

Melihat lelaki itu berjalan tak jauh darinya, Ajimukti segera bangun dari duduknya.

"Assalamu'alaikum, Pak."

"Wa'alaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh."

Lelaki itu menghentikan langkahnya, sementara tiga orang dibelakang lelaki itu memandang Ajimukti bahkan dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Mas ini siapa? Tidak sopan sekali. Mas tidak tahu beliau ini siapa? Enak saja panggil Pak." Ucap salah satu pemuda dibelakang lelaki itu dengan wajah tidak sukanya terhadap Ajimukti.

Lelaki itu mengangkat tangannya. Memberi isyarat kepada pemuda itu untuk diam. Pemuda itu segera menunduk.

"Maaf saya tidak tahu bapak siapa. Maaf karena kelancangan saya." Ucap Ajimukti dengan sedikit menunduk.

"Tidak apa-apa anak muda. Kalau boleh tahu anak muda bapak ini siapa dan dari mana? Kok saya baru kali ini melihat kalian berdua." Kata lelaki itu sembari melihat ke arah Dullah yang sejak tadi diam dibelakang Ajimukti.

Ajimukti tersenyum, "Saya Ajimukti, Pak. Dan ini Dullah, paman saya."

Lelaki itu hanya menganggukan kepala, sementara tiga pemuda dibelakangnya masih menatap mereka berdua dengan tatapan kurang suka.

"Kami datang dari Jogjakarta." Imbuh Ajimukti.

"Ya ya ya. Betul sekali kalau kalian tidak mengenal siapa saya."

"Asal Mas dan bapak tahu ya. Beliau ini adalah Kyai Aminudin. Beliau Kyai yang sangat disegani didaerah ini karena santrinya banyak dan datang dari berbagai daerah di Indonesia. Jadi Mas jangan cuma panggil bapak ke beliau. Panggil beliau Kyai." Ucap pemuda yang sejak tadi terlihat kurang suka dengan Ajimukti juga Dullah.

"Mas ini sepertinya bukan santri seperti kami. Jadi wajar saja kalau tidak tahu bagaimana bersikap kepada seorang Kyai seperti Kyai kami ini." Imbuh pemuda yang satunya.

Ajimukti hanya tersenyum, kepalanya sedikit mengangguk pelan.

"Sudah sudah. Tidak apa-apa. Karena mereka kan bukan orang sini. Jadi wajar kalau tidak tahu." Sahut lelaki yang oleh tiga pemuda dipanggilnya dengan panggilan Kyai Aminudin itu.

"Oh iya, kalau saya boleh tahu kalian berdua ini mau kemana?" Tanya Kyai Aminudin kemudian.

"Sekali lagi maaf kan atas kelancangan saya, Pak...."

"Oh, Kyai." Ajimukti membenarkan omongannya sendiri.

"Kedatangan kami kesini karena kami ingin mencari Pondok Pesantren Hidayah, Kyai."

Seketika tiga pemuda dibelakang Kyai Aminudin tertawa. Sementara Kyai Aminudin hanya tersenyum tipis.

Dullah terheran, apa yang membuat mereka tertawa.

"Kalian tahu dari mana nama pondok kami ini?" Tanya salah seorang pemuda itu.

"Kok bisa-bisanya tahu nama pondoknya tapi tidak tahu siapa Kyai nya." Imbuh pemuda yang lain.

Sekali lagi Kyai Aminudin melambaikan tangannya dan ketiga pemuda itu paham apa maksudnya.

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa kalian mencari Pondok Pesantren saya ini?"

Ajimukti tersenyum tipis. Ekspresi wajahnya berubah.

"Saya ingin menjadi santri disini, Kyai." Ucap Ajimukti tenang.

Sekali lagi ketiga pemuda itu terbahak.

"Nyantri disini katamu?"

"Kamu sudah bisa baca Al Qur'an belum?"

"Iya, tidak sembarang orang bisa menjadi santri Pondok Hidayah. Kamu tahu! Pondok ini pondok pesantren yang sudah mempunyai nama baik. Santri disini sudah terkenal kemampuan mengajinya."

"Nanti jangan-jangan kamu cuma mau menyombongkan diri dengan embel-embel Pesantren kami. Padahal kamu belum bisa apa-apa."

"Wah, bisa menjatuhkan nama baik Pesantren itu."

Tiga pemuda itu saling berebut mencela Ajimukti. Ajimukti hanya diam dan tenang. Tanpa berekspresi apapun. Sementara Dullah hanya menggeleng kepala pelan.

"Sudah sudah." Sahut Kyai Aminudin.

"Tapi ada benarnya juga kata mereka ini, Mas. Jangan sampai nama besar Pondok Hidayah hanya untuk embel-embel biar dipandang orang."

"Saya memang belum bisa apa-apa, Kyai. Oleh karena itu saya kesini ingin belajar. Karena yang saya dengar, di pondok ini semua santrinya pandai mengaji dan alim-alim."

Kyai Aminudin tergelak. Sepertinya senang dengan pujian Ajimukti.

