Sebuah panggilan masuk membuat ponsel Ajimukti berdering malam ini.
Ajimukti segera bangun dari tidurnya. Pun dengan Dullah.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam, Le. Gimana sudah sampai kamu?" Suara seorang wanita dari jauh seberang sana.
"Sudah, Bu. Alhamdulillah."
"Syukurlah, Le. Ibu lega. Kamu baik-baik disana. Ingat semua pesan Ibu."
"Iya, Bu. Aji akan ingat semua welingan ibu. Ibu tenang saja. Percayakan semua sama Aji, Bu.'
"Kamu ini, Le. Kalau sudah begini persis kayak bapakmu."
Disini Ajimukti hanya tersenyum.
Yang menelfon Ajimukti malam ini adalah ibunya. Kartika namanya. Usianya sudah sekitar enam puluh tahun lebih.
"Yasudah, Le. Ibu cuma mau tahu kamu sudah sampai apa belum itu saja. Yasudah ibu tutup dulu telfonnya. Kamu jangan begadang. Jaga kesehatan kamu disana."
"Iya, Bu."
Setelah itu Kartika segera menutup telfonnya. Sementara Ajimukti masih duduk di atas tempat tidurnya. Dullah menggeliat.
"Ibu ya, Mas?"
"Iya, Lek."
"Ada apa, Mas?"
"Cuma tanya kita sudah sampai apa belum saja, Lek."
Dullah tampak geleng kepala.
"Ibu memang selalu begitu, Lek. Selalu menganggap saya ini masih seperti saya yang masih suka digendongnya dulu meski sekarang saya sudah kepala dua lebih."
Dullah hanya tertawa kecil.
"Itulah seorang ibu, Mas. Mas Aji harus bersyukur karena masih diperhatikan ibunya. Sementara saya Mas, dari usia tiga belas tahun sudah ditinggalkan ibu saya bahkan sampai sekarang saya tidak pernah tahu kabar ibu saya bagaimana dan dimana. Masih hidup apa sudah meninggal. Yang bisa saya lakukan hanya mendoakannya saja, Mas."
Ajimukti tersenyum.
"Yang sabar, Lek. Seperti kata sampeyan, Lek. Do'a itu senjata paling ampuh bagi orang seperti kita."
Dullah hanya mengangguk. Membenarkan ucapan Ajimukti dan ingat betul kata-kata itu pernah ia lontarkan kepada Ajimukti saat Ajimukti menginjak remaja. Kini justru kalimat itu kembali kepadanya.
"Balik tidur lagi aja, Lek. Ingat tadi pesen Mas Masnya. Kalau tidak ikut jama'ah subuh bakal kena ta'zir dari para santri senior."
Dullah lagi terbahak mendengar ucapan Ajimukti.
"Kalau tidur malah takutnya keenakan saya nanti, Mas."
Ajimukti mengacungkan telunjuknya sembari tertawa.
Malam berlalu begitu cepatnya. Sorot sinar mentari pagi sudah sedikit menjilat beberapa sisi tembok Pondok Hidayah saat beberapa santri berhamburan keluar dari masjid.
Ajimukti diikuti Dullah berjalan dibelakang Budi si pemuda yang tadi juga mengumandangkan adzan juga iqomah.
"Mungkin Budi ini muadzin di masjid Pondok Hidayah." Batin Dullah tadi pagi ketika memasuki masjid untuk sholat subuh berjama'ah.
"Kalian sudah bisa baca Al Qur'an?" Tanya Budi tiba-tiba.
"Belum bisa, Mas. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Tanya saja. Lagipula tidak heran kalau tampang-tampang seperti kalian ini tidak bisa baca Al Qur'an. Di kampung saya banyak yang model seperti kalian ini. Sukanya keluyuran gak jelas."
Ajimukti hanya terdiam. Untuk kesekian kalinya Dullah hanya bisa menelan ludah mendengar ocehan Budi yang sejak pertama bertemu sudah memberi kesan mengejek.
