"Ini untuk kamu semua, Nak Salim."
Malam itu, selepas sholat isya', Salim dibuat tercengang dengan pernyataan Zaini. Sebuah map besar berisi beberapa lembar surat-surat penting disodorkan Zaini ke hadapannya.
"I... ini apa, Pak?"
"Semua yang bapak miliki."
"Tapi ini bukan hak saya, Pak."
"Lalu hak siapa, Nak? Satriyo?"
Salim terdiam. Dia tidak berani berkata apa-apa saat ini.
"Bukan karena Satriyo sudah meninggal lalu bapak menyerahkan ini padamu sebagai ganti Satriyo. Bukan, Nak."
Salim mengerutkan keningnya. Dia benar-benar tidak paham maksud ucapan Zaini kali ini.
"Jika kamu bicara hak, maka bapak menyerahkan apa yang menjadi hak kamu. Bapak menyerahkan hak pada yang berhak. Dan tugas bapak sudah selesai."
"Maksud bapak?" Salim mencoba mendalami maksud ucapan Zaini terhadapnya.
Zaini tersenyum tipis.
"Kamu ingat kan bapakmu dan bapak itu siapa?"
Salim mengangguk. Salim ingat betul bagaimana bapaknya sering kali menceritakan tentang persahabatannya dengan Zaini sejak mereka masih nyantri di Jombang dan ikut tentara pelajar kala itu. Bagaimana mereka berdua ikut ambil bagian dalam memerdekakan negara ini.
Persahabatan bapaknya dan Zaini tak ubahnya persahabatannya dengan Satriyo. Lebih dari itu bahkan. Banyak kisah heroik mereka berdua yang sering kali diceritakan ke Salim.
"Semua yang bapak miliki ini milik bapakmu, Nak. Semua hasil jerih payah bapakmu. Hanya saja keluarga dari ibumu, terutama kakek mu, memang tidak pernah mau menerima sepeserpun hasil jerih payah bapakmu. Oleh sebab itu, bapakmu menitipkan semua yang ia punya pada bapak untuk kelak bapak serahkan kepadamu."
Salim tercengang. Tanpa ia sadari air matanya sedikit demi sedikit mulai membasahi kelopak matanya.
"Disana ada tulisan bapakmu untukmu." Zaini menunjuk map di atas meja.
Salim segera membuka map itu mencari surat peninggalan bapaknya. Lembar demi lembar Salim buka hingga akhirnya menemukan sebuah amplop yang sudah sangat lusuh. Disana tertulis "untuk putraku".
Salim segera membuka isi amplop itu. Hanya ada secarik kertas yang sama lusuhnya dengan amplopnya. Disana ada tulisan yang sangat rapi. Salim hafal betul tulisan tangan bapaknya itu.
"Sugihing bondho lamun siro tibo titi wancine sedo tan keno ginowo. Lamun sugihing pakerti senajan sukmo lan rogo wus ora nyawiji, nanging bakal dadi pepadanging laku pinuju marang Gusti kang siji. ( Kekayaan harta jika kamu telah tiba pada ajalmu tidak bisa dibawa. Jika kekayaan ilmu walaupun sukma dan raga sudah tidak jadi satu, tapi akan menjadi penerang jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa)". Begitu isi surat di dalam amplop itu. Salim paham betul maksud dari bapaknya menulis surat untuknya seperti itu.
Salim kembali melipat surat itu dan kembali memasukkannya kedalam amplop. Mengembalikannya lagi kedalam map bersama surat surat yang Salim pun tidak tahu surat apa saja didalam map besar itu.
"Sekarang kamu sudah paham kan?" Tanya Zaini pada Salim kemudian.
Salim mengangguk pelan.
"Baiklah. Untuk selanjutnya bapak serahkan kepadamu sebagai yang berhak atas semua ini, Nak Salim."
"Tapi, Pak. Apa saya pantas?"
"Beri bapak sedikit penjelasan tentang apa itu pantas, Nak!"
Salim hanya tertunduk diam.
"Nak Salim tahu? Allah memberi godaan kepada mereka yang alim. Apa menurut Nak Salim itu tidak pantas? Allah memberi cobaan kepada mereka yang sudah dalam kesusahan. Apa itu juga tidak pantas? Tidak ada yang tidak pantas ketika Allah sudah berkehendak, Nak."
Salim tidak dapat berkata apa-apa untuk saat ini. Dia hanya tertunduk mendengar semua ucapan Zaini. Bagi Salim, Zaini adalah pengganti sosok ayahnya sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu.
"Sebagai hamba kita jangan sampai lupa Allah punya Kun Fayakun, Nak Salim. Wujuto nuli ono."
"Bantu saya, Pak. Untuk mewujudkan cita-cita bapak saya itu."
Zaini menepuk pundak Salim.
"Sudah pasti, Nak."
Salim tersenyum lalu meraih tangan Zaini. Berulang kali.
"Sudah. Sekarang kamu simpan semua berkas ini."
Salim merapikan map itu lagi lalu membawanya ke dalam kamar. Dalam benak Salim tidak pernah terbayangkan bapaknya memiliki peninggalan seluar biasa seperti ini.
