Pagi ini langit terlihat begitu cerah. Tak ada mendung. Awan putih bersih seolah seperti sekumpulan domba yang sedang berdansa di angkasa. Sesekali sang surya tampak malu menampakan diri dan memilih bersembunyi dibalik gumpalan awan. Burung burung pun tampak memilih menari ketimbang bernyanyi diantara dahan dahan pohon.
Diluar semua pesona alam itu. Ada yang berbeda di Pondok Hidayah. Pagi ini, Kyai Aminudin mengumpulkan semua santri di halaman Pesantren. Ada berita penting, begitu kata para santri.
Ajimukti berdiri didepan kamarnya bersandar pada kusen pintu kamarnya sambil menghisap sebatang rokok yang terselip diantara kedua jari tangannya. Sementara Dullah masih berada di kamar mandi tak jauh dari kamar mereka.
Beberapa kali tatapan Ajimukti beradu dengan mata mata congkak santri yang melintas di depan kamarnya. Tidak ada saling sapa sebagai mana mestinya. Yang ada siratan ejekan yang mungkin sudah mentradisi diantara para santri.
Tak lama kemudian Dullah tampak keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan sarung yang diikat asal dan kaos oblong berwarna putih juga berkalung handuk. Tangannya menenteng gayung yang berisi beberapa peralatan mandi.
"Ada apa sih, Mas?" Tanya Dullah penuh penasaran melihat para santri berjalan menuju halaman pesantren.
"Yang saya dengar, katanya Kyai Aminudin ingin memberikan kabar penting. Begitu, Lek."
"Kira kira ada apa ya, Mas?"
Ajimukti hanya menaikkan pundaknya.
Dullah segera masuk ke kamar, mengganti sarungnya lalu mengenakan koko dan songkoknya.
"Kita kesana sekarang, Mas?" Tanya kemudian pada Ajimukti.
"Sekarang juga tidak apa apa, Lek."
Baru beberapa langkah mereka meninggalkan kamarnya, Manan sudah tahu tahu menghampiri mereka.
"Kamu, Manan." Sapa Dullaj kwmudian.
"Kamu tahu tidak kira kira ada berita penting apa?" Tanya Ajimukti kemudian.
"Nanti kalian juga akan tahu." Ucapannya ditutup dengan sedikit tawa lirih.
Ajimukti hanya gelengkan kepalanya.
Sementara itu dihalaman sebagian santri sudah berbaris rapi menunggu kedatangan Kyai Aminudin. Ajimukti, Dullah, Manan dan beberapa santri yang baru tiba dihalaman segera bergabung dengan barisan yang sudah ada.
Ajimukti tepat berdiri dibelakang Khalil dan Imam. Tapi ia tidak juga melihat Budi.
"Kemana Budi?" Batin Ajimukti setelah tolah toleh kanan kiri tidak menemukan sosok Budi.
Tak lama Kyai Aminudin datang diikuti beberapa pengurus Pondok. Termasuk yang waktu itu melayani pendaftaran Ajimukti dan Dullah. Melihat kedatangan Kyai-nya, seketika halaman pesantren menjadi hening tanpa suara sedikit pun.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Kyai Aminudin mengucap salam yang lalu di jawab serentak oleh seluruh santri.
"Kalian tahu kenapa kalian saya kumpulkan disini?"
Mendengar itu semua santri hanya saling pandang satu sama lain.
"Ya, hari ini saya ingin memberitahukan hal penting pada kalian. Bahwasannya Pondok Pesantren kita diberi kepercayaan lagi untuk mengikuti kompetisi antar pesantren se-Jawa Timur. Kompetisinya apa saja. Yang jelas berbeda dari tahun lalu. Tahun ini dari pihak penyelenggara ingin dari setiap pesantren mengirimkan satu anak didiknya untuk mengikuti ajang pidato dengan bahasa Arab."
Mendengar itu semua santri kembali saling pandang. Suasana yang tadinya hening kini mulai sedikit terdengar bisik bisik antar santri.
"Sebagai mana yang kita ketahui, di pesantren kita ini tidak terfokus pada bahasa Arab. Jadi bagi para santri yang merasa mampu silahkan kirimkan format pidato dengan bahasa Arab kepada pengurus pondok paling lambat satu minggu setelah ini."
"Ini bukan ajang main main. Jadi saya harapkan yang mendaftar yang benar benar bisa. Karena ini menyangkut nama baik Pondok Pesantren Hidayah. Kalian mengerti?"
"Mengerti, Kyai." Suara santri kembali serempak.
Kyai Aminudin menutup informasi pagi ini. Lalu kembali berjalan ke kediamannya di ikuti para pengurus pesantren.
Kini tanpa komando, semua santri berhamburan meninggalkan halaman pesantren. Percakapan mereka mengenai informasi yang disampaikan Kyai Aminudin tadi terdengar saling bersaut sautan diantara beberapa gerombolan.