"Berbeda dengan saya yang sejak kecil dididik orang tua dengan agama yang kuat. Jadi tidak heran kalau saya menjadi yang terbaik dalam bacaan Al Qur'an di pondok ini. Kalian lihat kan saya menjadi muadzin disini. Itu karena apa? Kalian tahu tidak?"
Ajimukti dan Dullah kompak menggeleng.
"Ya itu karena bacaan saya bagus juga suara saya paling bagus diantara santri lain. Begitu saja kalian tidak paham."
"Benar-benar sombong." Lagi-lagi Dullah hanya bisa membatin.
"Saya sebenarnya sedang tidak enak badan, tapi karena Kyai menyuruh saya mengajari kalian ya sudah saya nurut saja. Saya tidak ingin pandangan baik Kyai ke saya jadi berubah kalau saya menolak titah beliau."
Deg! Dullah menarik nafasnya dalam-dalam dan kembali menghembuskannya kuat-kuat.
Disebuah ruangan yang tidak terlalu luas.
Beberapa santri sedang sibuk mengaji. Suaranya yang saling bersautan hampir seperti sarang lebah.
Budi duduk bersila bersandar pada tembok di ujung ruangan. Setelah dipersilahkan duduk, Ajimukti dan Dullah pun ikut duduk menghadap ke Budi. Kini Ajimukti dan Dullah duduk berhadap-hadapan dengan Budi sebagai pengajar mereka.
Sebelum duduk Ajimukti sempat melirik ke sudut ruangan yang lain. Matanya tertuju pada Imam juga Khalil yang juga sepertinya sedang mengajar.
"Kalian mau mulai darimana?" Tanya Budi pada Ajimukti dan Dullah.
"Da..."
"Dari awal saja, Mas." Ajimukti memotong ucapan Dullah.
"Dari awal saja ya, Lek. Kan sudah lama kita belajar itu. Takutnya malah salah."
Dullah hanya mengangguk seolah paham maksud Ajimukti.
Budi hanya geleng kepala.
"Sebenarnya saya paling tidak sabaran kalau harus mengajar dari awal. Ya lagi-lagi karena perintah Kyai. Apa boleh buat. Saya tidak mau bertele-tele. Saya harap kalian perhatikan baik-baik karena saya tidak ada waktu untuk mengulang. Kalian mengerti?"
Ajimukti dan Dullah hanya mengangguk.
Budi memulai membuka buku Iqro' jilid pertama. Ditunjukannya huruf demi huruf. Dibacakannya. Lalu menyuruh Ajimukti juga Dullah mengulanginya.
Beberapa jam telah berlalu. Disudut yang lain Imam juga Khalil sepertinya sudah menutup kajian mereka. Untuk sesaat suasana ruangan hening tanpa dengungan yang seperti suara lebah bersaut-sautan.
"Baiklah hari ini kita cukupkan disini. Kalian hafalkan sendiri dikamar. Besok saya harap kalian sudah hafal dan bisa ke bab selanjutnya. Kalian paham?"
Ajimukti dan Dullah kompak mengangguk.
Imam dan Khalil terlihat berjalan mendekat kearah mereka.
"Gimana, Bud? Lancar?"
"Hah. Lancar apanya. Yang ada saya bosan. Kalau bukan karena dawuh Kyai. Ogah saya mengajar mereka. Benar-benar buta huruf mereka."
Dullah sebenarnya sudah geram. Tapi lagi-lagi tangannya ditahan oleh tangan Ajimukti. Sedikit gerakan mata Ajimukti sudah sangat bisa dipahami Dullah apa maksutnya.
"Yasudah kita kembali ke kamar saja." Ajak Imam pada Budi dan Khalil.
Mereka bertiga beranjak pergi meninggalkan Ajimukti dan Dullah.
"Lama-lama saya gedeg sendiri Mas sama mereka. Ingin rasanya saya hajar mereka."
"Tenang, Lek. Tujuan kita kesini kan bukan mereka. Soal mereka itu urusan kecil."
