Hidayah

Pondok Pesantren Hidayah berada tepat di belakang Masjid tadi. Halamannya pun tak kalah luas dengan halaman Masjid. Bangunannya terlihat bagus membentuk letter U dan seluruhnya bangunan sudah tingkat tiga dengan warna cat hijau muda.

Disalah satu sudut halaman tampak bangunan dengan hanya bertiang cor yang diukir. Didalamnya berjejer beberapa mobil mewah dengan harga yang cukup fantastis.

Kyai Aminudin mengajak mereka ke sebuah teras. Mungkin itu rumah yang beliau tinggali bersama keluarga. Rumahnya pun tak kalah mewah. Dengan keramik yang sangat megah juga beberapa lukisan dari seniman lukis terkenal. Jelas itu bukan karya yang murah. Belum lagi sofa dan meja yang cukup mewah dan Gucci yang tertata di sebagian sudut teras. Semakin menampilkan kesan mewah rumah itu. Ini baru terasnya, belum didalamnya.

"Silahkan duduk dulu." Kyai Aminudin mempersilahkan Ajimukti dan Dullah untuk duduk di sofa empuk itu.

Kyai Aminudin juga mempersilahkan ketiga pemuda itu untuk kembali ke pondok dan ketiganya hanya mengangguk. Sekali lagi pandangan tak suka mereka kembali diperlihatkan pada Ajimukti dan Dullah.

"Beginilah Pondok Hidayah." Kyai Aminudin mengawali percakapan pagi ini.

"Besar sekali, Kyai. Saya tidak menyangka pondoknya sebesar ini."

"Ini belum apa-apa. Rencananya saya ingin merenovasi untuk yang pondok putrinya. Tapi masih menunggu iuran dari para wali santri yang pejabat juga pengusaha pengusaha itu."

Ajimukti hanya mengangguk. Dullah kembali menelan ludah diam-diam.

"Ini rumah, Kyai?"

"Betul sekali. Ya belum lama pindah sebenarnya. Masih berantakan."

"Loh, lalu dulunya Kyai tinggal dimana?"

"Dulu saya juga tinggal tidak jauh dari sini. Tapi setelah rekan saya yang juga pengasuh di pondok ini meninggal saya memutuskan untuk gantian mengawasi anak-anak disini."

"Loh, berarti Kyai ini penerusnya atau bagaimana?"

Kyai Aminudin mengubah posisi duduknya yang semula bersandar kini ditegakkan.

"Begini. Dulu saya dan rekan saya sama-sama berjuang untuk membangun pondok ini. Tapi sayang keserakahannya dan wataknya yang lama belum juga bisa berubah. Maklum mantan preman yang sok sokan tobat. Akhirnya sakit sakitan dan meninggal."

Dullah kembali hanya menelan ludah mendengar cerita itu.

"Memangnya pengasuh yang sebelumnya tidak punya keluarga, Kyai?"

Kyai Aminudin terbahak. "Keluarga?"

"Sejak saya kenal dia. Dia itu sudah ditinggalkan keluarganya. Anak istrinya entah dimana. Mungkin istrinya sudah menikah lagi karena memang dulu dia tidak pantas untuk dibilang seorang imam. Pantaslah kalau istrinya kemudian meninggalkan dia."

Ajimukti hanya mengangguk seolah paham dengan apa yang diceritakan Kyai Aminudin.

"Sudah lama itu meninggalnya Kyai?"

"Ya ada kalau tujuh tahun ini. Lebih mungkin. Saya tidak terlalu ingat."

"Dimakamkan disini juga atau dimana, Kyai?"

"Tidak. Dimakamkan di daerah asalnya sana di Jogjakarta sana."

"Loh, sama seperti saya berarti, Kyai? Berasal dari Jogja."

"Iya, tapi saya juga tidak tahu tepatnya."

"Kyai apa tidak ikut di pemakaman pengasuh sebelumnya?"

"Saya mengurus yang disini. Lagipula kesehatan saya waktu itu kurang baik. Sudah banyak santri yang ikut mengiring juga."

Kyai Aminudin menyalakan rokoknya. Asap mengepul di sekeliling teras itu.

"Oh iya. Nama kalian siapa. Kalian belum memperkenalkan diri kan?"

"Maaf, Kyai. Keasikan mengobrol malah belum sempat memperkenalkan diri. Nama saya Ajimukti. Paman saya ini namanya Dullah."

Kyai Aminudin hanya mengangguk.

"Lalu apa kalian sudah tahu persyaratan apa saja yang harus kalian penuhi untuk bisa menjadi santri disini?" Kyai Aminudin kembali menghisap rokoknya.

Ajimukti tersenyum simpul. "Kiranya Kyai menjelaskan agar kami semakin paham."

Kyai Aminudin mematikan rokoknya yang masih setengah itu. Kemudian kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Sebenarnya mudah saja. Kalian hanya perbulan akan dikenakan biaya dua juta. Itu untuk kelancaran juga fasilitas makan dan lain sebagainya."

Dullah lagi-lagi hanya menelan ludah. Ekspresi wajahnya pun sedikit berubah.

