Pagi ini terasa cukup dingin, mungkin karena gerimis semalam yang sempat sesaat mengguyur Pondok Hidayah dan sekitarnya ditambah bau anyir tanah yang masih basah membuat suasana pagi semakin pas untuk sejenak menikmati secangkir kopi panas. Disisi lain daun daun basah yang bergoyang tertiup angin sesekali menjatuhkan bulir bulir bening ke tanah, mungkin sisa guyuran air hujan semalam yang bercampur embun.
Ajimukti dan Dullah sedang berjalan dihalaman masjid yang cukup luas. Berjalan kearah gerbang menuju warung tempat dimana mereka bertemu Prastowo beberapa hari yang lalu. Hanya mengenakan kaos hitam dan sarung, seperti tidak merasakan dinginnya pagi ini. Berbeda dengan Dullah yang sejak tadi terus menggesek gesekan telapak tangannya dan sesekali meniupnya untuk sedikit menghangatkan badannya.
Belum sampai di gerbang sebuah mobil Range Rover Sport yang cukup mewah memasuki gerbang masjid. Jelas itu bukan orang sembarangan yang bisa memiliki mobil semewah itu. Harga mobil itu bisa mencapai 2M lebih. Ajimukti dan Dullah sejenak menepi ke sisi pinggir gerbang. Mobil mewah dengan cat berwarna silver itu tiba tiba berhenti di ambang gerbang. Lalu membuka kaca mobilnya. Ajimukti mengamati siapa orang dibalik kemudi sopir itu.
"Assalamu'alaikum, Kang Ajik." Tiba tiba seseorang mengeluarkan kepalanya dari balik kaca mobil.
Ajimukti untuk sesaat tersentak. Lalu buru buru menghampiri si pengemudi mobil mewah itu.
"Wa'alaikumsalam, Gus Faruq." Sahut Ajimukti sembari sedikit membungkukkan badannya.
Ternyata seseorang dibalik mobil mewah itu Faruq, pengajar kelas alfiyah yang masih ada hubungan kerabat dengan istri Kyai Aminudin.
"Mau kemana, Kang?" Tanya Faruq kemudian.
"Ini, Gus. Mau ke warung."
"Oh, yasudah, Kang. Monggo. Saya masuk dulu."
"Monggo, Gus." Sekali lagi Ajimukti membungkukkan badannya.
Faruq menutup kembali kaca mobilnya lalu melajukan mobilnya menuju Pondok Hidayah.
Dullah menghampiri Ajimukti yang masih berdiri di tengah tengah gerbang masjid.
"Oh, itu tadi yang Gus Faruq ya, Mas?"
"Iya, Lek."
"Tidak terlalu sombong sih Mas kalau menurut saya. Buktinya dia menyempatkan berhenti begitu melihat sampeyan. Padahal baru kemarin bertemu."
"Sepertinya begitu, Lek."
Ajimukti kembali melanjutkan langkahnya menuju warung. Dullah pun kembali mengikutinya, sesaat ia menoleh ke belakang ke arah halaman parkir Pondok Hidayah dimana mobil yang dikemudikan Faruq kini berhenti.
Terlihat oleh Dullah Faruq keluar dari pintu depan, kemudian buru buru membuka pintu belakang dan setelahnya kaki seseorang terlihat terjulur keluar. Dalam pandangan Dullah sepertinya perempuan yang akan keluar dari bangku belakang.
"Ayo, Lek." Seruan Ajimukti membuat Dullah segera berlalu menuju Ajimukti yang sudah berjalan cukup jauh darinya.
"Gus Faruq sudah menikah ya, Mas?" Tanya Dullah kemudian.
Ajimukti melengos. Lalu tertawa.
"Ya mana saya tahu lah, Lek. Kemarin pas ketemu cuma sekedar kenalan. Dan lagi pas ada perlu sama Manan."
"Ohhh." Dullah menganggukkan kepalanya.
"Kenapa tanya Gus Faruq sudah menikah apa belum, Lek?" Ajimukti menyipitkan matanya.
"Nggak apa apa, Mas. Itu tadi saya lihat Gus Faruq keluar dari mobil terus menuju pintu belakang. Sepertinya perempuan yang dibelakang itu, Mas."
"Iya mungkin sih, Lek. Atau mungkin Bu Nyai juga bisa. Soalnya tadi pas berhenti juga nggak kelihatan ada orang. Kacanya gelap, Lek. Coba nanti tanya saja sama Manan. Dia lebih tahu kayaknya, Lek."
Dullah hanya mengangkat bahunya.
Ajimukti dan Dullah sudah berdiri di depan sebuah warung. Ajimukti masuk kedalam warung, sementara Dullah matanya berkeliling mengamati sekitar warung siapa tahu Prastowo ada di sekitar sana.
"Nyari apa, Lek?" Ajimukti yang baru saja keluar dari warung mengagetkan Dullah yang masih mengamati sekitar.
"Oh, tidak, Mas. Siapa tahu Prastowo ada disini."
"Apa kita ke rumahnya saja, Lek. Sekalian ngobrol. Ya mumpung tidak ada kegiatan." Usul Ajimukti kemudian.
"Boleh boleh, Mas."
"Yasudah ayo, Lek."
Dullah kini berjalan duluan, Ajimukti mengikutinya dibelakang.
Suasana pagi masih belum begitu saja melepas hawa dinginnya. Matahari masih malu malu untuk menampakan keperkasaannya pagi ini. Ia memilih bersembunyi di balik gumpalan gumpalan awan. Meski sesekali mengintip, tapi tak cukup untuk menghangatkan raga raga dibawahnya.
