Teman Lama Dullah

Sebuah panggilan masuk membuat ponsel Ajimukti berdering malam ini.

Ajimukti segera bangun dari tidurnya. Pun dengan Dullah.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam, Le. Gimana sudah sampai kamu?" Suara seorang wanita dari jauh seberang sana.

"Sudah, Bu. Alhamdulillah."

"Syukurlah, Le. Ibu lega. Kamu baik-baik disana. Ingat semua pesan Ibu."

"Iya, Bu. Aji akan ingat semua welingan ibu. Ibu tenang saja. Percayakan semua sama Aji, Bu.'

"Kamu ini, Le. Kalau sudah begini persis kayak bapakmu."

Disini Ajimukti hanya tersenyum.

Yang menelfon Ajimukti malam ini adalah ibunya. Kartika namanya. Usianya sudah sekitar enam puluh tahun lebih.

"Yasudah, Le. Ibu cuma mau tahu kamu sudah sampai apa belum itu saja. Yasudah ibu tutup dulu telfonnya. Kamu jangan begadang. Jaga kesehatan kamu disana."

"Iya, Bu."

Setelah itu Kartika segera menutup telfonnya. Sementara Ajimukti masih duduk di atas tempat tidurnya. Dullah menggeliat.

"Ibu ya, Mas?"

"Iya, Lek."

"Ada apa, Mas?"

"Cuma tanya kita sudah sampai apa belum saja, Lek."

Dullah tampak geleng kepala.

"Ibu memang selalu begitu, Lek. Selalu menganggap saya ini masih seperti saya yang masih suka digendongnya dulu meski sekarang saya sudah kepala dua lebih."

Dullah hanya tertawa kecil.

"Itulah seorang ibu, Mas. Mas Aji harus bersyukur karena masih diperhatikan ibunya. Sementara saya Mas, dari usia tiga belas tahun sudah ditinggalkan ibu saya bahkan sampai sekarang saya tidak pernah tahu kabar ibu saya bagaimana dan dimana. Masih hidup apa sudah meninggal. Yang bisa saya lakukan hanya mendoakannya saja, Mas."

Ajimukti tersenyum.

"Yang sabar, Lek. Seperti kata sampeyan, Lek. Do'a itu senjata paling ampuh bagi orang seperti kita."

Dullah hanya mengangguk. Membenarkan ucapan Ajimukti dan ingat betul kata-kata itu pernah ia lontarkan kepada Ajimukti saat Ajimukti menginjak remaja. Kini justru kalimat itu kembali kepadanya.

"Balik tidur lagi aja, Lek. Ingat tadi pesen Mas Masnya. Kalau tidak ikut jama'ah subuh bakal kena ta'zir dari para santri senior."

Dullah lagi terbahak mendengar ucapan Ajimukti.

"Kalau tidur malah takutnya keenakan saya nanti, Mas."

Ajimukti mengacungkan telunjuknya sembari tertawa.

Malam berlalu begitu cepatnya. Sorot sinar mentari pagi sudah sedikit menjilat beberapa sisi tembok Pondok Hidayah saat beberapa santri berhamburan keluar dari masjid.

Ajimukti diikuti Dullah berjalan dibelakang Budi si pemuda yang tadi juga mengumandangkan adzan juga iqomah.

"Mungkin Budi ini muadzin di masjid Pondok Hidayah." Batin Dullah tadi pagi ketika memasuki masjid untuk sholat subuh berjama'ah.

"Kalian sudah bisa baca Al Qur'an?" Tanya Budi tiba-tiba.

"Belum bisa, Mas. Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Tanya saja. Lagipula tidak heran kalau tampang-tampang seperti kalian ini tidak bisa baca Al Qur'an. Di kampung saya banyak yang model seperti kalian ini. Sukanya keluyuran gak jelas."

Ajimukti hanya terdiam. Untuk kesekian kalinya Dullah hanya bisa menelan ludah mendengar ocehan Budi yang sejak pertama bertemu sudah memberi kesan mengejek.

"Berbeda dengan saya yang sejak kecil dididik orang tua dengan agama yang kuat. Jadi tidak heran kalau saya menjadi yang terbaik dalam bacaan Al Qur'an di pondok ini. Kalian lihat kan saya menjadi muadzin disini. Itu karena apa? Kalian tahu tidak?"

