Budi terlihat kesal mendengar cerita Khalil dan Imam. Tangannya terlihat mengepal. Gigi giginya bertaut, itu terlihat dari rahangnya yang berkedut.
"Benar benar nggak habis pikir saya. Kenapa anak itu berani sekali bicara seperti itu sama kalian."
"Makanya, Bud. Kita mesti kasih dia pelajaran biar dia paham siapa kita. Kalau tidak. Dia bakal semakin ngelonjak nantinya." Imam semakin mengompori Budi. Khalil mengangguk membenarkan ucapan Imam.
"Tapi kalian berdua beneran nggak kalah debat kan sama itu anak? Bisa malulah kita sebagai senior. Bisa jatuh pamor kita kalau sampai santri santri lain tahu."
Khalil dan Imam saling sikut.
"Tenang saja, Bud. Masa iya kita kalah sama bocah yang iqro' saja belum khatam."
Budi mengangguk. Sepertinya ia sudah memiliki sebuah rencana.
"Saya punya ide menarik yang pasti bakal membuat anak itu dan pamannya kapok bermain main sama kita kita yang senior."
Khalil dan Imam saling pandang dan saling melempar senyum tipis.
"Ide kamu apa, Bud?" Khalil sudah tidak sabar.
"Kita jebak dia. Jerumuskan dia. Dan saya yakin. Setelah itu dia tidak sekedar hanya akan mendapat ta'zir, tapi bisa bisa dikeluarkan dari sini."
Senyum Khalil dan Imam merekah.
"Caranya?" Imam pun sepertinya juga sudah tidak sabar.
"Kita gunakan kompetisi besok itu."
Khalil dan Imam saling pandang tidak tahu maksud dari ide Budi itu apa. Lalu mereka mendekat kepada Budi.
"Maksud kamu, Bud?"
"Kita daftarkan dia atas nama dia ke pengurus pondok. Dan nanti tiba hari H nya. Darrr!!! Dia bakal tamat."
Khalil mengangguk puas. Imam tertawa terbahak.
"Mampus mampus itu anak." Imbuh Imam.
"Bagus juga ide kamu itu, Bud." Puji Khalil.
"Bener bener cakep." Imbuh Imam lagi.
Merasa disanjung, Budi tampak menunjukkan kebanggaannya. Bagaimanapun diantara mereka bertiga, Budi lah yang paling unggul dalam semua pelajaran pondok.
"Tapi sekarang kamu pulihkan dulu kondisi kamu, Bud."
"Iya ini. Nggak tahu kenapa malah rasanya pusing bukan main. Apalagi kalian datang datang kasih kabar kayak begitu tadi. Malah makin pening kepalaku."
"Yasudah kamu istirahat saja, Bud. Kami mau ke depan saja."
Baru Khalil dan Imam mau melangkah, Budi menahan mereka.
"Tunggu tunggu. Kalian kemarin bilang kan mereka sepertinya dekat dengan Manan si santri songong itu?" Tanya Budi kemudian.
"Iya, Bud. Waktu Manan gantiin kamu ngajar mereka terus waktu kita dikumpulkan di halaman kemarin Manan juga sama mereka."
Budi menggaruk garuk dagunya.
"Pantas saja kalau mereka berani ngajak debat kalian. Pasti mereka sudah kena doktrin sama si santri songong itu."
"Sudah pasti kalau itu, Bud. Manan sudah pasti mencuci otak mereka." Sahut Khalil.
"Baiklah. Tunggu sampai saya pulih. Kita lancarkan rencana kita untuk santri baru itu."
Khalil dan Imam mengangguk patuh. Lalu Budi menyuruh mereka pergi dengan isyarat tangannya. Mereka pun segera melangkah menjauh dari kamar itu.
Tak jauh dari kamar Budi. Manan sedang berjalan menyusuri koridor kamar para santri. Khalil dan Imam melihat itu. Diam diam mengikuti Manan yang sepertinya menuju kamar Ajimukti.
"Itu Manan kesana sepertinya menuju kamar santri baru itu, Mam."
"Iya, Lil. Sepertinya begitu."
"Kita ikuti diam diam. Saya penasaran apa yang mereka bicarakan disana. Pasti Manan merencanakan sesuatu bersama santri baru itu."
"Saya pun curiga, Lil. Jangan jangan yang dia ucapkan ke kita tadi itu karena suruhan Manan."
"Persis. Saya pun menduganya seperti itu, Mam."
Mereka terus diam diam mengikuti langkah Manan. Manan pun tidak mengetahui kalau dirinya sedang di ikuti dua santri senior itu.
Manan berdiri di depan sebuah kamar. Mengetuk pintunya. Tak lama pintu kamar terbuka. Ajimukti segera mempersilahkan Manan masuk.
"Kopi Lek Dul." Ucap Manan begitu tiba dikamar Ajimukti lalu segera duduk di gelaran tikar kamar itu. Menyalakan rokok dan mulai asik dengan sebatang rokok ditangannya.