"Tentu saja, Mas. Kalau itu sudah tidak usah ditanyakan lagi. Siapa sih yang tidak tahu nama besar Pondok Pesantren Hidayah? Juga kealiman saya sebagai Pengasuh Pondok?"

"Maka dari itu, Kyai. Saya ingin menimba ilmu dari pondok yang memang disegani. Bukan hanya pondok biasa."

Sekali lagi Kyai Aminudin tergelak senang.

"Baiklah. Sebaiknya kita bicara di pondok saja, Mas, Pak. Biar kalian juga bisa melihat sendiri Pondok Hidayah itu seperti apa? Dan seberapa banyak santrinya."

"Baik Kyai kalau begitu."

Salah satu dari tiga pemuda mengangkat tangannya untuk bicara. Kyai Aminudin mempersilahkannya.

"Kyai tidak salah ingin menerima mereka sebagai santri disini?"

Kyai Aminudin tersenyum. "Sudahlah apa salahnya kita memberi peluang kepada yang ingin bertaubat."

Dullah menelan ludah.

"Tapi Kyai. Semua santri disini datang dengan orang tua mereka. Hampir semua yang datang naik mobil-mobil bagus. Banyak diantara mereka anak pejabat atau penguasa. Lah, ini mereka kesini saja entah naik apa. Apa bisa mereka membayar iuran bulanan disini?"

Jelas sekali pemuda itu sedang mengejek Ajimukti dan Dullah karena sejak tadi pandangannya tertuju pada Ajimukti dan Dullah.

"Itu kita pikirkan nanti. Kita ke pesantren dulu saja. Sudah mau siang."

"Baik, Kyai.'

Kyai Aminudin mengajak Ajimukti dan Dullah ke pesantren. Ketiga pemuda itu masih belum beranjak. Jelas sekali ketidak sukaan mereka pada Ajimukti saat ini.

Ketika Kyai Aminudin menoleh ke arah mereka bertiga. Baru mereka bertiga tergopoh-gopoh berjalan mengikuti Kyai nya itu.

Dullah menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Ajimukti menyadari itu. Ajimukti paham betul dengan pengasuhnya sejak kecil itu. Paham akan ketidak nyamanan dan kegelisahan Dullah.

Ajimukti meraih pundak Dullah. Merabanya sejenak. Mencoba menenangkanya. Meyakinkan Dullah bahwa semua akan baik-baik saja.

Dullah tersenyum tipis ke arah Ajimukti. Sekarang Dullah tahu kenapa sejak di bis tadi Ajimukti tampak gelisah. Mungkin hal yang terjadi ini sudah ada dibayangan Ajimukti. Sekali lagi Dullah menarik nafasnya dalam-dalam dan kembali melepasnya kuat-kuat. Dalam kondisi seperti ini Dullah mencoba tenang mengikuti saja apa yang akan Ajimukti lakukan.

Bersambung...

Hidayah

Pondok Pesantren Hidayah berada tepat di belakang Masjid tadi. Halamannya pun tak kalah luas dengan halaman Masjid. Bangunannya terlihat bagus membentuk letter U dan seluruhnya bangunan sudah tingkat tiga dengan warna cat hijau muda.

Disalah satu sudut halaman tampak bangunan dengan hanya bertiang cor yang diukir. Didalamnya berjejer beberapa mobil mewah dengan harga yang cukup fantastis.

Kyai Aminudin mengajak mereka ke sebuah teras. Mungkin itu rumah yang beliau tinggali bersama keluarga. Rumahnya pun tak kalah mewah. Dengan keramik yang sangat megah juga beberapa lukisan dari seniman lukis terkenal. Jelas itu bukan karya yang murah. Belum lagi sofa dan meja yang cukup mewah dan Gucci yang tertata di sebagian sudut teras. Semakin menampilkan kesan mewah rumah itu. Ini baru terasnya, belum didalamnya.

"Silahkan duduk dulu." Kyai Aminudin mempersilahkan Ajimukti dan Dullah untuk duduk di sofa empuk itu.

Kyai Aminudin juga mempersilahkan ketiga pemuda itu untuk kembali ke pondok dan ketiganya hanya mengangguk. Sekali lagi pandangan tak suka mereka kembali diperlihatkan pada Ajimukti dan Dullah.

"Beginilah Pondok Hidayah." Kyai Aminudin mengawali percakapan pagi ini.

"Besar sekali, Kyai. Saya tidak menyangka pondoknya sebesar ini."

"Ini belum apa-apa. Rencananya saya ingin merenovasi untuk yang pondok putrinya. Tapi masih menunggu iuran dari para wali santri yang pejabat juga pengusaha pengusaha itu."

Ajimukti hanya mengangguk. Dullah kembali menelan ludah diam-diam.

"Ini rumah, Kyai?"

"Betul sekali. Ya belum lama pindah sebenarnya. Masih berantakan."

"Loh, lalu dulunya Kyai tinggal dimana?"

"Dulu saya juga tinggal tidak jauh dari sini. Tapi setelah rekan saya yang juga pengasuh di pondok ini meninggal saya memutuskan untuk gantian mengawasi anak-anak disini."