Ajimukti dan Dullah kompak menggeleng.

"Ya itu karena bacaan saya bagus juga suara saya paling bagus diantara santri lain. Begitu saja kalian tidak paham."

"Benar-benar sombong." Lagi-lagi Dullah hanya bisa membatin.

"Saya sebenarnya sedang tidak enak badan, tapi karena Kyai menyuruh saya mengajari kalian ya sudah saya nurut saja. Saya tidak ingin pandangan baik Kyai ke saya jadi berubah kalau saya menolak titah beliau."

Deg! Dullah menarik nafasnya dalam-dalam dan kembali menghembuskannya kuat-kuat.

Disebuah ruangan yang tidak terlalu luas.

Beberapa santri sedang sibuk mengaji. Suaranya yang saling bersautan hampir seperti sarang lebah.

Budi duduk bersila bersandar pada tembok di ujung ruangan. Setelah dipersilahkan duduk, Ajimukti dan Dullah pun ikut duduk menghadap ke Budi. Kini Ajimukti dan Dullah duduk berhadap-hadapan dengan Budi sebagai pengajar mereka.

Sebelum duduk Ajimukti sempat melirik ke sudut ruangan yang lain. Matanya tertuju pada Imam juga Khalil yang juga sepertinya sedang mengajar.

"Kalian mau mulai darimana?" Tanya Budi pada Ajimukti dan Dullah.

"Da..."

"Dari awal saja, Mas." Ajimukti memotong ucapan Dullah.

"Dari awal saja ya, Lek. Kan sudah lama kita belajar itu. Takutnya malah salah."

Dullah hanya mengangguk seolah paham maksud Ajimukti.

Budi hanya geleng kepala.

"Sebenarnya saya paling tidak sabaran kalau harus mengajar dari awal. Ya lagi-lagi karena perintah Kyai. Apa boleh buat. Saya tidak mau bertele-tele. Saya harap kalian perhatikan baik-baik karena saya tidak ada waktu untuk mengulang. Kalian mengerti?"

Ajimukti dan Dullah hanya mengangguk.

Budi memulai membuka buku Iqro' jilid pertama. Ditunjukannya huruf demi huruf. Dibacakannya. Lalu menyuruh Ajimukti juga Dullah mengulanginya.

Beberapa jam telah berlalu. Disudut yang lain Imam juga Khalil sepertinya sudah menutup kajian mereka. Untuk sesaat suasana ruangan hening tanpa dengungan yang seperti suara lebah bersaut-sautan.

"Baiklah hari ini kita cukupkan disini. Kalian hafalkan sendiri dikamar. Besok saya harap kalian sudah hafal dan bisa ke bab selanjutnya. Kalian paham?"

Ajimukti dan Dullah kompak mengangguk.

Imam dan Khalil terlihat berjalan mendekat kearah mereka.

"Gimana, Bud? Lancar?"

"Hah. Lancar apanya. Yang ada saya bosan. Kalau bukan karena dawuh Kyai. Ogah saya mengajar mereka. Benar-benar buta huruf mereka."

Dullah sebenarnya sudah geram. Tapi lagi-lagi tangannya ditahan oleh tangan Ajimukti. Sedikit gerakan mata Ajimukti sudah sangat bisa dipahami Dullah apa maksutnya.

"Yasudah kita kembali ke kamar saja." Ajak Imam pada Budi dan Khalil.

Mereka bertiga beranjak pergi meninggalkan Ajimukti dan Dullah.

"Lama-lama saya gedeg sendiri Mas sama mereka. Ingin rasanya saya hajar mereka."

"Tenang, Lek. Tujuan kita kesini kan bukan mereka. Soal mereka itu urusan kecil."

"Tapi lama-lama mereka kelewatan, Mas."

"Ya begitulah, Lek. Mungkin ini bagian dari ujian kita. Anggap saja begitu."

Dullah hanya diam. Kali ini dia memang sedang benar-benar diuji kesabarannya.

Ajimukti beranjak dari duduknya di ikuti Dullah. Berjalan santai keluar dari ruangan itu.

