Yogjakarta pagi itu.
Disebuah teras yang masih beralaskan tanah. Salim duduk beralaskan sandal jepit. Dari mulutnya tak henti-hentinya mengepul asap rokok yang belum lama dinyalakannya.
Kartika istrinya, datang mengantarkan secangkir kopi panas kepadanya. Wanita anggun berbola mata indah dengan lesung pipi yang terlihat jelas ketika ia tersenyum itu dinikahi Salim empat tahun lalu. Selama menikah dengan Salim, dirinya tetap bertahan di Jogjakarta karena Kartika harus mengurus adiknya yang mengalami cacat fisik sejak lahir, Hutomo nama adiknya.
Meski terpisah jarak, tapi rumah tangga Salim dan Kartika hampir tidak pernah tersentuh masalah apapun. Kartika adalah wanita yang sabar ketika menghadapi Salim yang berwatak keras. Kartika sejak awal tahu seperti apa Salim. Terkadang ia pun bertanya, kenapa dulu ketika Salim datang melamarnya, ia menerima lamaran itu. Sementara orang tua Kartika tidak terlalu suka dengan Salim yang memang dikenal sebagai preman terminal dan suka sekali kekerasan. Bahkan sudah banyak lelaki dengan status sosial dan kemapanan yang jelas datang bergantian untuk mempersuntingnya. Tapi kenapa Kartika memilih Salim?
"Duduk, Dek." Salim mempersilahkan Kartika duduk. Digelarnya beberapa potong daun pisang sebagai alas untuk Kartika duduk.
"Ada beberapa hal yang ingin Mas sampaikan."
Kartika menatap tajam ke arah salim. Dengan tatapan Kartika itu, lelaki manapun pasti akan bertekuk lutut mengaguminya.
"Katakan saja, Mas." Suara lirih Kartika menandakan betapa lemah lembutnya ia.
Salim mematikan rokoknya. Menarik nafas dalam-dalam. Sejenak detak jantungnya tak beraturan.
"Apa pantas manusia sepertiku berkata, aku ingin bertaubat, Dek?"
Kartika terhenyak. Ditatapnya dalam-dalam wajah Salim disampingnya. Kartika melihat penuh keseriusan disana. Di wajah itu.
Kartika tersenyum sejenak.
"Mas, tidak ada kata terlambat. Tidak ada kata pantas tidak pantas. Selagi nafas masih berhembus walau sudah diujung kerongkongan sekalipun jika kita bersungguh-sungguh dalam bertaubat, Insya Allah, Allah selalu menerima setiap taubat dari hamba-hamba-Nya."
Salim tertunduk diam. Rasanya bibirnya kelu.
"Mungkin ini jawaban atas pertanyaan saya selama ini. Kenapa saya mau menerima Mas ketika Mas datang melamar saya waktu itu."
Salim menoleh ke arah Kartika. Mereka kini beradu tatap.
"Allah mungkin sudah mengatur semua ini, Mas. Alhamdulillah kesabaran saya berbuah sebuah hasil yang luar biasa."
Seketika Kartika memeluk Salim membuat Salim gelagapan tak tak bisa berbuat apa-apa. Untuk berkata rasanya bibirnya pun membeku sesaat.
Untuk sesaat suasana hening. Hanya nafas mereka berdua yang terdengar diantara telinga masing-masing.
Sepoi angin pagi menerbangkan suasana dingin khas pedesaan Jogjakarta. Menerbangkan bau anyir tanah yang dibasahi embun-embun yang menetes dari dedaunan. Kilauan sinar mentari sesekali terlihat silau memancarkan kilauan nya dari beberapa daun yang masih basah.
Kartika melepas pelukannya. Tanpa Salim sadari ada bulir-bulir halus mengalir dari kedua kelopak mata Kartika. Salim berusaha menyekanya. Mengusap air bening itu di kedua kulit halus pipi Kartika yang putih bersinar.
"Mungkin dua tiga minggu lagi Mas kembali ke Malang, Dek."
Kartika hanya menjawab dengan anggukan.
"Mas ingin segera menemui Pak Zaini. Seperti yang Mas ceritakan waktu itu."