"Loh, berarti Kyai ini penerusnya atau bagaimana?"

Kyai Aminudin mengubah posisi duduknya yang semula bersandar kini ditegakkan.

"Begini. Dulu saya dan rekan saya sama-sama berjuang untuk membangun pondok ini. Tapi sayang keserakahannya dan wataknya yang lama belum juga bisa berubah. Maklum mantan preman yang sok sokan tobat. Akhirnya sakit sakitan dan meninggal."

Dullah kembali hanya menelan ludah mendengar cerita itu.

"Memangnya pengasuh yang sebelumnya tidak punya keluarga, Kyai?"

Kyai Aminudin terbahak. "Keluarga?"

"Sejak saya kenal dia. Dia itu sudah ditinggalkan keluarganya. Anak istrinya entah dimana. Mungkin istrinya sudah menikah lagi karena memang dulu dia tidak pantas untuk dibilang seorang imam. Pantaslah kalau istrinya kemudian meninggalkan dia."

Ajimukti hanya mengangguk seolah paham dengan apa yang diceritakan Kyai Aminudin.

"Sudah lama itu meninggalnya Kyai?"

"Ya ada kalau tujuh tahun ini. Lebih mungkin. Saya tidak terlalu ingat."

"Dimakamkan disini juga atau dimana, Kyai?"

"Tidak. Dimakamkan di daerah asalnya sana di Jogjakarta sana."

"Loh, sama seperti saya berarti, Kyai? Berasal dari Jogja."

"Iya, tapi saya juga tidak tahu tepatnya."

"Kyai apa tidak ikut di pemakaman pengasuh sebelumnya?"

"Saya mengurus yang disini. Lagipula kesehatan saya waktu itu kurang baik. Sudah banyak santri yang ikut mengiring juga."

Kyai Aminudin menyalakan rokoknya. Asap mengepul di sekeliling teras itu.

"Oh iya. Nama kalian siapa. Kalian belum memperkenalkan diri kan?"

"Maaf, Kyai. Keasikan mengobrol malah belum sempat memperkenalkan diri. Nama saya Ajimukti. Paman saya ini namanya Dullah."

Kyai Aminudin hanya mengangguk.

"Lalu apa kalian sudah tahu persyaratan apa saja yang harus kalian penuhi untuk bisa menjadi santri disini?" Kyai Aminudin kembali menghisap rokoknya.

Ajimukti tersenyum simpul. "Kiranya Kyai menjelaskan agar kami semakin paham."

Kyai Aminudin mematikan rokoknya yang masih setengah itu. Kemudian kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Sebenarnya mudah saja. Kalian hanya perbulan akan dikenakan biaya dua juta. Itu untuk kelancaran juga fasilitas makan dan lain sebagainya."

Dullah lagi-lagi hanya menelan ludah. Ekspresi wajahnya pun sedikit berubah.

"Hanya itu saja atau ada syarat yang lain, Kyai?"

"Emmm, sementara hanya itu. Dan untuk kitab memang ada beberapa yang harus beli sendiri. Apa kalian sanggup? Kalau keberatan dengan iuran segitu tidak apa-apa."

"Ah tidak, Kyai. Kami sudah mempersiapkannya."

"Baiklah kalau begitu. Nanti biar saya suruh bagian administrasi pondok untuk mengurus pendaftaran kalian."

"Terima kasih, Kyai."

Kyai Aminudin meraih ponsel disakunya. Lalu melakukan panggilan ke seseorang. Hanya beberapa patah kata lalu Kyai Aminudin menutup telefonnya.

Tidak butuh waktu lama seseorang datang menghampiri kami. Seorang pemuda yang terbilang nyentrik dengan kulit putih dan sorot mata yang bagus. Kyai Aminudin mempersilahkannya duduk. Lalu beranjak untuk masuk ke dalam rumah.

Suara pemuda itu agak berat. Mungkin memang karakter suaranya. Beberapa lembar kertas dikeluarkan dari dalam maps besar. Lalu menyodorkannya ke Ajimukti juga Dullah.

"Mas baca ini dulu lalu isi semua ya."

Ajimukti tidak tertarik untuk membaca, ia langsung saja meraih bolpoint yang juga diberikan padanya. Mengisinya dan kembali menyerahkan ke pemuda itu lagi.

Dullah mengamati Ajimukti untuk beberapa saat sebelum dirinya pun menyerahkan selembar kertas pendaftaran.

"Lalu untuk uang pendaftaran juga iuran bulan pertama bagaimana, Mas? Akan ditransfer atau cash?" Tanya pemuda itu sembari mengamati formulir pendaftaran yang Ajimukti serahkan padanya tadi. Tanpa sedikitpun melihat yang diajaknya berbicara.

"Cash saja, Mas."

"Jadi totalnya tujuh juta ya, Mas. Biaya pendaftaran masing satu setengah juta ditambah iuran bulanan dua juta. Masing-masing tiga setengah juta. Jadi untuk dua orang, tujuh juta."

"Baik, Mas."

Lagi-lagi Dullah hanya menelan ludah.