"Saya beli rokok sama kopi sebentar ya, Lek."

"Kemana, Mas. Memangnya Mas Aji tahu warung dekat sini? Sudah saya temani saja."

Ajimukti hanya tersenyum. Sebenarnya dia memang tidak begitu tahu daerah ini. Berbeda dengan Dullah. Maka ketika Dullah menawarkan diri untuk menemaninya, Ajimukti hanya mengiyakan dengan isyarat mimik wajahnya.

Tanpa harus mencari cari kesana kemari kini Ajimukti sudah berdiri didepan sebuah warung kecil. Ajimukti masuk kedalam warung memesan dua bungkus rokok juga beberapa sachet kopi instant.

"Dullah?"

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Dullah. Begitu juga dengan Ajimukti yang segera menoleh kearah sumber suara.

Dullah menatap si pemilik suara itu. Seorang laki-laki agak gempal dengan kulit hitam karena mungkin sering terbakar matahari. Dullah mencoba menjelajahi ingatan dimasa lalunya.

"Kamu Dullah kan? Anak buahnya Kang Salim?" Tanya lelaki itu.

Seketika Dullah menarik tangan laki-laki itu dan membuat laki-laki itu hampir tersungkur. Lalu Dullah menutup mulut laki-laki itu.

"Sssttt. Diam." Ucap Dullah lalu melepas tangan yang menutupi mulut laki-laki itu.

"Iya saya Dullah. Kamu Prastowo kan?"

Lelaki bernama Prastowo itu seketika memeluk Dullah sampai-sampai Dullah kewalahan untuk melepaskan diri.

"Dullah. Dullah."

"Sudah Pras. Kamu ini." Dullah berusaha melepas pelukan Prastowo. Meski akhirnya Prastowo segera melepas pelukannya.

"Kamu apa kabar, Dul?"

"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kamu lihat, Dul. Masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu. Kamu sendiri sejak ikut Kang Salim dan ditugaskan untuk menjaga Kartika tidak pernah lagi kelihatan disini. Kenapa ini tiba-tiba kesini, Dul. Justru setelah Kang Salim meninggal."

Dullah melihat kanan kiri. Matanya tak henti-hentinya berkeliaran kesana kemari. Ajimukti saat ini hanya diam.

"Sudah ceritanya nanti saja, Pras. Sekarang kamu tinggal dimana?"

"Rumah saya tidak jauh, Dul. Itu kelihatan dari sini." Sambil tangannya menunjuk sebuah rumah tak jauh dari warung tempat mereka berdiri saat ini.

"Kita ngobrol dirumahmu. Apa kamu tidak keberatan?" Tanya Dullah kemudian.

Prastowo tergelak. Suaranya sama seperti ketika Dullah mengenalnya dulu.

"Kebetulan istriku baru memasak air. Sepertinya cukup untuk kita ngopi seperti dulu. Apalagi tadi pagi istriku membuat pisang goreng tidak mungkin untuk saya habiskan sendiri."

Dullah tertawa. "Yasudah kita lanjutkan obrolannya dirumah kamu saja, Pras."

Prastowo berjalan diikuti Dullah juga Ajimukti.

Hanya butuh beberapa langkah kecil untuk bisa sampai dirumah Prastowo. Ketika tiba-tiba Prastowo membawa tamu asing, istri Prastowo hanya sedikit keheranan karena tidak biasanya Prastowo kedatangan tamu asing.

"Tidak usah heran, Bu. Ini Dullah teman lama bapak. Ini dulu juga sama seperti bapak sebelum akhirnya dia ini bertemu dengan Kang Salim."

Istri Prastowo hanya mengangguk lalu melempar senyum kearah Dullah dan Ajimukti.

"Duduk, Dul." Prastowo mempersilahkan Dullah juga Ajimukti untuk duduk di kursi kayu diruang tamu Prastowo. Lalu memberi aba-aba istrinya untuk membuatkan kopi.

"Ngomong-ngomong apa ini anakmu, Dul?" Prastowo melirik kearah Ajimukti.