Ajimukti dan Dullah pun ikut meninggalkan halaman.
"Saya pikir berita apa, Mas. Eh tahunya."
Ajimukti hanya tersenyum.
"Apa sampeyan tertarik untuk ikut, Mas?"
Ajimukti menoleh kearah Dullah sembari mengerutkan keningnya.
"Itu sama saja dengan membuka jati diri, Lek."
Dullah terbahak.
"Saya masih penasaran. Kenapa Budi tidak juga kelihatan ya, Lek?"
"Saya juga tidak tahu, Mas. Apa kita tanya sama santri yang lain, Mas?"
"Nanti sajalah, Lek. Lagi nggak mau denger ocehan."
Dullah lagi lagi terbahak.
Sementara itu tak jauh dari mereka. Khalil dan Imam sepertinya juga sedang mengobrol serius.
"Sayang sekali kompetisi kali ini berbeda dengan kompetisi tahun lalu." Ucap Khalil pada Imam.
"Iya. Mana saya sudah persiapan. Eh, tahunya ganti tema. Sial." Sahut Imam terlihat kecewa.
"Sekarang siapa coba yang berani ikut kompetisi yang diadakan tahun ini?"
Imam menaikkan pundaknya. "Entahlah, Lil. Mungkin tidak ada."
"Iya. Mungkin tidak akan ada yang berani ikut. Toh mana ada disini santri yang bisa pidato dengan bahasa Arab?"
"Tidak ada sama sekali. Mana itu pasti temanya dilotre kan ya. Dihafal pun percuma."
"Iya percuma. Ya kalau dapatnya tema yang sudah dihafal, kalau beda tema. Habis sudah."
"Gagal rencanaku mempertahankan menjadi santri terbaik tahun ini."
"Iya, Mam. Wah pasti bapakku kecewa ini."
"Budi juga pasti kaget dengar kabar ini, Lil."
""Sudah pasti itu, Mam."
Khalil dan Imam menampakkan wajah wajah kecewa mereka. Semua ternyata tidak seperti apa yang mereka bayangkan.
Sementara itu dikamar Ajimukti.
"Sampeyan lihat tidak tadi mas wajah wajah panik para santri mendengar berita tentang kompetisi kompetisi apalah itu?"
"Iya, Lek. Saya pun heran kenapa mereka bisa terlihat sepanik itu. Hmmm."
Dullah melepas songkoknya lalu mengusap usap kepalanya.
"Belum lagi ya, Mas. Kyai Aminudin juga tampak sekali seperti gelisah mengabarkan tentang kompetisi itu tadi."
"Mungkin saja hal itu sangat berpengaruh untuk pondok ini, Lek."
"Kalau itu sudah pasti, Mas. Yang jadi pertanyaannya, apa pengaruhnya itu lho, Mas?"
"Ya bisa jadi kembali ke pamor, Lek."
"Iya sih, Mas. Bukan maksud su'udzon. Tapi sepertinya pamor dan pandangan luar sangat berpengaruh sekali untuk Kyai Aminudin."
"Sepertinya memang begitu, Lek. Bukankah dari awal juga memang sudah terbaca jelas dari ucapan ucapannya?"
Dullah mengangguk paham.
"Itu sama seperti dengan hanya menggunakan agama sebagai topeng untuk keuntungan semata ya, Mas?"
"Ya begitulah. Dan sudah tidak asing lagi, Lek. Banyak penjilat dan pebisnis yang bersembunyi dibalik nama sebuah organisasi keagamaan. Karena mereka merasa aman aman saja disana. Tidak akan membuat orang curiga. Padahal yang seperti itu sungguh sangat dimurkai Allah, Lek."
"Na'udzubillah, Mas. Semoga kita dijauhkan dari sifat yang semacam itu. Diajuhkan dari sifat serakah yang apa apa selalu keuntungan yang diutamakan."
Ajimukti mengangguk.
"Sebaiknya kita mulai bergerak, Lek."
Dullah mengerutkan keningnya.
"Maksud Mas Aji?"
"Ya mungkin kita harus mulai dari sekarang. Menyusup pikiran mereka yang ada disini pelan-pelan dari sekarang."
Dullah tersenyum. Inilah yang ia tunggu tunggu. Sebuah pergerakan yang memang sudah direncanakan dari awal sepertinya akan segera dimulai.
Ajimukti menyandarkan kepalanya pada tembok kamar. Menghisap rokok ditangannya dan menghembuskan asapnya kuat kuat. Seolah ingin semua bebannya ikut dihembuskannya bersama kepulan asap rokok itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Tirta Kamandanu
sipp
2022-04-06
0
LANANG MBELING
mantul nih cerita thor...
2021-11-17
0
Karebet
💪💪💪💪
2021-10-07
0