Ajimukti merogoh ranselnya. Mengeluarkan uang yang sudah disiapkannya dari rumah.

"Ini, Mas. Dihitung dulu takut kurang." Ajimukti menyerahkan uang itu ke si pemuda tadi.

Pemuda itu lalu menghitungnya.

"Baiklah pas, Mas. Melihat penampilan kalian, saya pikir kalian akan minta keringanan atau bahkan akan membayar dicicil."

Ajimukti hanya tersenyum. Sementara Dullah terlihat mengepalkan tangannya. Ajimukti sedikit menyentuh punggung tangan Dullah.

"Yasudah, ini sudah beres. Mari ikut saya. Saya akan tunjukkan kamar kalian."

Pemuda itu bangkit kemudian berjalan meninggalkan teras rumah Kyai Aminudin, Ajimukti dan Dullah mengikuti di belakangnya.

"Sombong sekali, Mas." Bisik Dullah.

"Sudah, Lek. Jangan diambil hati."

"Katanya santri yang jago-jago mengaji. Tapi kok ndak ada tatakramanya sama sekali. Angkuh. Sombong."

Ajimukti hanya tersenyum.

Sepanjang lorong menuju ke kamar mereka, pandangan-pandangan tak mengenakkan dari para santri tertuju jelas ke arah Ajimukti dan Dullah.

Tak lama pemuda itu berhenti dan berdiri di sebuah kamar yang pintunya tertutup.

"Ini kamar kalian. Kalian bersihkan sendiri ya. Sudah lama sejak penghuni lamanya boyong, kamar ini sudah tidak dibersihkan. Bukan tidak mau, tapi karena tidak ada dawuh dari Kyai juga karena semua santri disini sibuk mengaji."

Diam-diam Dullah mencibir.

"Yasudah, saya tinggal dulu."

Pemuda itu melangkah pergi setelah membuka pintu kamar itu. Belum ada sepuluh langkah pemuda itu membalik badannya.

"Ingat disini dilarang membuat kegaduhan apalagi keributan."

Ajimukti hanya mengangguk. Dullah sekali lagi hanya bisa menelan ludah.

"Sudah kita masuk, Lek."

Ajimukti dan Dullah masuk kedalam kamar itu. Debu seketika beterbangan. Ajimukti harus mengibas-ibaskan tangannya untuk menghalau debu masuk ke indra penciumannya.

"Kita bersihkan dulu ya, Lek."

"Iya, Mas. Kenapa bisa banyak debu begini ya, Mas."

"Ya karena santri sini sibuk mengaji Lek. Jadi tidak sempat untuk bersih-bersih kamar ini. Kan begitu kata mas nya tadi." Ajimukti menutup ucapannya dengan sedikit tawa. Dullah pun terkekeh.

"Ngomong-ngomong, apa mereka memang seperti itu ya, Mas?"

"Seperti itu bagaimana, Lek?"

"Ya, Mas lihat sendiri tadi bagaimana mereka memandang kita ini. Sepertinya penampilan disini sangat berpengaruh sekali."

"Sudah, Lek. Tujuan kita kesini kan untuk meluruskan itu. Tapi tidak untuk saat ini."

"Iya, Mas. Pada saatnya nanti mereka akan tahu siapa Mas Ajimukti sebenarnya."

Ajimukti hanya tersenyum lalu kembali membersihkan kamar yang semakin penuh dengan debu.

Untuk beberapa saat kamar itu sudah disulap menjadi sangat berbeda dari ketika mereka baru tiba.

Saat Dullah sedang merebahkan tubuhnya, tiba-tiba di pintu kamar ada yang mengetuk.

Tok tok tok!

"Assalamu'alaikum."

Ajimukti segera membuka pintu kamar dibarengi jawaban atas salam seorang dari luar kamar itu.

Ketika pintu dibuka, tiga pemuda yang tadi pagi mengejek mereka di masjid kini berada dihadapan Ajimukti.

"Sudah bagus ya kamarnya." Ucap salah seorang pemuda itu kepada Ajimukti sembari melihat isi kamar.

Dullah segera bangun dari rebahannya dan beralih mendekat ke belakang Ajimukti.

"Alhamdulillah, Mas. Mari silahkan masuk." Ajimukti sebisa mungkin bersikap ramah kepada mereka bertiga.

"Tidak perlu. Kami tidak terbiasa blusukan ke kamar santri lain. Apalagi ke kamar..." Pemuda yang berucap itu menghentikan ucapannya.

Ajimukti paham betul kalimat apa yang akan diucapkan pemuda itu, namun Ajimukti hanya tersenyum tipis.

"Ingat disini setiap sebelum subuh santri harus sudah bangun. Sholat subuh berjama'ah setelah itu mengaji."

"Iya, Mas. Terima kasih sudah di ingatkan."

"Jangan ngebo tidurnya. Mentang-mentang tidur dikasur yang enak entar kalian gak bisa bangun. Gak terbiasa kan kalian."

Dullah merasa kurang suka dengan ucapan pemuda itu. Baru saja hendak melangkah, Ajimukti memegang pergelangan tangannya. Dullah pun menahan langkahnya. Lalu menarik nafas dalam-dalam.