Dullah hanya tersenyum lalu sedikit mendekat dan berbisik ke telinga Prastowo. Seketika raut wajah Prastowo berubah dan buru-buru menyalami Ajimukti.

"Panggil saya Pak lek, Mas. Sama seperti sampeyan memanggil Dullah."

"Iya, Lek."

Istri Prastowo keluar membawa nampan berisi tiga cangkir kopi dan juga sepiring pisang goreng hangat. Prastowo segera mempersilahkan tamu-tamunya untuk mencoba suguhan alakadarnya itu.

"Sambil kita ngopi, Dul. Coba jelaskan ada keperluan apa sampai kamu juga Mas Aji jauh-jauh menyambangi Pondok Hidayah?"

Dullah menarik nafas panjang. "Alangkah lebih baik biarkan Mas Aji yang menjelaskan, Pras."

Ajimukti tersenyum tipis lalu mengubah posisi duduknya, kemudian memulai ceritanya. Sepanjang cerita raut wajah Prastowo berubah-ubah. Kadang terlihat sangat marah. Kadang terlihat kaget. Bahkan tak jarang raut kesedihan yang amat dalam terpancar di wajahnya.

"Begitulah, Lek. Saya mohon bantuannya. Bila Pak Lek Prastowo bisa membantu saya."

Prastowo menarik nafas panjang. Lalu berdiri dari duduknya. Menyalakan sebatang rokok kretek yang diselipkannya dalam pipa panjang terbuat dari kayu melati.

"Saya selalu berdo'a sepanjang malam. Saya berdo'a semoga yang meninggal waktu itu bukan Kang Salim. Tapi saya sadar takdir Allah tidak mungkin dilungkiri. Nyatanya Kang Salim memang sudah tiada. Lalu saya mengganti lafadz do'a saya. Saya berharap akan ada yang seperti Kang Salim terlahir lagi. Paling tidak sepaham dengannya. Dan Alhamdulillah, mungkin inilah jawaban atas do'a do'a saya selama ini."

"Dul, kamu ingat berpuluh puluh tahun yang lalu ketika saya datang ke hadapan Kang Salim? Kamu ingat apa yang saya ucapkan waktu itu?"

Dullah mengangguk dengan dibarengi senyum tipisnya.

"Dan kamu lihat, Dul. Saya masih hidup sampai sekarang. Saya masih kuat sampai sekarang meski tidak sekuat dulu. Saya masih sehat sampai sekarang meski tidak sebugar dulu. Tapi yang pasti, Dul. Janji saya tidak pernah berubah sejak dulu. Janji yang sudah saya tanamkan sebagai bagian dalam hidup saya. Janji yang hanya akan diakhiri dengan kematian saya. Dan sekarang saya masih hidup, Dul. Janji itu akan tetap berlaku. Dan kamu tahu apa artinya itu, Dul?"

Prastowo kembali duduk dengan kedua tangannya menumpu pada lututnya. Membuat kedua ketiaknya terbuka lebar.

Dullah sekali lagi mengangguk dengan sebuah senyum kepuasan.

"Saya dan seluruh do'a do'a saya akan bersama sampeyan Mas Aji. Pegang kata-kata saya ini sebagaimana saya pernah berjanji pada Kang Salim."

Ajimukti tersenyum lalu meraih tangan Prastowo ketika Ajimukti hendak mencium tangannya, Prastowo secepat kilat menarik tangannya.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Fatkhur Kevin