"Hanya itu saja atau ada syarat yang lain, Kyai?"

"Emmm, sementara hanya itu. Dan untuk kitab memang ada beberapa yang harus beli sendiri. Apa kalian sanggup? Kalau keberatan dengan iuran segitu tidak apa-apa."

"Ah tidak, Kyai. Kami sudah mempersiapkannya."

"Baiklah kalau begitu. Nanti biar saya suruh bagian administrasi pondok untuk mengurus pendaftaran kalian."

"Terima kasih, Kyai."

Kyai Aminudin meraih ponsel disakunya. Lalu melakukan panggilan ke seseorang. Hanya beberapa patah kata lalu Kyai Aminudin menutup telefonnya.

Tidak butuh waktu lama seseorang datang menghampiri kami. Seorang pemuda yang terbilang nyentrik dengan kulit putih dan sorot mata yang bagus. Kyai Aminudin mempersilahkannya duduk. Lalu beranjak untuk masuk ke dalam rumah.

Suara pemuda itu agak berat. Mungkin memang karakter suaranya. Beberapa lembar kertas dikeluarkan dari dalam maps besar. Lalu menyodorkannya ke Ajimukti juga Dullah.

"Mas baca ini dulu lalu isi semua ya."

Ajimukti tidak tertarik untuk membaca, ia langsung saja meraih bolpoint yang juga diberikan padanya. Mengisinya dan kembali menyerahkan ke pemuda itu lagi.

Dullah mengamati Ajimukti untuk beberapa saat sebelum dirinya pun menyerahkan selembar kertas pendaftaran.

"Lalu untuk uang pendaftaran juga iuran bulan pertama bagaimana, Mas? Akan ditransfer atau cash?" Tanya pemuda itu sembari mengamati formulir pendaftaran yang Ajimukti serahkan padanya tadi. Tanpa sedikitpun melihat yang diajaknya berbicara.

"Cash saja, Mas."

"Jadi totalnya tujuh juta ya, Mas. Biaya pendaftaran masing satu setengah juta ditambah iuran bulanan dua juta. Masing-masing tiga setengah juta. Jadi untuk dua orang, tujuh juta."

"Baik, Mas."

Lagi-lagi Dullah hanya menelan ludah.

Ajimukti merogoh ranselnya. Mengeluarkan uang yang sudah disiapkannya dari rumah.

"Ini, Mas. Dihitung dulu takut kurang." Ajimukti menyerahkan uang itu ke si pemuda tadi.

Pemuda itu lalu menghitungnya.

"Baiklah pas, Mas. Melihat penampilan kalian, saya pikir kalian akan minta keringanan atau bahkan akan membayar dicicil."

Ajimukti hanya tersenyum. Sementara Dullah terlihat mengepalkan tangannya. Ajimukti sedikit menyentuh punggung tangan Dullah.

"Yasudah, ini sudah beres. Mari ikut saya. Saya akan tunjukkan kamar kalian."

Pemuda itu bangkit kemudian berjalan meninggalkan teras rumah Kyai Aminudin, Ajimukti dan Dullah mengikuti di belakangnya.

"Sombong sekali, Mas." Bisik Dullah.

"Sudah, Lek. Jangan diambil hati."

"Katanya santri yang jago-jago mengaji. Tapi kok ndak ada tatakramanya sama sekali. Angkuh. Sombong."

Ajimukti hanya tersenyum.

Sepanjang lorong menuju ke kamar mereka, pandangan-pandangan tak mengenakkan dari para santri tertuju jelas ke arah Ajimukti dan Dullah.

Tak lama pemuda itu berhenti dan berdiri di sebuah kamar yang pintunya tertutup.

"Ini kamar kalian. Kalian bersihkan sendiri ya. Sudah lama sejak penghuni lamanya boyong, kamar ini sudah tidak dibersihkan. Bukan tidak mau, tapi karena tidak ada dawuh dari Kyai juga karena semua santri disini sibuk mengaji."

Diam-diam Dullah mencibir.

"Yasudah, saya tinggal dulu."

Pemuda itu melangkah pergi setelah membuka pintu kamar itu. Belum ada sepuluh langkah pemuda itu membalik badannya.

"Ingat disini dilarang membuat kegaduhan apalagi keributan."

Ajimukti hanya mengangguk. Dullah sekali lagi hanya bisa menelan ludah.

"Sudah kita masuk, Lek."

Ajimukti dan Dullah masuk kedalam kamar itu. Debu seketika beterbangan. Ajimukti harus mengibas-ibaskan tangannya untuk menghalau debu masuk ke indra penciumannya.

"Kita bersihkan dulu ya, Lek."

"Iya, Mas. Kenapa bisa banyak debu begini ya, Mas."

"Ya karena santri sini sibuk mengaji Lek. Jadi tidak sempat untuk bersih-bersih kamar ini. Kan begitu kata mas nya tadi." Ajimukti menutup ucapannya dengan sedikit tawa. Dullah pun terkekeh.

"Ngomong-ngomong, apa mereka memang seperti itu ya, Mas?"