"Sombong sekali mereka." Batin Dullah.

"Ingat kalau tidak ikut berjama'ah akan ada ta'zir dari para santri senior. Ingat itu." Ancam salah seorang pemuda sebelum mereka membalikkan badan beranjak dari kamar Ajimukti.

"Sebentar, Mas." Tiba-tiba Ajimukti menahan langkah mereka. Seketika mereka berhenti dan membalik badan kembali. Pandangan mereka ke Ajimukti penuh tatapan tidak suka.

"Apa lagi?"

"Nama Mas Mas ini siapa ya? Sejak pertemuan tadi pagi kita belum berkenalan."

Mereka bertiga kompak terbahak. Entah apa yang mereka tertawakan.

"Kami berkenalan dengan kalian? Seberapa penting kalian? Hah?" Ucap pemuda yang tadi pagi mengumandangkan Iqomah itu.

"Ya kalau Mas Masnya tidak keberatan saja." Ajimukti sedikit membungkuk dan menempelkan kedua telapak tangannya.

"Mungkin kalian yang ingin tahu nama kami. Ya kan?"

Ajimukti tersenyum.

"Nanti kalau sudah tahu nama kami, kalian diluar pondok akan bilang kalau kalian berteman dengan kami."

"Halah, kami tahu akal model kalian ini." Imbuh pemuda yang lain.

Sekali lagi Ajimukti hanya tersenyum. Dullah lagi-lagi hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

"Baiklah. Kalian ingat baik-baik ya. Nama saya Imam Raharja bin Raharja bin KH. Abu Bakar. Kamu tahu Kyai Abu Bakar?"

Ajimukti menggeleng.

"Pantas kamu tidak tahu nama besar kakekku. Tampang preman macam kamu tahu apa dunia pesantren."

Ajimukti hanya terdiam. Dullah kembali menelan ludah.

"Kakekku adalah seorang kyai kondang di Jawa Timur. Pondoknya pun memiliki ribuan santri. Dan sekarang pamanku yang meneruskan pondok peninggalan kakekku."

"Oh, lalu kenapa Mas Imam tidak mondok di pondok kakek Mas Imam saja." Ajimukti nyeletuk tiba-tiba.

Pemuda bernama Imam terbahak di ikuti kedua pemuda yang lain.

"Sudahlah saya jelaskan pun kamu tidak akan paham." Sembari mengibaskan tangannya.

"Ya ya ya." Ajimukti mengangguk seolah paham. "Lalu kalau Mas berdua ini namanya?" Imbuhnya kemudian.

"Panggil saja saya Khalil. Saya masih saudara dengan Imam. Bapakku adik bapaknya Imam. Bisa dipahami kan? Jadi tidak perlu saya jelaskan lagi kan?"

Ajimukti sekali lagi mengangguk.

"Kalau saya Budi Nugroho. Sudah itu saja yang perlu kamu tahu. Kalau saya cerita banyak-banyak, kamu juga mana tahu." Kata pemuda yang tadi pagi mengumandangkan iqomah di masjid.

Ajimukti hanya lagi-lagi mengangguk.

"Sudah tahu kan nama kami. Oiya, tidak usah kalian memperkenalkan nama kalian. Tidak penting juga untuk kami."

"Dan lagi kami bisa mencari tahu di bagian pendataan santri."

Mereka pun beranjak, Ajimukti hanya memandang dengan diam sampai mereka berbelok diujung lorong.

"Ada ya Mas manusia seperti mereka. Sombongnya amit-amit." Dullah kemudian geleng-geleng kepala.

"Ya adalah, Lek. Itu mereka buktinya."

Dullah kini tertawa.

"Ya kok ada gitu lho, Mas."

"Ya kalau tidak ada yang semacam mereka mungkin tidak asik, Lek."

Dullah lagi-lagi tertawa dengan ucapan nyeplos Ajimukti.

"Semoga mereka segera diberi hidayah ya, Mas."

Ajimukti melirik ke arah Dullah.

"Kenapa, Mas?" Tanya Dullah keheranan dengan tatapan Ajimukti.

"Kalau mereka dapat Hidayah. Trus Kyai Aminudin dikemanakan, Lek? Kan Hidayah sudah atas kepemilikan Kyai Aminudin."

Seketika Dullah melepas tawanya. Kini benar-benar lepas seolah kesombongan kesombongan yang ia temui dan sempat membuatnya naik darah tidak pernah ia temui hari ini.

Bersambung...

Teman Lama Dullah

Sebuah panggilan masuk membuat ponsel Ajimukti berdering malam ini.

Ajimukti segera bangun dari tidurnya. Pun dengan Dullah.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam, Le. Gimana sudah sampai kamu?" Suara seorang wanita dari jauh seberang sana.

"Sudah, Bu. Alhamdulillah."

"Syukurlah, Le. Ibu lega. Kamu baik-baik disana. Ingat semua pesan Ibu."

"Iya, Bu. Aji akan ingat semua welingan ibu. Ibu tenang saja. Percayakan semua sama Aji, Bu.'