Fatkhur Kevin

siapa ajimukti

2023-09-18

0

Daliffa

Daliffa

nyimak 🙏

2022-04-21

0

Hergozin Cristina

Hergozin Cristina

siapa sebenarnya aj

2022-03-30

0

lihat semua
Episodes
1 Ajimukti
2 Hidayah
3 Teman Lama Dullah
4 Jalan Hidayah
5 Kembali Ke Malang
6 Titik Awal
7 Tidak Lebih Dari Tiga Bulan
8 Hasan Basri, Anggoro?
9 Kompetisi
10 Maqam Ya?
11 Dondong Opo Salak?
12 Atur Siasat
13 Sandiwara Ajimukti
14 Gus?
15 Celetuk Dullah
16 Tragedi Surat Dewi
17 Ajimukti Aufatur Muthoriq
18 Kompetisi Lagi
19 Rumpi Santri
20 Perkenalan Dengan Putri Kyai Aminudin
21 Boss!!!
22 Punakawan
23 Filosofi Punakawan
24 Kun Pariyan, Wa Laa Takun Pakisan!
25 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
26 Balada Trio Senior
27 Uji Coba
28 Bibit! Bebet! Bobot!
29 Hujan!
30 Sore Itu Dipasar
31 Sebuah Janji
32 Habiba Lagi! Lagi Lagi Habiba!
33 Siapa Dia?
34 Gerak Faruq
35 Menuju Kompetisi
36 Balada Gelang Kaoka
37 Mencari Habiba
38 Kabar Kemenangan Ajimukti
39 Ah, Ternyata Habiba
40 Do'a Di Iring Shalawat
41 Bakmi Jowo
42 Pertemuan Kedua
43 Orang Tak Dikenal
44 Dia Dalam Doa
45 Curhat
46 Lelaki Tua Itu, Kembali
47 Saudara Yang Sama
48 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
49 Sipat Kandhel?
50 Negosiasi Perasaan
51 Khansa binti Khadzdzam
52 Nugroho Sastro Darmono?
53 Delapan Tahun Lalu
54 Ajimukti VS Budi Nugroho
55 Sukrono Sukro Rino
56 Nguri-uri Peninggalan Leluhur
57 Kalung Kayu Stigi
58 Sedulur Papat Limo Pancer
59 Nafsu Dan Hati Nurani
60 Perginya Budi
61 Mas Kyai Salim Dan Ustadz Amin
62 Bicara Mahar
63 Toleransi
64 Allah Dan Muhammad
65 Teras Ndalem
66 Perdebatan Dimulai
67 Dan Pada Akhirnya
68 Pagi Yang Cerah Senyum Merekah
69 Pertemuan Wali Santri
70 Jangan Panggil, Ning!
71 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
72 Mencari Aminudin
73 Kekhawatiran Sumiatun
74 Menunggu Habiba
75 Penasaran
76 Tiga Mantra Kehidupan
77 Godril Dengan Tattonya
78 Sebuah Rencana
79 Al-insaanu Hayawaanun Naathiq
80 Siapa Yang Mengirim Mereka?
81 Tidak Pantas Dipanggil Gus!
82 Problema Kehidupan
83 Wejangan Nyai Sarah
84 Sobri VS Suko
85 Prastowo Turun Tangan
86 Siapa Warsito Itu?
87 Kelicikan Suko
88 Kepulangan Ari Godril
89 Kebetulan Yang Kebetulan
90 Selebar Daun Kelor