Dullah segera menyiapkan pemanas air. Ajimukti membetulkan sarungnya dan ikut duduk bersama Manan di gelaran tikar itu.
"Ada apa ini, Nan. Sepertinya ada yang urgent?" Tanya Ajimukti kemudian.
"Nunggu kopinya jadi lah, baru enak kita ngobrolnya." Celetuk Manan kemudian.
Ajimukti terbahak mendengar celetukan Manan itu.
Diluar kamar Khalil dan Imam diam diam menguping. Mereka duduk di samping pot besar di depan kamar Ajimukti.
"Pasti ada hal penting ini, Lil." Bisik Imam pada Khalil.
Khalil memberi kode pada Imam dengan mendesis dan jari telunjuk ditempelkan ke mulutnya sendiri. Imam mengangguk tidak bersuara.
Tak lama kopi panas datang. Aroma yang dibawa uap panasnya tercium begitu harum.
"Mantap ini, Lek." Puji Manan.
Dullah hanya tersenyum dan kemudian ikut duduk di samping Ajimukti.
Manan mengetuk ngetuk gelasnya ke tikar. Begitulah cara para penikmat kopi mengendapkan ampas kopinya agar cepat turun. Katanya.
Lalu menyeruput kopi panasnya. Suaranya menikmati kopi begitu memancarkan kepuasan tersendiri. Selesai satu seruputan Manan meletakkan kembali ke lepek piring kecilnya.
"Kalian jadi mau ketemu bapakku?" Tanya nya kemudian.
Dullah segera mendongak, pandangannya fokus ke arah Manan.
"Anggoro mau kesini, Nan?" Tanya Dullah kemudian terlihat begitu bersemangat.
"Kemungkinan dua atau tiga hari kedepan, Lek Dul. Ya belum pasti sih. Tapi kalau kesini saya kabari."
"Oke. Nanti bilang sama bapakmu untuk ketempat Prastowo."
"Iya, Lek Dul. Tanpa saya bilang pun bapak pasti mampir ke rumah Pak dhe Prastowo. Sudah pasti itu."
Dullah mengangguk. Rasanya ia sudah tidak sabar untuk bertemu Anggoro.
Diluar Khalil dan Imam saling pandang.
"Kamu dengar tadi tidak, Mam." Suara Khalil berbisik bisik.
"Iya, Lil." Imam pun menyahut dengan berbisik.
"Ternyata si santri tua pamannya santri baru itu teman bapaknya Manan."
"Wah ini kita harus kasih tahu Budi ini, Lil."
"Harus. Tapi nanti saja."
"Terus kamu dengar tidak tadi, Lil. Mereka menyebut nama Prastowo. Bukankah itu penjual ayam potong di depan sana?"
"Iya, Mam. Kamu benar."
Khalil mengangguk angguk. "Ternyata santri tua itu kenal juga sama si penjual ayam potong."
"Kok bisa ya, Lil?" Tanya Imam kemudian.
"Entahlah, Mam. Kenapa santri tua itu bisa kenal bapaknya Manan juga si penjual ayam potong." Khalil mengerutkan kening dan menempelkan jarinya ke dagu.
"Saya curiga, Mam." Lanjut Khalil kemudian.
Imam kini yang gantian mengerutkan kening. "Curiga bagaimana, Lil."
"Entahlah. Saya belum bisa menjelaskannya. Tapi saya pikir santri tua dan keponakannya itu pasti bukan tanpa sengaja datang ke pesantren ini. Mereka pasti bukan orang asing di kampung sini."
"Emmmm. Begitu ya, Lil. Kalau dipikir pikir sih benar juga apa kata kamu ini sih, Lil."
Khalil mengangguk angguk pelan.
"Nggak mungkin kalau mereka pendatang dan tahu pesantren ini dari majalah sepertu kata mereka waktu pertama datang kesini. Kalau mereka hanya tahu dari majalah, kan nggak mungkin mereka kenal bapaknya Manan dan penjual ayam potong itu." Lanjut Imam.
"Nah, itu dia, Mam. Saya mencium sesuatu dari mereka. Tapi apa ya?"
Saat mereka tengah asik ngobrol berbisik. Sebuah deheman mengagetkan mereka. Membuat mereka salah tingkah dan saling pandang.
"Ada apa kalian disini?"
"Anu itu. Emmm. Anu. Kita cuma. Kita cuma." Suara Imam terbata.
"Emmm. Kita cuma lagi. Emmm, lagi nyari sesuatu. Ya, sesuatu yang jatuh. Ya kan, Mam." Khalil menyikut Imam dan dia pun tak kalah terbata.
Imam hanya mengangguk pelan sambil terus mengamati lawan bicaranya. Keringat dinginnya mulai menjalar dari keningnya. Terlihat sekali ekspresi ketakutan dari wajahnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Tirta Kamandanu
sipp...
2022-04-06
1
yamink oi
Yih isine konagan
2022-01-05
2
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
jiaahhh... konangan..😄😄
2021-12-31
2