"Kamu ini, Le. Kalau sudah begini persis kayak bapakmu."

Disini Ajimukti hanya tersenyum.

Yang menelfon Ajimukti malam ini adalah ibunya. Kartika namanya. Usianya sudah sekitar enam puluh tahun lebih.

"Yasudah, Le. Ibu cuma mau tahu kamu sudah sampai apa belum itu saja. Yasudah ibu tutup dulu telfonnya. Kamu jangan begadang. Jaga kesehatan kamu disana."

"Iya, Bu."

Setelah itu Kartika segera menutup telfonnya. Sementara Ajimukti masih duduk di atas tempat tidurnya. Dullah menggeliat.

"Ibu ya, Mas?"

"Iya, Lek."

"Ada apa, Mas?"

"Cuma tanya kita sudah sampai apa belum saja, Lek."

Dullah tampak geleng kepala.

"Ibu memang selalu begitu, Lek. Selalu menganggap saya ini masih seperti saya yang masih suka digendongnya dulu meski sekarang saya sudah kepala dua lebih."

Dullah hanya tertawa kecil.

"Itulah seorang ibu, Mas. Mas Aji harus bersyukur karena masih diperhatikan ibunya. Sementara saya Mas, dari usia tiga belas tahun sudah ditinggalkan ibu saya bahkan sampai sekarang saya tidak pernah tahu kabar ibu saya bagaimana dan dimana. Masih hidup apa sudah meninggal. Yang bisa saya lakukan hanya mendoakannya saja, Mas."

Ajimukti tersenyum.

"Yang sabar, Lek. Seperti kata sampeyan, Lek. Do'a itu senjata paling ampuh bagi orang seperti kita."

Dullah hanya mengangguk. Membenarkan ucapan Ajimukti dan ingat betul kata-kata itu pernah ia lontarkan kepada Ajimukti saat Ajimukti menginjak remaja. Kini justru kalimat itu kembali kepadanya.

"Balik tidur lagi aja, Lek. Ingat tadi pesen Mas Masnya. Kalau tidak ikut jama'ah subuh bakal kena ta'zir dari para santri senior."

Dullah lagi terbahak mendengar ucapan Ajimukti.

"Kalau tidur malah takutnya keenakan saya nanti, Mas."

Ajimukti mengacungkan telunjuknya sembari tertawa.

Malam berlalu begitu cepatnya. Sorot sinar mentari pagi sudah sedikit menjilat beberapa sisi tembok Pondok Hidayah saat beberapa santri berhamburan keluar dari masjid.

Ajimukti diikuti Dullah berjalan dibelakang Budi si pemuda yang tadi juga mengumandangkan adzan juga iqomah.

"Mungkin Budi ini muadzin di masjid Pondok Hidayah." Batin Dullah tadi pagi ketika memasuki masjid untuk sholat subuh berjama'ah.

"Kalian sudah bisa baca Al Qur'an?" Tanya Budi tiba-tiba.

"Belum bisa, Mas. Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Tanya saja. Lagipula tidak heran kalau tampang-tampang seperti kalian ini tidak bisa baca Al Qur'an. Di kampung saya banyak yang model seperti kalian ini. Sukanya keluyuran gak jelas."

Ajimukti hanya terdiam. Untuk kesekian kalinya Dullah hanya bisa menelan ludah mendengar ocehan Budi yang sejak pertama bertemu sudah memberi kesan mengejek.

"Berbeda dengan saya yang sejak kecil dididik orang tua dengan agama yang kuat. Jadi tidak heran kalau saya menjadi yang terbaik dalam bacaan Al Qur'an di pondok ini. Kalian lihat kan saya menjadi muadzin disini. Itu karena apa? Kalian tahu tidak?"

Ajimukti dan Dullah kompak menggeleng.

"Ya itu karena bacaan saya bagus juga suara saya paling bagus diantara santri lain. Begitu saja kalian tidak paham."

"Benar-benar sombong." Lagi-lagi Dullah hanya bisa membatin.

"Saya sebenarnya sedang tidak enak badan, tapi karena Kyai menyuruh saya mengajari kalian ya sudah saya nurut saja. Saya tidak ingin pandangan baik Kyai ke saya jadi berubah kalau saya menolak titah beliau."

Deg! Dullah menarik nafasnya dalam-dalam dan kembali menghembuskannya kuat-kuat.

Disebuah ruangan yang tidak terlalu luas.

Beberapa santri sedang sibuk mengaji. Suaranya yang saling bersautan hampir seperti sarang lebah.

Budi duduk bersila bersandar pada tembok di ujung ruangan. Setelah dipersilahkan duduk, Ajimukti dan Dullah pun ikut duduk menghadap ke Budi. Kini Ajimukti dan Dullah duduk berhadap-hadapan dengan Budi sebagai pengajar mereka.

Sebelum duduk Ajimukti sempat melirik ke sudut ruangan yang lain. Matanya tertuju pada Imam juga Khalil yang juga sepertinya sedang mengajar.