91 Melamar Habiba
92 Balas Budi
93 Meringkus Warsito
94 Satu Nama Baru
95 Sobri
96 Mantu Kurang Ajar
97 Nugroho Dan Kehidupannya
98 Pesan Prastowo
99 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
100 Pokok'e Seneng
101 Malam Di Teras Langgar
102 Kesedihan Habiba
103 Obrolan Jaman Edan
104 Belum Menikah Bicara Thalaq
105 Pulang!
106 Menjemput Habiba
107 Jadilah Purnamaku, Ning!
108 Adigang, Adigung, Adiguna
109 Gejolak Hati Sobri
110 Delapan Menit
111 Pembenci Pemberi Kebaikan
112 Semakin Dekat Semakin Kasar
113 Panggil saja, Umi...!
114 Mungkinkah Wali Mastur?
115 Hal Tatazawajani...!
116 Santri Itu Tosan Aji
117 Bainal-Tsaqaafah Wad-diin
118 Belajar Dari Lalat dan Lebah
119 Ilmu Ikhlas
120 Kesadaran Ajeng
121 Ular Ular
122 Hexa, Santri Baru
123 Ajeng
124 Qulal-haqo Walaw Kan-murona
125 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
126 Sa...bar...!
127 Targhib Atau Tarhib?
128 Masih Tentang Hexa
129 Bro Sobri...!
130 Al 'ulamaa' Warotsatul-Anbiyaa'
131 Pertemuan Dengan Arya
132 Wang Sinawang
133 Tahlilan
134 Tamu Spesial
135 Ini Penting Untuk Wanita
136 Nengahi
137 Sinau Macapat
138 Santri
139 Kredit? Riba?
140 Nduk...!
141 Terselip Dalam Kitab
142 Pertemuan Sobri Dan Gandung
143 Sahabat Sebenarnya
144 Obrolan Membosankan
145 Sak Bab Jum'atan
146 Kembalinya Nafisa
147 Mulut Untuk Telinga
148 Kenali Dunia
149 Mas...!
150 Melunaknya Ego
151 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
152 Kawal Sampai Halal
153 Wali Jami'
154 Sembrono
155 Obrolan Bapak Anak
156 Nafisa
157 Non Marital
158 Sambat
159 Agen Rahasia
160 Ta’addud Al-Jumat
161 Sisi Lain
162 Hobby
163 Kekhawatiran Itu
164 Ngwejang Manan
165 Satu Hal Tentang Kebencian
166 Kalimat Dalam Selembar Surat
167 Menunggu Kunjungan
168 Ilmu Mantik
169 Bu Dhe Satu Lagi
170 Kala Hujan
171 Insya Allah
172 Binniyat
173 Kalung Temurun
174 Uluwwul Himmah
175 !!!..Waraqat Istiraahah...!!!
176 Tamu Tamu Sukrono
177 Arya's Memories
178 Mulatsih
179 Bicara Mulatsih
180 Kakak Sekaligus Guru
181 Tasamuh
182 Bertemunya Ajimukti Mulatsih
183 Kenyang
184 Santri Singa
185 Atur Pangapura
186 Langkah Awal Budi
187 Semangkok Soto
188 Adab dan Ilmu
189 Terbiasa Tak Membiasakan
190 Ruang Kunjung
191 Rahasia Hati
Episodes