"Temui beliau, Mas. Saya do'akan disana memang tempat Mas. Tempat dimana Mas menemukan hidayah itu."
Salim tersenyum. Senyum penuh keteduhan yang untuk pertama kalinya Kartika lihat dari wajah Salim.
Dua minggu setelah percakapan itu Salim pun berangkat kembali ke Malang. Kepergiannya kali ini tidak seperti kepergiannya sebelum-sebelumnya. Ada isak tangis dan segudang do'a tercurah dari Kartika mengiringi keberangkatan Salim.
Setibanya di Malang, Salim terheran dengan suasana terminal yang mulai berbeda dari setengah tahun yang lalu. Salim berjalan menyusuri setiap sudut terminal. Melewati beberapa tempat yang biasa ia gunakan untuk nongkrong bersama teman-temannya sesama preman.
Salim berhenti ke sebuah warung makan yang sepertinya belum lama buka karena sebelum ini rumah makan itu belum ada. Seorang lelaki seusianya berjalan menghampiri Salim ketika Salim sudah duduk di bangku warung itu.
"Mau pesan apa, Mas?"
Untuk sesaat Salim memandang wajah lelaki itu. Salim belum pernah melihat lelaki itu sebelumnya dan lelaki itu pun sama sekali tidak mengenali Salim.
"Sudah pasti lelaki ini orang baru di terminal." Batin Salim dalam hati.
"Ada menu apa saja, Mas?" Tanya Salim kemudian.
Lelaki itu menunjukkan buku menu. Bagi Salim ini berbeda dari biasanya. Karena tidak biasanya warung makan kecil di pinggiran terminal ada buku menu segala.
"Ini saja, Mas." Salim menunjuk menu nasi sayur dengan telur dadar.
"Baik. Ditunggu sebentar ya, Mas."
Salim hanya mengangguk sambil matanya sesekali mengamati sekeliling terminal.
Tak lama pesanan Salim pun diantar oleh lelaki tadi.
"Silahkan, Mas."
"Oh iya, Mas. Maaf mau tanya. Mas ini pedagang baru di terminal ini ya?"
Lelaki itu membalikkan pandangannya ke arah Salim.
"Iya, Mas. Belum genap satu bulan saya buka warung disini. Ya setelah ada pembersihan preman dipasar beberapa bulan lalu."
Salim mengangguk. "Pembersihan preman?" Batinnya kemudian.
"Sebelumnya Mas tinggal dimana?"
"Saya dari kampung sebelah, Mas. kebetulan istri orang sini jadi bisa dapat akses buka warung disini. Itu istri saya, Mas."
Dari dalam dapur tampak seorang wanita berkerudung keluar membawa panci berisi sayur. Wanita itu menatap tajam ke arah Salim dan suaminya. Lalu berjalan menghampiri keduanya.
"Kang Salim ya? Lama tidak kelihatan, Mas."
Rupanya wanita itu mengenali Salim. Salim hanya tersenyum tipis.
"Monggo, Kang dinikmati menu di warung saya ini."
Salim lagi-lagi hanya melempar senyum. Lalu wanita itu undur diri.
"Wah, rupanya istri saya sudah mengenal, Mas." Ucap lelaki itu setelah istrinya berjalan kembali ke dapur.
"Iya, Mas. Oh iya, Mas. Mas tadi bilang ada pembersihan preman itu bagaimana ya Mas maksudnya?" Tanya Salim kemudian.
Lelaki itu duduk.
"Begini, Mas. Ini dari yang saya tahu saja ya. Kurang lebih setengah tahun lalu disini katanya pernah ada bentrokan antar preman, Mas. Sampai-sampai ada yang meninggal karena bentrokan itu. Setelah itu entah bagaimana ceritanya, semua preman yang terlibat dalam kejadian itu menjadi buronan polisi, Mas. Kecuali para preman yang termasuk gerombolannya yang meninggal itu. Karena dengar-dengar ada dari pihak yang meninggal itu yang sengaja melapor pada polisi. Begitu kira-kira, Mas."
Salim terkejut. Sejenak ia mengerutkan keningnya.
"Siapa yang melaporkan ke polisi?" Batinnya dalam hati.