"Kalian mau mulai darimana?" Tanya Budi pada Ajimukti dan Dullah.

"Da..."

"Dari awal saja, Mas." Ajimukti memotong ucapan Dullah.

"Dari awal saja ya, Lek. Kan sudah lama kita belajar itu. Takutnya malah salah."

Dullah hanya mengangguk seolah paham maksud Ajimukti.

Budi hanya geleng kepala.

"Sebenarnya saya paling tidak sabaran kalau harus mengajar dari awal. Ya lagi-lagi karena perintah Kyai. Apa boleh buat. Saya tidak mau bertele-tele. Saya harap kalian perhatikan baik-baik karena saya tidak ada waktu untuk mengulang. Kalian mengerti?"

Ajimukti dan Dullah hanya mengangguk.

Budi memulai membuka buku Iqro' jilid pertama. Ditunjukannya huruf demi huruf. Dibacakannya. Lalu menyuruh Ajimukti juga Dullah mengulanginya.

Beberapa jam telah berlalu. Disudut yang lain Imam juga Khalil sepertinya sudah menutup kajian mereka. Untuk sesaat suasana ruangan hening tanpa dengungan yang seperti suara lebah bersaut-sautan.

"Baiklah hari ini kita cukupkan disini. Kalian hafalkan sendiri dikamar. Besok saya harap kalian sudah hafal dan bisa ke bab selanjutnya. Kalian paham?"

Ajimukti dan Dullah kompak mengangguk.

Imam dan Khalil terlihat berjalan mendekat kearah mereka.

"Gimana, Bud? Lancar?"

"Hah. Lancar apanya. Yang ada saya bosan. Kalau bukan karena dawuh Kyai. Ogah saya mengajar mereka. Benar-benar buta huruf mereka."

Dullah sebenarnya sudah geram. Tapi lagi-lagi tangannya ditahan oleh tangan Ajimukti. Sedikit gerakan mata Ajimukti sudah sangat bisa dipahami Dullah apa maksutnya.

"Yasudah kita kembali ke kamar saja." Ajak Imam pada Budi dan Khalil.

Mereka bertiga beranjak pergi meninggalkan Ajimukti dan Dullah.

"Lama-lama saya gedeg sendiri Mas sama mereka. Ingin rasanya saya hajar mereka."

"Tenang, Lek. Tujuan kita kesini kan bukan mereka. Soal mereka itu urusan kecil."

"Tapi lama-lama mereka kelewatan, Mas."

"Ya begitulah, Lek. Mungkin ini bagian dari ujian kita. Anggap saja begitu."

Dullah hanya diam. Kali ini dia memang sedang benar-benar diuji kesabarannya.

Ajimukti beranjak dari duduknya di ikuti Dullah. Berjalan santai keluar dari ruangan itu.

"Saya beli rokok sama kopi sebentar ya, Lek."

"Kemana, Mas. Memangnya Mas Aji tahu warung dekat sini? Sudah saya temani saja."

Ajimukti hanya tersenyum. Sebenarnya dia memang tidak begitu tahu daerah ini. Berbeda dengan Dullah. Maka ketika Dullah menawarkan diri untuk menemaninya, Ajimukti hanya mengiyakan dengan isyarat mimik wajahnya.

Tanpa harus mencari cari kesana kemari kini Ajimukti sudah berdiri didepan sebuah warung kecil. Ajimukti masuk kedalam warung memesan dua bungkus rokok juga beberapa sachet kopi instant.

"Dullah?"

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Dullah. Begitu juga dengan Ajimukti yang segera menoleh kearah sumber suara.

Dullah menatap si pemilik suara itu. Seorang laki-laki agak gempal dengan kulit hitam karena mungkin sering terbakar matahari. Dullah mencoba menjelajahi ingatan dimasa lalunya.

"Kamu Dullah kan? Anak buahnya Kang Salim?" Tanya lelaki itu.

Seketika Dullah menarik tangan laki-laki itu dan membuat laki-laki itu hampir tersungkur. Lalu Dullah menutup mulut laki-laki itu.

"Sssttt. Diam." Ucap Dullah lalu melepas tangan yang menutupi mulut laki-laki itu.

"Iya saya Dullah. Kamu Prastowo kan?"

Lelaki bernama Prastowo itu seketika memeluk Dullah sampai-sampai Dullah kewalahan untuk melepaskan diri.

"Dullah. Dullah."

"Sudah Pras. Kamu ini." Dullah berusaha melepas pelukan Prastowo. Meski akhirnya Prastowo segera melepas pelukannya.

"Kamu apa kabar, Dul?"

"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kamu lihat, Dul. Masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu. Kamu sendiri sejak ikut Kang Salim dan ditugaskan untuk menjaga Kartika tidak pernah lagi kelihatan disini. Kenapa ini tiba-tiba kesini, Dul. Justru setelah Kang Salim meninggal."

Dullah melihat kanan kiri. Matanya tak henti-hentinya berkeliaran kesana kemari. Ajimukti saat ini hanya diam.

"Sudah ceritanya nanti saja, Pras. Sekarang kamu tinggal dimana?"