Updated 191 Episodes

1
Ajimukti
2
Hidayah
3
Teman Lama Dullah
4
Jalan Hidayah
5
Kembali Ke Malang
6
Titik Awal
7
Tidak Lebih Dari Tiga Bulan
8
Hasan Basri, Anggoro?
9
Kompetisi
10
Maqam Ya?
11
Dondong Opo Salak?
12
Atur Siasat
13
Sandiwara Ajimukti
14
Gus?
15
Celetuk Dullah
16
Tragedi Surat Dewi
17
Ajimukti Aufatur Muthoriq
18
Kompetisi Lagi
19
Rumpi Santri
20
Perkenalan Dengan Putri Kyai Aminudin
21
Boss!!!
22
Punakawan
23
Filosofi Punakawan
24
Kun Pariyan, Wa Laa Takun Pakisan!
25
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
26
Balada Trio Senior
27
Uji Coba
28
Bibit! Bebet! Bobot!
29
Hujan!
30
Sore Itu Dipasar
31
Sebuah Janji
32
Habiba Lagi! Lagi Lagi Habiba!
33
Siapa Dia?
34
Gerak Faruq
35
Menuju Kompetisi
36
Balada Gelang Kaoka
37
Mencari Habiba
38
Kabar Kemenangan Ajimukti
39
Ah, Ternyata Habiba
40
Do'a Di Iring Shalawat
41
Bakmi Jowo
42
Pertemuan Kedua
43
Orang Tak Dikenal
44
Dia Dalam Doa
45
Curhat
46
Lelaki Tua Itu, Kembali
47
Saudara Yang Sama
48
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
49
Sipat Kandhel?
50
Negosiasi Perasaan
51
Khansa binti Khadzdzam
52
Nugroho Sastro Darmono?
53
Delapan Tahun Lalu
54
Ajimukti VS Budi Nugroho
55
Sukrono Sukro Rino
56
Nguri-uri Peninggalan Leluhur
57
Kalung Kayu Stigi
58
Sedulur Papat Limo Pancer
59
Nafsu Dan Hati Nurani
60
Perginya Budi
61
Mas Kyai Salim Dan Ustadz Amin
62
Bicara Mahar
63
Toleransi
64
Allah Dan Muhammad
65
Teras Ndalem
66
Perdebatan Dimulai
67
Dan Pada Akhirnya
68
Pagi Yang Cerah Senyum Merekah
69
Pertemuan Wali Santri
70
Jangan Panggil, Ning!
71
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
72
Mencari Aminudin
73
Kekhawatiran Sumiatun
74
Menunggu Habiba
75
Penasaran
76
Tiga Mantra Kehidupan
77
Godril Dengan Tattonya
78
Sebuah Rencana
79
Al-insaanu Hayawaanun Naathiq
80
Siapa Yang Mengirim Mereka?
81
Tidak Pantas Dipanggil Gus!
82
Problema Kehidupan
83
Wejangan Nyai Sarah
84
Sobri VS Suko
85
Prastowo Turun Tangan
86
Siapa Warsito Itu?
87
Kelicikan Suko
88
Kepulangan Ari Godril
89
Kebetulan Yang Kebetulan
90
Selebar Daun Kelor
91
Melamar Habiba
92
Balas Budi
93
Meringkus Warsito
94
Satu Nama Baru
95
Sobri
96
Mantu Kurang Ajar
97
Nugroho Dan Kehidupannya
98
Pesan Prastowo
99
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
100
Pokok'e Seneng
101
Malam Di Teras Langgar
102
Kesedihan Habiba
103
Obrolan Jaman Edan
104
Belum Menikah Bicara Thalaq
105
Pulang!
106
Menjemput Habiba
107
Jadilah Purnamaku, Ning!
108
Adigang, Adigung, Adiguna
109
Gejolak Hati Sobri
110
Delapan Menit
111
Pembenci Pemberi Kebaikan
112
Semakin Dekat Semakin Kasar
113
Panggil saja, Umi...!
114
Mungkinkah Wali Mastur?
115
Hal Tatazawajani...!
116
Santri Itu Tosan Aji
117
Bainal-Tsaqaafah Wad-diin
118
Belajar Dari Lalat dan Lebah
119
Ilmu Ikhlas
120
Kesadaran Ajeng
121
Ular Ular
122
Hexa, Santri Baru
123
Ajeng
124
Qulal-haqo Walaw Kan-murona
125
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
126
Sa...bar...!
127
Targhib Atau Tarhib?
128
Masih Tentang Hexa
129
Bro Sobri...!
130
Al 'ulamaa' Warotsatul-Anbiyaa'
131
Pertemuan Dengan Arya
132
Wang Sinawang
133
Tahlilan
134
Tamu Spesial
135
Ini Penting Untuk Wanita
136
Nengahi
137
Sinau Macapat
138
Santri
139
Kredit? Riba?
140
Nduk...!
141
Terselip Dalam Kitab
142
Pertemuan Sobri Dan Gandung
143
Sahabat Sebenarnya
144
Obrolan Membosankan
145
Sak Bab Jum'atan
146
Kembalinya Nafisa
147
Mulut Untuk Telinga
148
Kenali Dunia
149
Mas...!
150
Melunaknya Ego
151
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
152
Kawal Sampai Halal
153
Wali Jami'
154
Sembrono
155
Obrolan Bapak Anak
156
Nafisa
157
Non Marital
158
Sambat
159
Agen Rahasia
160
Ta’addud Al-Jumat
161
Sisi Lain
162
Hobby
163
Kekhawatiran Itu
164
Ngwejang Manan
165
Satu Hal Tentang Kebencian
166
Kalimat Dalam Selembar Surat
167
Menunggu Kunjungan
168
Ilmu Mantik
169
Bu Dhe Satu Lagi
170
Kala Hujan
171
Insya Allah
172
Binniyat
173
Kalung Temurun
174
Uluwwul Himmah
175
!!!..Waraqat Istiraahah...!!!
176
Tamu Tamu Sukrono
177
Arya's Memories
178
Mulatsih
179
Bicara Mulatsih
180
Kakak Sekaligus Guru
181
Tasamuh
182
Bertemunya Ajimukti Mulatsih
183
Kenyang
184
Santri Singa
185
Atur Pangapura
186
Langkah Awal Budi
187
Semangkok Soto
188
Adab dan Ilmu
189
Terbiasa Tak Membiasakan
190
Ruang Kunjung
191
Rahasia Hati

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!