"Kebanggaan apa lagi ini, Pak? Rasanya hanya bangga memiliki bapak seperti bapak tidak cukup bagi saya. Karena nyatanya lebih dari sekedar bangga, Pak. Lebih dari itu. Terima kasih, Pak. Untuk semua kebanggan karena memiliki bapak seperti bapak."
Mata Salim sekali lagi mulai lembab. Bulir-bulir halus mulai menggenangi kedua kelopak matanya. Bahkan kini perlahan mengalir di kedua pipinya. Salim tertunduk, membiarkan butiran bening itu jatuh di tempat tidurnya.
Semalaman Salim tidak bisa sedikit pun memejamkan matanya. Dadanya serasa sesak. Pikirannya jauh terbang menembus langit langit kamarnya.
Pagi pagi sekali Salim sudah berpamitan pada Zaini untuk keluar sebentar. Tanpa Salim berkata apapun, Zaini tahu tujuan Salim. Ya, Salim pasti ingin mencari tahu tentang siapa yang melaporkan pada pihak kepolisian tentang kematian Satriyo.
Salim menemui Prastowo yang sedang sibuk memberi makan ayam-ayamnya. Melihat kedatangan Salim, Prastowo segera beranjak dari kesibukannya dan segera menghampiri Salim.
"Kang Salim pasti sudah tahu tentang kondisi terminal saat ini?"
"Itulah kenapa saya menemuimu, Pras. Apa kamu pasti tahu sesuatu?"
"Iya, Kang. Seperginya sampeyan dari rumah Pak Zaini waktu itu, teman-teman mencariku. Mereka mengira Kang Salim masih disana?"
"Siapa saja mereka, Pras?"
"Tanpa terkecuali, Kang."
"Baron, Tikno, Griwo, Suko, Galih, Benowo, Joko, Dasman, Sipur, Anggoro. Semua memaksa saya untuk ikut ke kantor. Disana mereka melaporkan semua yang terjadi pagi itu. Juga sebab kejadian itu."
Salim geleng kepala.
"Mereka ingin menyudahi semua ini, seperti harapanmu, Kang. Seperti saya sendiri pun, Kang. Rasanya berat kalau hanya sekedar membiarkan mereka mendekam di penjara. Rasanya saya ingin menebas leher mereka satu persatu demi membalaskan dendam kematian Satriyo."
Salim menyentuh punggung tangan Prastowo. "Ingat yang saya ucapkan sebelum saya berangkat ke Jogja waktu itu, Pras. Ingat pesan Pak Zaini. Dendam tidak akan menyelesaikan semua."
"Sejujurnya saya dan teman-teman juga tidak mengira. Seorang Kang Salim bisa selunak ini sekarang"
Salim tertawa. "Saya sudah tidak muda lagi, Pras. Itu saja alasannya."
Prastowo terdiam menatap Salim.
"Antarkan aku menemui mereka, Pras."
"Maafkan saya, Kang. Sebagian dari mereka sudah banyak yang sekarang merantau. Griwo, Sipur, Benowo sekarang bekerja di kalimantan di kelapa sawit. Baru sebulan lalu mereka bertiga berangkat."
Salim mengangguk. "Syukurlah, Pras kalau begitu. Lalu yang lain?"
"Baron bersama Suko yang saya dengar mereka ke surabaya. Tikno, Joko sama Galih mereka bertiga yang saya dengar juga sudah berjualan tapi dimana saya kurang tahu, Kang. Nanti kita bisa tanyakan sama Dasman. Sementara ini, Dasman masih belum ada pekerjaan. Anggoro juga, Kang."
Salim mengangguk. "Yasudah, nanti kita coba temui mereka, Pras."
"Baik, Kang. Yasudah Kang Salim masuk dulu saja, saya buatkan kopi dulu."
Salim mengikuti langkah Prastowo menuju teras rumahnya. Disana ada batang kayu yang dibuat menjadi kursi. Juga meja yang sama terbuat dari batang kayu sengon yang besar.
Menjelang siang Salim dan Prastowo sudah berada di sebuah rumah berdinding anyaman bambu. Seorang lelaki seumuran Prastowo keluar dari ruangan yang hanya ditutup dengan gordin batik yang mulai lusuh, membawa nampan berisi tiga gelas kopi yang kelihatannya masih panas.
"Tidak perlu repot-repot, Man." Ucap Salim kemudian.
"Ah, tidak, Kang. Hanya kopi."
Tak lama kemudian terdengar suara motor yang sudah sangat tua berhenti di halaman rumah itu. Seseorang yang juga seusia Prastowo turun dari motor itu.
"Kang Salim." Teriak orang itu begitu turun dari motornya. Berjalan tergesa dan segera menyalami Salim, Prastowo juga Dasman, si tuan rumah.
"Anggoro, bagaimana kabar kamu?"
"Seperti yang Kang Salim lihat. Saya masih seperti biasa, Kang. Hanya saja sampai saat ini saya belum mendapat pekerjaan. Sama seperti Kang Dasman."
