Dua puluh tujuh tahun silam.
Disebuah terminal kecil pinggiran kota.
Perkelahian sengit antar penguasa jalanan pecah di pagi buta. Suara teriakan, makian, jeritan juga kaca-kaca pecah membuat terdengar begitu riuh beradu. Memecah suasana pagi yang harusnya dingin menjadi begitu terasa sesak.
Seorang pemuda tersungkur diantara tanah yang kering. Darah segar keluar dari sebagian wajahnya. Tubuhnya terlihat kekar dengan beberapa tatto di punggungnya. Nafasnya tersenggal senggal. Tanpa ada yang peduli, semua masih sibuk dengan baku hantamnya jauh di depan sana. Kecuali dua orang remaja yang sama kekarnya. Dengan tergopoh gopoh diantara kerumunan massa, dia menyusup mendekati pemuda yang tersungkur itu.
"Prastowo, kita harus segera bawa Satriyo pergi dari sini." Kata seorang pemuda berambut gondrong kepada rekannya yang bertubuh gempal.
"Tapi, Kang. Kalau kita pergi kita akan kalah. Kemenangan ini bergantung padamu."
Si pemuda gondrong meraih krah baju temannya yang bertubuh gempal.
"Kamu mau Satriyo mati? Hah? Sepenting apa kekuasaan dari nyawa sahabat kita sendiri?"
Si pemuda gempal bernama Prastowo hanya diam. Dia tahu bagaimana lawan bicaranya saat ini. Dia tahu bagaimana jika temannya ini sudah marah.
"Baik, Kang. Saya akan bopong Satriyo."
"Tidak usah. Kamu carikan jalan saja."
Pemuda gondrong itu bernama Salim. Dia paling disegani diantara rekan-rekannya yang lain.
Salim segera mengangkat tubuh Satriyo yang sudah berlumuran darah. Prastowo segera berlari mencarikan jalan.
Mereka terus berlari tanpa memperdulikan kerumunan massa. Berlari menjauh dari hiruk pikuk baku hantam yang sedang terjadi.
Prastowo dan Salim berhenti di pinggiran jalan cukup jauh dari kerumunan massa yang sedang ricuh berkelahi.
"Kamu tunggu Satriyo saya akan cari bantuan. Kita harus segera membawa Satriyo ke rumah sakit."
"Baik, Kang."
Salim bergegas ke tepi jalan. Begitu ada mobil mendekat diberhentikannya segera. Bahkan tak segan Salim menonjok si sopir karena beralasan sedang buru-buru mengambil dagangan. Mau tidak mau si sopir pun menuruti kemauan Salim. Bagaimanapun juga Salim cukup terkenal dan dikenal sangat kejam. Raja Tega.
Prastowo segera mengangkat Satriyo membawanya kedalam mobil bak terbuka yang sudah dengan susah payah diberhentikan paksa oleh Salim.
Sepanjang perjalanan Salim menggumam tak jelas berharap Satriyo bisa diselamatkan. Sementara Prastowo hanya diam tanpa sepatah kata pun. Dia tidak ingin kena damprat Salim.
Rumah sakit memang tidak jauh dari terminal tempat mereka baku hantam tadi. Salim segera berlari. Menghampiri salah seorang petugas. Dengan gusar Salim memaksa petugas bergerak cepat.
Satriyo sudah ditangani dokter. Salim menunggu diluar dengan gelisah. Dia mondar mandir tak karuan. Prastowo tak berani menegurnya. Dibiarkannya saja begitu.
Dokter keluar. Salim segera bergegas menemui dokter itu.
"Bagaimana, Dok. Teman saya baik-baik saja kan?"
"Mas yang sabar ya. Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi Tuhan berkehendak lain."
Belum selesai dokter itu berbicara Salim sudah terjatuh lemas. Dia tahu apa yang akan dikatakan dokter itu. Dokter itu mencoba menenangkannya sebelum akhirnya pun pergi.
Salim masih terduduk. Tangannya mengepal, memukul lantai keramik dengan sangat keras bahkan membuat Prastowo terperanjat. Prastowo dalam kebingungan. Apa yang harus dia lakukan.
