Dullah kebingungan ketika dirinya terjaga, didapatinya Ajimukti tidak berada dikamar. Dengan masih setengah sadar Dullah berjalan keluar kamar. Ajimukti tidak terlihat sedang berada keluar kamar.
"Mungkin sedang bersama Manan di halaman masjid." Batin Dullah mengingat waktu itu Ajimukti pernah bersama Manan menghabiskan waktu dihalaman masjid sampai akhirnya bertemu dengan beberapa Gus Gus pengajar disini.
Dengan gontai Dullah melangkah kekamar mandi. Mencuci mukanya. Dan bergegas mencari Ajimukti ke halaman masjid.
Disepanjang lorong depan kamar kamar santri, Dullah menyaksikan beberapa santri sedang bergerombol. Samar samar, Dullah mendengar riuh para santri membicarakan sesuatu. Langkahnya diperlambat bukan untuk nguping tapi sekedar untuk tahu apa yang mereka mereka bicarakan hingga terkesan heboh.
"Sudah cantik, anggun, pinter anak Kyai ternama. Uhhh, perfect lah pokoknya." Seru salah seorang santri. Dullah sedikit paham ternyata mereka sedang membicarakan perempuan.
"Iya. Beruntung sekali ya nanti lelaki yang bisa dapetin dia." Sahut santri yang lain.
"Andai saja saya bisa deketin dia." Salah seorang santri terlihat mengkhayal.
"Ngimpi kamu." Sahut temannya.
"Kalau kamu bisa deketin dia, saya juga mau bersaing sama kamu." Potong yang lain.
"Saya juga berani bersaing." Sahut yang lain.
"Apalagi saya." Mereka saling bersautan.
Dullah sedikit mengerutkan kening.
Disisi yang lain pun tak kalah heboh.
"Tadi saya nggak sengaja papasan sama dia. Uhhh, bau parfum nya. Bikin klepek klepek." Celoteh salah seorang santri.
"Iya bener. Pas dia jalan. Beh, langkahnya anggun bener." Sahut temannya.
"Coba kalau dia disini terus. Bisa semangat kita ya." Sahut yang lain.
"Rasanya kalau sudah papasan dia itu seperti melayang layang rasanya."
"Iya saya juga merasakan gitu."
Mereka terus membicarakan hal yang sama. Dullah sedikit penasaran sebenarnya siapa yang mereka bicarakan sampai sampai seheboh itu.
Dihalaman masjid pandangan Dullah terus berkeliling mencari Ajimukti. Tidak terlihat Ajimukti disana di sejauh pandangan Dullah. Dullah hanya melihat beberapa gerombolan santri di pelataran masjid juga di beberapa bangku di bawah pohon pohon besar dihalaman masjid. Sepertinya mereka sama hebohnya dengan para santri di dalam pondok.
Dullah menghampiri salah satu gerombolan santri. Hanya ada beberapa orang. Mereka tidak terlalu asing bagi Dullah karena Dullah setiap kajian di aula sering bertemu mereka.
"Maaf apa mas mas ini tahu Ajimukti?"
Salah satu santri itu terlihat mengerutkan kening.
"Oh, Ajimukti yang santri baru itu ya?" Tanyanya balik.
"Benar, Mas. Apa masnya tahu?" Tanya Dullah sekali lagi.
"Tidak itu." Sahut si santri tadi.
"Loh, bukannya kamu pamannya dia ya?" Sahut yang lain.
"Kok bisa bisanya tanya sama kami." Imbuh yang lain.
Sontak mereka tertawa menertawakan Dullah. Dullah menelan ludah.
"Yasudah kalau tidak tahu. Maaf mengganggu waktunya." Dullah mengakhirinya lalu kembali melangkah mencari Ajimukti.
"Bisa jadi dia kabur karena nggak kuat disini." Celetuk salah seorang santri ketika Dullah baru saja akan meninggalkan mereka.
Dullah tertahan. Ia menarik nafas kuat kuat. Tangannya sedikit mengepal lalu memutar kembali badannya. Untuk beberapa saat pandangan Dullah tertuju ke sekumpulan santri santri itu. Matanya tajam menatap menyiratkan sebuah emosi yang sudah tidak bisa ditahannya kali ini. Rasa muak dan ekspresi kemarahan terpancar dari raut wajahnya.
Santri santri itu pun untuk beberapa detik menatap Dullah. Kini Dullah dan beberapa santri itu beradu tatap. Awalnya tatalan para santri itu terlihat mengejek tapi semakin ditatap mereka tubuh seolah bergetar dengan sendirinya. Lutut mereka seakan lemas, jantung mereka berdetak dengan cepat karena tatapan Dullah.