Salim tersenyum. Lalu menyalakan sebatang rokok kretek yang sejak tadi sudah di pilin pilinnya.
Dasman berjalan ke belakang, tak lama dia keluar lagi membawa segelas kopi untuk Anggoro.
"Kiranya ada perlu apa Kang Salim mengajak kita semua berkumpul disini?" Tanya Anggoro kemudian setelah Dasman kembali duduk.
"Apa soal Satriyo, Kang?" Imbuh Dasman.
Salim tersenyum lalu menghisap rokoknya. Asap mengepul tebal dihadapannya.
"Tadi Prastowo sudah menceritakan banyak soal itu dan saya bisa memahami itu, semua tindakan kalian, entah siapa yang memiliki ide itu."
Seketika Anggoro tertunduk. Salim menyadari perubahan sikap Anggoro.
"Kenapa, Ro?" Tanya Salim kemudian.
"Maafkan saya, Kang. Semua memang saya yang menggerakkan teman-teman. Saya takut, Kang. Takut selepas Kang Salim pergi, mereka akan kembali menyerang kami satu persatu."
Salim tersenyum. "Saya justru berterima kasih padamu, Ro. Satriyo pasti sudah tenang disana dan bangga memiliki saudara-saudara seperti kalian. Rasa solidaritas yang tidak pernah tergantikan oleh apapun."
"Seperti kata sampeyan, Kang. Kita ini saudara. Sudah seharusnya kami berbuat sesuatu untuk saudar kami." imbuh Dasman.
"Dan bukankah solidaritas adalah senjata kita selama ini, Kang. Sudah sepantasnya kita kokang terus senjata itu kan, Kang?" imbuh Prastowo yang sedari tadi diam.
Salim lagi-lagi hanya tersenyum lalu meraih gelas kopinya di ikuti yang lain.
"Saya ingin lebih mendekatkan diri pada Illahi." Ucapan Salim yang tiba-tiba itu seketika membuat teman-temannya tersentak.
Anggoro memajukan badannya. "Maksud Kang Salim?" tanyanya kemudian.
Salim lagi-lagi hanya tersenyum.
"Kang Salim ingin taubat?" tanya Dasman menegaskan lagi ucapan Salim barusan.
"Saya sudah cukup menyusahkan orang-orang disekeliling saya. Saudara, kerabat, teman, termasuk istri saya. Saya pikir sudah saatnya ada perubahan dalam diri saya."
Anggoro, Dasman juga Prastowo hanya tertunduk. Jauh dalam lubuk hati mereka pun sebenarnya ingin berhenti dari semua yang selama ini mereka lakukan.
"Saya ingin melanjutkan ngangsu ilmu saya yang berpuluh puluh tahun ini tidak lagi saya jamah."
Semua menatap Salim. Mereka tahu seperti apa Salim dulunya.
Sebelum turun ke jalan dan menjadi preman yang sangat ditakuti. Salim dan Satriyo adalah seorang santri di desa sebelah. Tapi karena sifat mereka yang keras, suka main pukul dan sering membuat keributan. Pengasuh pondok kewalahan dan akhirnya memulangkan mereka. Melanjutkan disekolah umum membuat Salim dan Satriyo semakin menjadi. Hampir setiap harinya mereka membuat keributan entah dengan teman satu sekolahnya atau bahkan pada siswa sekolah lain.
"Siapa diantara kalian yang ingin ikut saya?"
Sejenak semua diam. Hening. Hanya nafas-nafas mereka yang saling beradu.
"Saya ikut sampeyan, Kang. Saya juga sudah lelah menjadi saya yang seperti ini." Ucap Prastowo kemudian.
"Saya akan ikut, Kang." Anggoro menyusul kemudian. Begitu juga dengan Dasman.
Salim tersenyum. Ternyata memang sudah saatnya mereka berubah. Berubah menjadi manusia yang di akui kemanusiaaannya okeh manusia yang lain. Bukan dikenal karena tercemar, tapi dikenal karena budi luhur yang mereka sebar.
Sejak saat itu mereka adalah empat sekawan yang mencari jalan kebenaran. Tanpa peduli siapa mereka dulunya. Tanpa peduli kata orang-orang disekitar mereka.
Berbekal pesan-pesan Zaini. Salim pun sudah melanglang dari satu Kyai ke Kyai yang lainnya disekitar Jawa dan Bali. Anggoro dan Prastowo belajar mengaji pada Zaini sendiri, karena mereka tidak bisa meninggalkan desa. Banyak tanggungan yang tidak bisa mereka tinggalkan. Dasman sendiri lebih memilih belajar sedikit demi sedikit dengan aktif di kajian rutin di desanya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
yamink oi
mantapp lurr
2022-01-05
0
Adiwaluyo
mantap 👍👍👍
2021-12-17
0
Nikodemus Yudho Sulistyo
enak banget bahasanya. filosofinya jg dapat.
Pendekar Topeng Seribu (silat/fiksi sejarah nusantara) kembali mampir. semangat berkarya.
2021-11-29
1