"Aku gagal, Pras. Aku gagal menyelamatkan bahkan satu saja nyawa sahabatku."
Prastowo kini memberanikan diri mendekati Salim. Diraihnya bahu Salim. Diajaknya berdiri. Untuk pertama kalinya Prastowo melihat Salim seperti ini, bahkan sampai meneteskan air mata.
Prastowo begitu tahu sedekat apa Salim dan Satriyo. Prastowo begitu paham bagaimana perjalanan Salim dan Satriyo di jalanan. Kini Salim kehilangan Satriyo, pantaslah jika Salim sangat terpukul.
Jam delapan pagi mobil jenazah tiba disebuah rumah yang cukup besar. Seorang lelaki tua keluar dari dalam rumah itu.
Salim terlebih dulu menghampiri lelaki tua itu dan jatuh tertunduk di kaki lelaki tua itu.
"Sudahlah, Nak. Bapak sudah tahu bahwa ini akan terjadi."
Lelaki tua itu meraih pundak Salim kemudian mengajaknya berdiri. Salim memandang dalam mata lelaki itu. Tidak sekalipun tampak rasa kesedihan dimatanya. Justru ketenangan yang luar biasa yang terpancar dari bola mata lelaki tua itu. Dan yang Salim tidak habis pikir, dari mana bapaknya Satriyo tahu ini?
Jenazah Satriyo sudah selesai dikebumikan. Salim berjalan gontai keluar dari area pemakaman diikuti Prastowo dan beberapa rekan yang lain dibelakangnya.
"Nak Salim."
Tiba-tiba suara serak memanggil Salim. Membuat Salim menghentikan langkahnya dan berbalik arah.
"Satriyo baru saja dimakamkan. Untuk beberapa hari tinggalah di rumah bapak."
Salim kembali memandang mata lelaki tua itu. Masih penuh ketenangan yang terpancar dikedua bola mata lelaki tua itu.
"Baik, Pak. Jika itu bisa menebus rasa bersalah saya."
Lelaki itu hanya tersenyum tipis lalu merangkul pundak Salim dan diajaknya berjalan meninggalkan area pemakaman. Sesekali Salim masih menoleh kebelakang, memandang gundukan tanah merah dibelakangnya hingga benar-benar tidak lagi terlihat.
Siang itu di rumah Zaini, lelaki tua bapaknya Satriyo.
Salim duduk menyendiri di teras rumah. Dia ingat betul dulu setiap kesini selalu ngopi bareng bersama Satriyo di teras ini. Salim menyalakan rokoknya, menariknya dalam-dalam. Lalu menghembuskannya kuat-kuat. Kini teras itu penuh dengan kepulan asap rokok dari mulutnya.
Prastowo sudah pulang bersama rekan-rekannya yang lain. Kebetulan rumah Prastowo memang tidak jauh dari kediaman Zaini.
Dalam kesendirian samar-samar langkah kaki yang berat dan sedikit diseret berjalan mendekat kearah Salim. Salim beranjak dari duduknya.
"Duduk saja, Nak Salim."
Salim kembali duduk.
Kini Zaini berada tepat disebelah Salim duduk. Sesekali Zaini menarik nafasnya dengan berat.
"Dulu. Bapak berharap Satriyo bisa meneruskan cita cita bapak mendirikan pesantren di desa ini. Tapi bapak tahu, Satriyo bukan tipe orang yang mau diatur. Bapak berharap entah kapan Satriyo akan mendapat hidayah dan bisa seperti harapan bapak." Zaini menarik nafasnya lagi.
"Bapak selalu mewanti wanti agar Satriyo berhati hati. Karena bapak tahu hal ini lambat laun pasti akan terjadi. Makanya sejak awal bapak sudah mempersiapkan diri untuk ini. Untuk menerima kenyataan seperti ini."
Salim terdiam, sebelum akhirnya raut mukanya berubah.
"Saya berjanji akan membalaskan dendam pada orang-orang yang telah membuat Satriyo seperti itu, Pak."
Zaini meraih tangan Salim.