"Tapi lama-lama mereka kelewatan, Mas."
"Ya begitulah, Lek. Mungkin ini bagian dari ujian kita. Anggap saja begitu."
Dullah hanya diam. Kali ini dia memang sedang benar-benar diuji kesabarannya.
Ajimukti beranjak dari duduknya di ikuti Dullah. Berjalan santai keluar dari ruangan itu.
"Saya beli rokok sama kopi sebentar ya, Lek."
"Kemana, Mas. Memangnya Mas Aji tahu warung dekat sini? Sudah saya temani saja."
Ajimukti hanya tersenyum. Sebenarnya dia memang tidak begitu tahu daerah ini. Berbeda dengan Dullah. Maka ketika Dullah menawarkan diri untuk menemaninya, Ajimukti hanya mengiyakan dengan isyarat mimik wajahnya.
Tanpa harus mencari cari kesana kemari kini Ajimukti sudah berdiri didepan sebuah warung kecil. Ajimukti masuk kedalam warung memesan dua bungkus rokok juga beberapa sachet kopi instant.
"Dullah?"
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Dullah. Begitu juga dengan Ajimukti yang segera menoleh kearah sumber suara.
Dullah menatap si pemilik suara itu. Seorang laki-laki agak gempal dengan kulit hitam karena mungkin sering terbakar matahari. Dullah mencoba menjelajahi ingatan dimasa lalunya.
"Kamu Dullah kan? Anak buahnya Kang Salim?" Tanya lelaki itu.
Seketika Dullah menarik tangan laki-laki itu dan membuat laki-laki itu hampir tersungkur. Lalu Dullah menutup mulut laki-laki itu.
"Sssttt. Diam." Ucap Dullah lalu melepas tangan yang menutupi mulut laki-laki itu.
"Iya saya Dullah. Kamu Prastowo kan?"
Lelaki bernama Prastowo itu seketika memeluk Dullah sampai-sampai Dullah kewalahan untuk melepaskan diri.
"Dullah. Dullah."
"Sudah Pras. Kamu ini." Dullah berusaha melepas pelukan Prastowo. Meski akhirnya Prastowo segera melepas pelukannya.
"Kamu apa kabar, Dul?"
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kamu lihat, Dul. Masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu. Kamu sendiri sejak ikut Kang Salim dan ditugaskan untuk menjaga Kartika tidak pernah lagi kelihatan disini. Kenapa ini tiba-tiba kesini, Dul. Justru setelah Kang Salim meninggal."
Dullah melihat kanan kiri. Matanya tak henti-hentinya berkeliaran kesana kemari. Ajimukti saat ini hanya diam.
"Sudah ceritanya nanti saja, Pras. Sekarang kamu tinggal dimana?"
"Rumah saya tidak jauh, Dul. Itu kelihatan dari sini." Sambil tangannya menunjuk sebuah rumah tak jauh dari warung tempat mereka berdiri saat ini.
"Kita ngobrol dirumahmu. Apa kamu tidak keberatan?" Tanya Dullah kemudian.
Prastowo tergelak. Suaranya sama seperti ketika Dullah mengenalnya dulu.
"Kebetulan istriku baru memasak air. Sepertinya cukup untuk kita ngopi seperti dulu. Apalagi tadi pagi istriku membuat pisang goreng tidak mungkin untuk saya habiskan sendiri."
Dullah tertawa. "Yasudah kita lanjutkan obrolannya dirumah kamu saja, Pras."
Prastowo berjalan diikuti Dullah juga Ajimukti.
Hanya butuh beberapa langkah kecil untuk bisa sampai dirumah Prastowo. Ketika tiba-tiba Prastowo membawa tamu asing, istri Prastowo hanya sedikit keheranan karena tidak biasanya Prastowo kedatangan tamu asing.
"Tidak usah heran, Bu. Ini Dullah teman lama bapak. Ini dulu juga sama seperti bapak sebelum akhirnya dia ini bertemu dengan Kang Salim."
