"Allaahumma robba haadzihid da'watit taammah, washsholaatil qoo-imah, aati muhammadanil washiilata wal fadhiilah, wasysyarofa, wad darajatal, 'aaliyatar rofii'ah, wab'atshu maqoomam mahmuudanil ladzii wa'adtah, innaka laa tukhliful mii'aadz." Dullah segera menyapukan tangannya kewajah setelah tadinya sesaat menengadahkannya.
Adzan ashar baru saja selasai berkumandang. Dullah beranjak dari duduknya digelaran tikar di kamar tempatnya berada. Ajimukti belum terlihat kembali sejak tadi. Segera Dullah membenarkan sarungnya dan keluar dari kamar menuju masjid.
Setibanya di dekat tangga Dullah melihat Ajimukti turun dari tangga bersama Gus Faruq. Tampak akran sekali mereka sekarang, batin Dullah dalam hati. Dullah berhenti sengaja menunggu Ajimukti.
Begitu Ajimukti dan Gus Faruq selesai menuruni tangga. Dullah segera menyambut tangan Gus Faruq dan hendak menciumnya, tapi secepat kilat Gus Faruq menariknya.
"Jangan begitu, Pak. Sampeyan lebih tua dari saya." Ucap Gus Faruq kemudian.
Dullah hanya tersenyum. Niatnya hanya untuk menghormati guru. Meski usia Faruq lebih muda darinya, tapi disini posisinya adalah santri dan Faruq adalah guru.
Ajimukti tersenyum melihat adegan itu. Dalam hatinya pun ia merasa bahwa Faruq sangat berbeda dengan orang orang yang ditemuinya di pondok selama ini. Bagi Ajimukti, Faruq memiliki jiwa tasamuh yang tinggi.
Faruq mengajak mereka segera ke masjid. Ia melangkah lebih dulu, diikuti Dullah dan Ajimukti dibelakangnya.
"Baru bangun apa gimana, Lek?" Tanya Ajimukti pada Dullah sejurus kemudian.
"Sudah dari tadi, Mas. Sudah muter muter juga saya nyari sampeyan. Terus ketemu Manan, dikasih tahu sama Manan sampeyan lagi sama Gus Faruq." Ucap Dullah panjang lebar.
"Ya maaf, Lek. Tadi nggak sempet pamit. Soalnya sampeyan pules banget tidurnya. Nggak tega mau banguninnya." Sahut Ajimukti.
"Nggak apa apa, Mas." Lalu Dullah sedikit mendekatkan wajahnya ke kuping Ajimukti. "Ada apa mas tadi?" Bisik nya.
"Tidak ada apa apa, Lek. Nanti saja." Sahut Ajimukti juga dengan berbisik.
Dullah mengangguk paham.
Sampai di depan masjid beberapa santri segera menyambut Gus Faruq, berebut menyalaminya. Sangat jarang sekali memang Gus Faruq mengikuti sholat berjama'ah di masjid karena memang Gus Faruq tidak sering nginep di Pondok Hidayah, jadi tak heran kalau para santri berebut seperti itu. Ajimukti dan Dullah terlebih dulu masuk ke masjid. Didalam masjid pandangan Ajimukti sekelebat tertuju pada Budi, Khalil dan Imam si trio senior, juga Manan yang tak jauh dari mereka bertiga.
Selesai sholat fardhu ashar. Ajimukti dan Dullah segera melangkah keluar menuju aula. Seperti biasa setiap ba'da ashar akan ada kajian. Dullah mendadak merasa mual, ia pamit sebentar untuk ke toilet. Ajimukti memilih menunggu Dullah di halaman depan masjid ketimbang harus pergi duluan ke aula. Sembari menunggu Dullah selesai bersatu dengan alam, Ajimukti menyalakan sebatang rokoknya.
Kyai Aminudin keluar dari dalam masjid. Melihat Ajimukti terduduk sendiri dihalaman masjid, Kyai Aminudin menghampirinya.
Ajimukti terlonjak kaget. Segera ia membuang rokoknya dan menyalami tangan Kyai Aminudin.
"Kamu tidak ngaji?" Tanya Kyai Aminudin sembari duduk di bangku halaman masjid tempat Ajimukti duduk menunggu Dullah.
"Ngaji, Kyai. Ini menunggu Pak Lek Dullah baru ke toilet." Sahut Ajimukti dengan halus dan sedikit tertunduk.
"Hari ini ngaji apa sudah hafal jadwalnya?"
"Persholatan, Kyai."
Kyai Aminudin hanya mengangguk.
"Sementara ini kamu sama Pak lekmu ngajinya sama Manan dulu. Soalnya si Budi lagi demam." Ucap Kyai Aminudin kemudian.
"Iya, Kyai."
Ajimukti masih di posisi berdiri tertunduk sedikit menghadap Kyai Aminudin. Tangan kanannya memegang tangan kirinya.
"Sini sebentar cah ayu!" Seru Kyai Aminudin pada seseorang entah siapa. Ajimukti tidak berani menoleh untuk tahu siapa yang dipanggil Kyai Aminudin itu.
Suara langkah kaki terdengar mendekat kearah Ajimukti dan Kyai Aminudin berada.