Mereka seolah melihat sesuatu dalam tatapan itu. Sebuah keganasan yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Kini mulut mulut yang terkatup rapat dari wajah wajah pucat terlihat jelas oleh Dullah. Keringat dingin mengucur begitu saja dari kening para santri itu. Mereka telah masuk kedalam ketakutan yang sangat dalam, dalam tatapan Dullah.
Dullah kembali memutar badannya melanjutkan langkah dan kini benar benar berlalu dari hadapan mereka tanpa lagi terdengar celotehan mereka yang sepersekian detik membuat kuping Dullah seperti terbakar.
Kini Dullah kembali menuju ke halaman pondok. Mungkin saja Ajimukti sudah kembali kedalam kamarnya, batinnya. Para santri yang tadi dilewatinya samar samar masih terdengar celotehannya. Yang dibahas mereka masih sama. Tentang seorang perempuan.
"Dasar anak muda." Gumam Dullah dan terus melangkah.
Kali ini Dullah tidak lagi penasaran. Yang ada dipikirannya hanya mencari Ajimukti. Dullah tidak takut terjadi apa apa pada Ajimukti, dia paham sekali bagaimana Ajimukti. Yang menjadi pikiran Dullah justru jika sampai Ajimukti keluar dari pondok. Dullah takut jika Ajimukti kesasar. Karena bagaimana pun ini untuk kali pertamanya Ajimukti ke kota ini.
"Cari siapa, Lek Dul. Sepertinya sedang kebingungan."
Dullah menoleh. Ada Manan turun dari tangga.
"Sampeyan lihat Mas Aji?" Tanya Dullah kemudian.
Manan hanya mengangguk.
"Dimana?" Tanya Dullah lagi.
Manan hanya menunjuk atas. Dullah mengerutkan kening tidak tahu maksud Manan.
"Maksutnya?" Tanya Dullah tidak ingin berbasa basi.
"Dia lagi diatas, Lek Dul. Di lantai tiga." Jawab Manan kemudian.
Dullah kaget. Sejenak melongo.
"Kok bisa Mas Aji ke atas? Apa ada masalah?" Lagi lagi Dullah memberondong pertanyaan.
"Tenang saja, Lek Dul. Ajik sedang dipanggil Gus Faruq. Mereka lagi ngobrol saja."
Dullah kembali mengerutkan kening.
"Dipanggil Gus Faruq? Ada perlu apa Gus Faruq sama Mas Aji?" Batin Dullah. Tapi Dullah tidak ingin menanyakannya pada Manan. Alangkah lebih baiknya ia bertanya langsung nanti pada Ajimukti, begitu pikirnya.
Dullah bernafas lega. Setidaknya Ajimukti masih dilingkup pondok. Apapun yang terjadi Dullah yakin Ajimukti bisa mengatasi itu sendiri.
"Yasudah. Terima kasih informasinya. Saya kembali ke kamar." Dullah undur diri dari hadapan Manan. Manan hanya mengangguk.
Dullah kembali berjalan menyusuri lorong depan kamar para santri. Manan berlawanan arah terlihat berjalan kearah samping Pondok Hidayah. Disana Manan berpapasan dengan seseorang.
"Assalamu'alaikum, Kang." Ucap salam orang itu.
"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh." Jawab Manan dengan pandangan tanpa berdekip. Manan nampak kaget melihat sosok didepannya itu.
"Mau kemana, Kang?" Tanya orang itu kemudian.
"Mau ke ndalem." Sahut Manan sambil menunjuk ke arah depan. "Sampeyan kapan pulang?" Tanya Manan sejurus kemudian.
"Tadi pagi, Kang." Sahut orang itu singkat dengan wajah tertunduk.
"Sendiri atau ada yang jemput?" Tanya Manan lagi.
"Semalem di jemput Mas Faruq." Jawabnya singkat.
"Oh." Manan pun hanya menjawab singkat dan menganggukkan kepalanya.
"Terus ini, sampeyan sendiri mau kemana?" Tanya Manan kemudian.
"Emmmm. Mau kedepan sebentar."
Manan lagi lagi hanya mengangguk.
"Yasudah kalau begitu. Monggo dilanjut." Ucap Manan dibarengi isyarat jempol kanannya.
"Yasudah, saya duluan ya, Kang." Ucap orang itu lalu melangkah dengan sedikit tertunduk melewati Manan.
Manan sejenak memandang orang itu, lalu entah kenapa ia menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah ke arah ndalem Kyai Aminudin.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Fatkhur Kevin
tatapan pertama ajik dg jodoh nya
2023-09-18
0
Tirta Kamandanu
sip
2022-04-06
1
yamink oi
👍👍👍
2022-01-05
2