Istri Prastowo hanya mengangguk lalu melempar senyum kearah Dullah dan Ajimukti.
"Duduk, Dul." Prastowo mempersilahkan Dullah juga Ajimukti untuk duduk di kursi kayu diruang tamu Prastowo. Lalu memberi aba-aba istrinya untuk membuatkan kopi.
"Ngomong-ngomong apa ini anakmu, Dul?" Prastowo melirik kearah Ajimukti.
Dullah hanya tersenyum lalu sedikit mendekat dan berbisik ke telinga Prastowo. Seketika raut wajah Prastowo berubah dan buru-buru menyalami Ajimukti.
"Panggil saya Pak lek, Mas. Sama seperti sampeyan memanggil Dullah."
"Iya, Lek."
Istri Prastowo keluar membawa nampan berisi tiga cangkir kopi dan juga sepiring pisang goreng hangat. Prastowo segera mempersilahkan tamu-tamunya untuk mencoba suguhan alakadarnya itu.
"Sambil kita ngopi, Dul. Coba jelaskan ada keperluan apa sampai kamu juga Mas Aji jauh-jauh menyambangi Pondok Hidayah?"
Dullah menarik nafas panjang. "Alangkah lebih baik biarkan Mas Aji yang menjelaskan, Pras."
Ajimukti tersenyum tipis lalu mengubah posisi duduknya, kemudian memulai ceritanya. Sepanjang cerita raut wajah Prastowo berubah-ubah. Kadang terlihat sangat marah. Kadang terlihat kaget. Bahkan tak jarang raut kesedihan yang amat dalam terpancar di wajahnya.
"Begitulah, Lek. Saya mohon bantuannya. Bila Pak Lek Prastowo bisa membantu saya."
Prastowo menarik nafas panjang. Lalu berdiri dari duduknya. Menyalakan sebatang rokok kretek yang diselipkannya dalam pipa panjang terbuat dari kayu melati.
"Saya selalu berdo'a sepanjang malam. Saya berdo'a semoga yang meninggal waktu itu bukan Kang Salim. Tapi saya sadar takdir Allah tidak mungkin dilungkiri. Nyatanya Kang Salim memang sudah tiada. Lalu saya mengganti lafadz do'a saya. Saya berharap akan ada yang seperti Kang Salim terlahir lagi. Paling tidak sepaham dengannya. Dan Alhamdulillah, mungkin inilah jawaban atas do'a do'a saya selama ini."
"Dul, kamu ingat berpuluh puluh tahun yang lalu ketika saya datang ke hadapan Kang Salim? Kamu ingat apa yang saya ucapkan waktu itu?"
Dullah mengangguk dengan dibarengi senyum tipisnya.
"Dan kamu lihat, Dul. Saya masih hidup sampai sekarang. Saya masih kuat sampai sekarang meski tidak sekuat dulu. Saya masih sehat sampai sekarang meski tidak sebugar dulu. Tapi yang pasti, Dul. Janji saya tidak pernah berubah sejak dulu. Janji yang sudah saya tanamkan sebagai bagian dalam hidup saya. Janji yang hanya akan diakhiri dengan kematian saya. Dan sekarang saya masih hidup, Dul. Janji itu akan tetap berlaku. Dan kamu tahu apa artinya itu, Dul?"
Prastowo kembali duduk dengan kedua tangannya menumpu pada lututnya. Membuat kedua ketiaknya terbuka lebar.
Dullah sekali lagi mengangguk dengan sebuah senyum kepuasan.
"Saya dan seluruh do'a do'a saya akan bersama sampeyan Mas Aji. Pegang kata-kata saya ini sebagaimana saya pernah berjanji pada Kang Salim."
Ajimukti tersenyum lalu meraih tangan Prastowo ketika Ajimukti hendak mencium tangannya, Prastowo secepat kilat menarik tangannya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Fatkhur Kevin
siapa ajimukti
2023-09-18
0
Daliffa
nyimak 🙏
2022-04-21
0
Hergozin Cristina
siapa sebenarnya aj
2022-03-30
0