Prastowo sedang memberi makan ayam ayamnya ketika Ajimukti dan Dullah tiba tiba menyambangi rumahnya. Bergegas ia membersihkan diri dan tergesa menemui kedua tamunya. Tak lupa terlebih dahulu menyuruh istrinya untuk menyiapkan kopi untuk mereka. Kemudian mengajak mereka berdua masuk ke dalam rumahnya.
"Apa di pondok tidak ada kegiatan kok sepertinya sudah bisa keluar keluar." Tanya Prastowo sembari membuka jendela rumahnya. Seketika angin membawa hawa dingin masuk kedalam ruang tamu itu.
"Tidak ada, Lek. Masih nanti siang." Sahut Ajimukti.
Prastowo kemudian ikut duduk bersama mereka. Istri Prastowo pun tak lama datang membawa nampan berisi gelas gelas kopi yang masih panas juga sepiring gorengan.
"Terima kasih, Mbak yu." Ucap Dullah kepada istri Prastowo.
"Halah cuma kopi lho, Kang. Monggo lho. Dirahapi seadanya." Istri Prastowo mempersilahkan kedua tamu Prastowo itu. Lalu kembali ke belakang.
"Oh iya, Pras. Kabar anakmu bagaimana?" Tanya Dullah kemudian.
"Alhamdulillah, Dul. Akhir tahun ini Ajeng anakku yang sulung Akhiru Sannah, katanya. Kalau Anto baru mau masuk Tsanawiyah."
"Luar biasa, Pras. Kamu berhasil mendidik anak anak kamu menjadi santriwan santriwati."
Prastowo hanya tertawa. "Jangan begitu, Dul. Ini semuanya kan juga berkat bantuan Kang Salim, Dul."
Dullah mengangguk.
"Anakmu sendiri bagaimana, Dul? Kamu sendiri belum cerita banyak soal keluarga kamu kemarin." Lanjut Prastowo.
"Ya, sebenarnya yang nemenin Mas Aji kesini awalnya, Sobri, anakku semata wayang, Pras. Tapi berhubung ndalem butuh dia, yasudah saya yang akhirnya menemani Mas Aji ini kesini. Dan lagi sedikit banyak saya tahu seluk beluk daerah ini, Pras."
Prastowo hanya mengangguk.
Prastowo menikah tak lama setelah dirinya meninggalkan kehidupan lamanya. Berkat bantuan Zaini, Prastowo akhirnya didekatkan dengan Sumiatun yang masih ada hubungan darah dengan Zaini. Dari hasil pernikahannya itu, Prastowo dikaruniai dua orang anak perempuan dan laki laki. Ajeng dan Anto namanya. Sejak anak anaknya masih kecil, Prastowo sudah menitipkan anak anaknya itu ke salah satu pesantren di daerah Pacitan, Jawa Timur.
Sementara Dullah sendiri, menikah dengan Tri Murti gadis asal Jogja yang masih kerabatnya Kartika, Ibunya Ajimukti. Dari Tri Murti, Dullah hanya dikaruniai seorang anak laki laki bernama Sobri.
"Wah, pasti anak kamu sudah mumpuni ya, Dul." Puji Prastowo.
Dullah hanya tersenyum mendengar pujian sahabatnya itu.
"Mungkin kita nanti perlu mengenalkan anak anak kita, Dul. Untuk terus menjalin silaturahmi kita ini." Lanjut Prastowo.
"Wah, jangan jangan kamu ingin besanan sama saya ya, Pras?" Celetuk Dullah kemudian.
Ajimukti yang mendengar itu sontak tertawa. Ia tahu betul bagaimana Sobri. Sobri sangat susah untuk tertarik dengan perempuan. Bahkan Ajimukti ingat bagaimana respon Sobri ketika ada santriwati yang tiba tiba mengiriminya sepucuk surat waktu itu.
"Sepertinya ide bagus lho itu, Lek." Sahut Ajimukti kemudian masih sedikit ada guratan tawa di bibirnya.
"Kenapa tidak. Ya kan Mas Aji." Susul Prastowo kemudian.
Dullah kini ikut tertawa lalu mereka meraih gelas kopi yang sejak tadi belum di jamah setelah Prastowo mempersilahkannya kembali.
"Ngomong ngomong, Pras. Kenapa waktu itu kamu tidak bilang kalau Anggoro sering kesini dan anaknya masih nyantri disini?" Tanya Dullah kemudian.
Prastowo mengubah posisi duduknya.
"Aku lupa, Dul. Saking senengnya bisa ketemu kamu lagi aku lupa cerita. Kamu sama Mas Aji sudah bertemu Manan?"
"Sudah, Pras. Tapi untuk rencana kami ini. Kami belum bisa memberi tahu Manan."
Prastowo mengangguk.
"Sebaiknya tunggu Anggoro kesini, Dul. Biar Manan tahu disini." Usul Prastowo.
"Nah, Maksud saya juga begitu, Lek. Nanti kalau Pak lek Anggoro kesini saja. Sementara biar kami merahasiakan dulu semuanya dari Manan."
Prastowo membenarkan ucapan Ajimukti itu.
Kring! Kring! Kring!
Suara telefon berdering menghentikan percakapan mereka. Prastowo bangun dari duduknya lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas dipan panjang di sudut ruang tamunya.
"Anak wedok, Dul." Ucapnya pada Dullah yang kemudian segera mengangkat telefon itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Tirta Kamandanu
mantap dah...
2022-04-06
1
Nurjanah Tamim
aku jatuh cinta sm kang mas ajimukti..
love berat aah
2022-03-18
2
Styaningsih Danik
alurnya 👍👍👍ceritanya 👍👍👍penuturan bahasa bagus walau ada sedikiiiiiiiit typo penulisannya tp gk masalah👍
2022-03-13
1