"Pripun, Bah?" Suara lembut perempuan terdengar nyaring ditelinga Ajimukti. Ajimukti masih belum berani menoleh.
"Nanti kamu bilang sama Umimu. Abah tidak usah dibikinkan minum. Ini abah mau langsung ke aula atas nyemak anak anak."
"Iya, Bah." Sahut suara perempuan itu lagi.
Sejenak Ajimukti mengerutkan keningnya. Rasa rasanya ia pernah mendengar suara itu tapi ia lupa dimana. Sepertinya suara perempuan itu tidak asing baginya. Dan dari percakapan itu Ajimukti menyimpulkan sesuatu sepertinya perempuan ini anaknya Kyai Aminudin.
"Ini abah masih ada perlu ya?" Tanya si perempuan itu pada Kyai Aminudin.
"Ah, tidak, Nduk. Oh iya Nak Aji." Merasa disebut namanya Ajimukti sedikit menaikkan wajahnya. " Perkenalkan ini putri saya, Habiba." Lanjut Kyai Aminudin.
Ajimukti menggeser posisinya dan seorang gadis muda berperawakan ramping dan tidak terlalu tinggi berdiri dihadapannya. Kulitnya kuning langsat khas kulit wanita jawa, mengenakan terusan abaya berwarna hijau dengan kombinasi pita berwarna kuning senada dengan jilbab yang dikenakannya.
Ajimukti kemudian mengatupkan kedua tangannya didada sembari memperkenalkan namanya.
Gadis itu melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Ajimukti. Habiba namanya. Putri semata wayang Kyai Aminudin.
"Loh, sampeyan ini kan yang tadi siang hampir bertabrakan dengan saya di tangga itu kan?" Tanyanya Habiba kemudian.
Ajimukti kini ingat sesuatu. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan suara itu.
Ajimukti mengangguk ragu. "Iya." Ucapnya kemudian.
"Maaf ya, Kang. Soalnya tadi saya buru buru." Ucapnya lagi dengan suaranya yang terdengar begitu lembut.
"Justru saya yang minta maaf. Tadi saya tidak fokus berjalannya." Sahut Ajimukti dengan suara lirih.
"Wah, jadi kamu tadi sudah bertemu dengan Habiba ya, Nak Aji?" Tanya Kyai Aminudin kemudian.
"Iya, Kyai."
"Dan tidak tahu kalau ini putri saya?" Lanjut Kyai Aminudin.
"Tidak, Kyai." Ajimukti menggeleng.
"Ya wajar saja, Nak Aji. Habiba ini jarang sekali datang kesini. Dia ini saya pondokkan di Pacitan sana. Dan baru pulang lagi sekarang ini dari terakhir pulang setahun yang lalu." Ucap Kyai Aminudin.
Ajimukti hanya mengangguk paham. Sementara Habiba hanya sedikit melempar senyum kearah Ajimukti. Senyum yang menampakkan lesung dipipinya sebelah kanan.
Dari arah masjid para santri yang keluar dari masjid hampir seluruhnya mengarahkan pandangan mereka ke Habiba. Bahkan ada beberapa yang terdengar saling berbisik. Habiba menyadari itu.
"Yasudah, Bah. Biba mau ke ndalem dulu nemuin umi kalau gitu." Ucap Habiba kemudian sembari mencium tangan Kyai Aminudin.
"Saya duluan, Mas." Ucap Habiba pula pada Ajimukti dengan kembali mengatupkan tanganya didada dan menggoreskan sedikit senyumnya sekali lagi.
Ajimukti hanya menundukkan sedikit badannya.
Habiba memutar badannya dan berlalu dari hadapan Kyai Aminudin dan Ajimukti berada. Ajimukti diam diam mengamati Habiba yang berjalan menjauh hingga bayangannya menghilang di jalan belokan ke arah ndalem, hanya bau parfumnya yang tertinggal yang begitu harum tercium hidung. Jelas itu bukan wangi dari parfum yang dijual murah dipasaran.
Tak berselang lama Dullah terlihat berjalan tergopoh gopoh ke arah Ajimukti dan Kyai Aminudin. Air masih terlihat membasahi wajahnya dari bekas air wudhu yang belum kering. Sesegera Dullah mencium tangan Kyai Aminudin. Kyai Aminudin berdiri dan berpamitan untuk terlebih dahulu ke aula atas. Dullah dan Ajimukti hanya sedikit menundukkan kepala mereka dan mereka pun tak menunggu lebih lama juga segera beranjak menuju aula bawah.
"Lama bener, Lek?" Tanya Ajimukti sembari berjalan tergesa ke aula. Karena mungkin Manan sudah tiba disana saat ini.
"Agak keras soalnya, Mas." Ucap Dullah sedikit meringis.
"Apanya, Lek?" Ajimukti mengerutkan kening sarat keheranan.
"Itunya, Mas." Dullah kembali meringis.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
abba mantri
mantrabs
2024-01-07
0
Tirta Kamandanu
sip pokoke....
2022-04-06
0
Nurjanah Tamim
aku ga ngerti nih..
maksud dri pak kiyai...
mmperkenalkn anak nya k kang mas ajimukti ku..pengen tak smackdown y pak kiyai..
kang mas ajimukti itu suami impian ku
2022-03-18
2