"Saya dengar itu juga dari istri saya, Mas. Karena waktu kejadian itu kebetulan saya masih di pesantren."
"Loh, Mas ini lulusan pesantren ya?"
"Iya, Mas. Bisa dibilang lulusan terbaik lah, Mas."
Salim mengangguk paham.
"Kalau boleh tahu pesantren mana, Mas?" Tanya Salim kemudian.
"Di daerah Jawa Barat, Mas."
"Jauh ya?"
"Iya, Mas. Karena bapak saya orangnya pilih-pilih kalau soal pendidikan anak-anaknya, Mas."
Sekali lagi Salim mengangguk.
"Yasudah dilanjut makannya, Mas. Saya mau melayani pembeli yang lain."
"Monggo monggo."
Salim melanjutkan makannya. Dalam benaknya kini terselip pertanyaan tentang siapa yang melaporkan kejadian tewasnya Satriyo ke polisi?
"Sudah, Mas. Jadi berapa?"
Salim menghampiri lelaki tadi untuk membayar makanannya. Lelaki itu tampak menghitung dengan jarinya.
"Jadi totalnya tujuh belas ribu, Mas."
Salim menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan. "Kembaliannya gak usah saja, Mas."
"Wah, terima kasih, Mas."
Salim hanya tersenyum lalu melangkah keluar dari warung makan tersebut. Saat berjalan untuk meninggalkan warung makan itu, Salim sempat menoleh kembali kedalam warung. Diluar warung, terlihat jelas MMT besar bertuliskan "Warung Makan Masakan Jawa AMINUDIN".
Beberapa saat kemudian Salim sudah berdiri dihalaman sebuah rumah yang cukup besar yang masih kental dengan nuansa Jawanya. Dari tempatnya berdiri, Salim melihat seorang lelaki tua sedang memilah beberapa batang bambu menjadi wilahan-wilahan tipis.
Salim melangkah mendekat ke lelaki tua itu. Lelaki tua itu tidak menyadari kedatangan Salim. Bahkan suara langkah kaki Salim pun tidak disadarinya. Salim berhenti tepat dibelakang lelaki tua, sebelum akhirnya mengucap salam dan membuat lelaki tua itu sedikit kaget melihat kedatangan Salim.
"Bapak sudah punya firasat kalau kamu pasti akan kembali lagi, Nak Salim."
Salim hanya tersenyum.
"Tapi sudahlah. Tidak usah dibicarakan sekarang. Sekarang ayo masuk dulu. Istirahat dulu. Kamu pasti capek kan?"
"Tidak, Pak. Kebetulan tadi sudah menyempatkan istirahat di terminal, Pak."
"Oh, iya iya. Jadi kamu sudah mampir ke belakang terminal?"
Salim mengangguk pelan.
"Sekarang semua sudah berubah, Nak. Segala sesuatu memang perlu perubahan kearah yang lebih baik."
"Apa bapak juga tahu tentang pembersihan preman di terminal?"
"Malam itu beberapa orang berseragam polisi datang kesini. Mereka menanyakan tentang kematian Satriyo. Tidak ada yang bisa bapak katakan pada mereka. Bapak hanya mengatakan seperti apa yang bapak katakan padamu waktu itu. Tidak lama lalu mereka pergi."
Salim mengangguk paham. Angannya menerawang entah kemana. Dia masih belum mendapat gambaran siapa kiranya yang sudah melaporkan kejadian meninggalnya Satriyo pagi itu.
"Yasudah, kamu masuk dulu sana. Ganti pakaian kamu. Istirahat dulu, Nak."
"Baiklah kalau begitu, Pak. Saya taruh tas saya dulu ke dalam."
Salim melangkah kedalam rumah Zaini menuju kedalam sebuah kamar yang sempat hampir satu minggu di enam bulan yang lalu ditempatinya. Sebuah kamar yang banyak menyimpan kenangan tentang sahabatnya, Satriyo.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Fatkhur Kevin
salim murid Aminudin
2023-09-18
0
Tirta Kamandanu
Bagus....
2022-04-06
1
yamink oi
ohh,,Aminudin mengko mesti dadi kancane Salim aph yah
2022-01-05
1