"Tidak perlu. Apa untungnya? Apa dengan kamu membalas dendam semua akan selesai? Tidak. Apa dengan kamu membalas dendam Satriyo bisa kembali? Tidak juga. Yang ada, masalah akan semakin panjang."
"Tapi, Pak..."
"Tidak ada tapi. Jika harus balas dendam, balas dendam lah ke bapak. Karena apa? Karena bapak yang meminta hidayah untuk Satriyo. Dan Allah selalu punya cara untuk memberi hidayah. Jika tidak dengan taubat, mungkin dengan kematian. Dan orang-orang yang kata kamu sudah mencelakai Satriyo. Mereka hanya perantara Allah untuk menunjukkan hidayah itu nyata adanya."
Salim terdiam. Mulutnya seolah terkunci rapat kali ini.
"Sekarang tinggal kamu, Nak Salim. Apa kamu ingin hidayah itu datang setelah kematian atau sebelum kematian? Semua ada pada diri kamu, Nak."
Zaini beranjak dari duduknya kemudian melangkah kedalam dengan langkah yang berat juga sedikit diseret.
Salim masih mematung di bangku teras rumah. Bahkan sebatang rokok yang tadi dinyalakannya kini sudah habis terbakar menjadi abu yang beterbangan karena tiupan angin.
Salim tertunduk. Tangannya sesekali mengusap rambut gondrongnya yang sedikit berantakan. Lalu kembali menyalakan rokok dan kembali juga hanya menghisapnya beberapa kali dan membiarkan rokok itu menjadi abu.
Hampir seminggu berlalu sejak kematian Satriyo. Semalam adalah peringatan tujuh harian meninggalnya Satriyo. Dan Salim masih tinggal di rumah Satriyo bersama Zaini.
Pagi itu di teras rumah Zaini.
Salim menghampiri Zaini yang sedang memberi makan burung perkututnya.
"Maaf, Pak. Mungkin siang nanti saya harus pulang ke Jogja, menemui istri saya."
Zaini tersenyum lalu beranjak dari duduknya.
"Hati-hatilah. Cuma itu pesan bapak."
Salim tersenyum.
"Jika hidayah itu sudah kamu rasakan. Kembalilah kesini. Ini rumahmu. Bapak menganggapmu sama seperti Satriyo."
Salim kali ini benar-benar dibuat terharu dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Zaini. Salim segera meraih tangan Zaini dan mencium punggung tangan lelaki itu yang seluruhnya sudah penuh kerutan.
"Saya akan ingat semua pesan bapak."
"Lupakan saja semua pesanku, Nak. Cukup satu yang perlu kamu ingat. Hidayah."
Salim tertunduk. Sejujurnya dia bingung harus berkata apa kali ini.
Siang hari di halaman rumah Zaini, Prastowo sudah bersiap dengan sepeda onthel nya.
"Sampeyan jadi pulang, Kang?" Tanya Prastowo pada Salim yang sudah bersiap sejak tadi.
"Kenapa? Mau ikut? Ayo."
Prastowo hanya tertunduk.
"Tapi sampeyan masih akan kembali lagi kesini kan, Kang?"
Salim hanya sedikit menaikkan pundaknya.
"Bagaimana nasib saya dan teman-teman kalau sampeyan tidak kembali, Kang. Bisa habis kami."
"Tenang saja, Pras. Saya tahu kemampuan kamu jika suatu hari kembali terjadi sesuatu. Tapi untuk saat ini saya yakin, tidak ada satu pun dari mereka berani menampakan diri setelah kematian Satriyo. Mereka akan berpikir kalau kita tidak akan tinggal diam dan pasti membalas dendam." Salim menepuk pundak Prastowo.
"Ya sudah, sekarang antarkan saya ke terminal saja, Pras. Masalah itu kamu tenang saja."
Dengan berat Prastowo mengayuh sepedanya meninggalkan pekarangan rumah Zaini.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Rosiyatun
apik ceritane kl berhubungan dengan djogja entah mengapa saya selalu suka padahal bukan org djogja 🤔🤔🙂
2022-04-07
0
Tirta Kamandanu
Menarik.....
2022-04-06
0
Nurjanah Tamim
mungkin ini judul nya preman pensiun kli ya tor
2022-03-18
2