"Rumah saya tidak jauh, Dul. Itu kelihatan dari sini." Sambil tangannya menunjuk sebuah rumah tak jauh dari warung tempat mereka berdiri saat ini.

"Kita ngobrol dirumahmu. Apa kamu tidak keberatan?" Tanya Dullah kemudian.

Prastowo tergelak. Suaranya sama seperti ketika Dullah mengenalnya dulu.

"Kebetulan istriku baru memasak air. Sepertinya cukup untuk kita ngopi seperti dulu. Apalagi tadi pagi istriku membuat pisang goreng tidak mungkin untuk saya habiskan sendiri."

Dullah tertawa. "Yasudah kita lanjutkan obrolannya dirumah kamu saja, Pras."

Prastowo berjalan diikuti Dullah juga Ajimukti.

Hanya butuh beberapa langkah kecil untuk bisa sampai dirumah Prastowo. Ketika tiba-tiba Prastowo membawa tamu asing, istri Prastowo hanya sedikit keheranan karena tidak biasanya Prastowo kedatangan tamu asing.

"Tidak usah heran, Bu. Ini Dullah teman lama bapak. Ini dulu juga sama seperti bapak sebelum akhirnya dia ini bertemu dengan Kang Salim."

Istri Prastowo hanya mengangguk lalu melempar senyum kearah Dullah dan Ajimukti.

"Duduk, Dul." Prastowo mempersilahkan Dullah juga Ajimukti untuk duduk di kursi kayu diruang tamu Prastowo. Lalu memberi aba-aba istrinya untuk membuatkan kopi.

"Ngomong-ngomong apa ini anakmu, Dul?" Prastowo melirik kearah Ajimukti.

Dullah hanya tersenyum lalu sedikit mendekat dan berbisik ke telinga Prastowo. Seketika raut wajah Prastowo berubah dan buru-buru menyalami Ajimukti.

"Panggil saya Pak lek, Mas. Sama seperti sampeyan memanggil Dullah."

"Iya, Lek."

Istri Prastowo keluar membawa nampan berisi tiga cangkir kopi dan juga sepiring pisang goreng hangat. Prastowo segera mempersilahkan tamu-tamunya untuk mencoba suguhan alakadarnya itu.

"Sambil kita ngopi, Dul. Coba jelaskan ada keperluan apa sampai kamu juga Mas Aji jauh-jauh menyambangi Pondok Hidayah?"

Dullah menarik nafas panjang. "Alangkah lebih baik biarkan Mas Aji yang menjelaskan, Pras."

Ajimukti tersenyum tipis lalu mengubah posisi duduknya, kemudian memulai ceritanya. Sepanjang cerita raut wajah Prastowo berubah-ubah. Kadang terlihat sangat marah. Kadang terlihat kaget. Bahkan tak jarang raut kesedihan yang amat dalam terpancar di wajahnya.

"Begitulah, Lek. Saya mohon bantuannya. Bila Pak Lek Prastowo bisa membantu saya."

Prastowo menarik nafas panjang. Lalu berdiri dari duduknya. Menyalakan sebatang rokok kretek yang diselipkannya dalam pipa panjang terbuat dari kayu melati.

"Saya selalu berdo'a sepanjang malam. Saya berdo'a semoga yang meninggal waktu itu bukan Kang Salim. Tapi saya sadar takdir Allah tidak mungkin dilungkiri. Nyatanya Kang Salim memang sudah tiada. Lalu saya mengganti lafadz do'a saya. Saya berharap akan ada yang seperti Kang Salim terlahir lagi. Paling tidak sepaham dengannya. Dan Alhamdulillah, mungkin inilah jawaban atas do'a do'a saya selama ini."

"Dul, kamu ingat berpuluh puluh tahun yang lalu ketika saya datang ke hadapan Kang Salim? Kamu ingat apa yang saya ucapkan waktu itu?"

Dullah mengangguk dengan dibarengi senyum tipisnya.

"Dan kamu lihat, Dul. Saya masih hidup sampai sekarang. Saya masih kuat sampai sekarang meski tidak sekuat dulu. Saya masih sehat sampai sekarang meski tidak sebugar dulu. Tapi yang pasti, Dul. Janji saya tidak pernah berubah sejak dulu. Janji yang sudah saya tanamkan sebagai bagian dalam hidup saya. Janji yang hanya akan diakhiri dengan kematian saya. Dan sekarang saya masih hidup, Dul. Janji itu akan tetap berlaku. Dan kamu tahu apa artinya itu, Dul?"

Prastowo kembali duduk dengan kedua tangannya menumpu pada lututnya. Membuat kedua ketiaknya terbuka lebar.

Dullah sekali lagi mengangguk dengan sebuah senyum kepuasan.

"Saya dan seluruh do'a do'a saya akan bersama sampeyan Mas Aji. Pegang kata-kata saya ini sebagaimana saya pernah berjanji pada Kang Salim."

Ajimukti tersenyum lalu meraih tangan Prastowo ketika Ajimukti hendak mencium tangannya, Prastowo secepat kilat menarik tangannya.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!