"Seperti itu bagaimana, Lek?"

"Ya, Mas lihat sendiri tadi bagaimana mereka memandang kita ini. Sepertinya penampilan disini sangat berpengaruh sekali."

"Sudah, Lek. Tujuan kita kesini kan untuk meluruskan itu. Tapi tidak untuk saat ini."

"Iya, Mas. Pada saatnya nanti mereka akan tahu siapa Mas Ajimukti sebenarnya."

Ajimukti hanya tersenyum lalu kembali membersihkan kamar yang semakin penuh dengan debu.

Untuk beberapa saat kamar itu sudah disulap menjadi sangat berbeda dari ketika mereka baru tiba.

Saat Dullah sedang merebahkan tubuhnya, tiba-tiba di pintu kamar ada yang mengetuk.

Tok tok tok!

"Assalamu'alaikum."

Ajimukti segera membuka pintu kamar dibarengi jawaban atas salam seorang dari luar kamar itu.

Ketika pintu dibuka, tiga pemuda yang tadi pagi mengejek mereka di masjid kini berada dihadapan Ajimukti.

"Sudah bagus ya kamarnya." Ucap salah seorang pemuda itu kepada Ajimukti sembari melihat isi kamar.

Dullah segera bangun dari rebahannya dan beralih mendekat ke belakang Ajimukti.

"Alhamdulillah, Mas. Mari silahkan masuk." Ajimukti sebisa mungkin bersikap ramah kepada mereka bertiga.

"Tidak perlu. Kami tidak terbiasa blusukan ke kamar santri lain. Apalagi ke kamar..." Pemuda yang berucap itu menghentikan ucapannya.

Ajimukti paham betul kalimat apa yang akan diucapkan pemuda itu, namun Ajimukti hanya tersenyum tipis.

"Ingat disini setiap sebelum subuh santri harus sudah bangun. Sholat subuh berjama'ah setelah itu mengaji."

"Iya, Mas. Terima kasih sudah di ingatkan."

"Jangan ngebo tidurnya. Mentang-mentang tidur dikasur yang enak entar kalian gak bisa bangun. Gak terbiasa kan kalian."

Dullah merasa kurang suka dengan ucapan pemuda itu. Baru saja hendak melangkah, Ajimukti memegang pergelangan tangannya. Dullah pun menahan langkahnya. Lalu menarik nafas dalam-dalam.

"Sombong sekali mereka." Batin Dullah.

"Ingat kalau tidak ikut berjama'ah akan ada ta'zir dari para santri senior. Ingat itu." Ancam salah seorang pemuda sebelum mereka membalikkan badan beranjak dari kamar Ajimukti.

"Sebentar, Mas." Tiba-tiba Ajimukti menahan langkah mereka. Seketika mereka berhenti dan membalik badan kembali. Pandangan mereka ke Ajimukti penuh tatapan tidak suka.

"Apa lagi?"

"Nama Mas Mas ini siapa ya? Sejak pertemuan tadi pagi kita belum berkenalan."

Mereka bertiga kompak terbahak. Entah apa yang mereka tertawakan.

"Kami berkenalan dengan kalian? Seberapa penting kalian? Hah?" Ucap pemuda yang tadi pagi mengumandangkan Iqomah itu.

"Ya kalau Mas Masnya tidak keberatan saja." Ajimukti sedikit membungkuk dan menempelkan kedua telapak tangannya.

"Mungkin kalian yang ingin tahu nama kami. Ya kan?"

Ajimukti tersenyum.

"Nanti kalau sudah tahu nama kami, kalian diluar pondok akan bilang kalau kalian berteman dengan kami."

"Halah, kami tahu akal model kalian ini." Imbuh pemuda yang lain.

Sekali lagi Ajimukti hanya tersenyum. Dullah lagi-lagi hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

"Baiklah. Kalian ingat baik-baik ya. Nama saya Imam Raharja bin Raharja bin KH. Abu Bakar. Kamu tahu Kyai Abu Bakar?"

Ajimukti menggeleng.

"Pantas kamu tidak tahu nama besar kakekku. Tampang preman macam kamu tahu apa dunia pesantren."

Ajimukti hanya terdiam. Dullah kembali menelan ludah.

"Kakekku adalah seorang kyai kondang di Jawa Timur. Pondoknya pun memiliki ribuan santri. Dan sekarang pamanku yang meneruskan pondok peninggalan kakekku."

"Oh, lalu kenapa Mas Imam tidak mondok di pondok kakek Mas Imam saja." Ajimukti nyeletuk tiba-tiba.

Pemuda bernama Imam terbahak di ikuti kedua pemuda yang lain.

"Sudahlah saya jelaskan pun kamu tidak akan paham." Sembari mengibaskan tangannya.

"Ya ya ya." Ajimukti mengangguk seolah paham. "Lalu kalau Mas berdua ini namanya?" Imbuhnya kemudian.

"Panggil saja saya Khalil. Saya masih saudara dengan Imam. Bapakku adik bapaknya Imam. Bisa dipahami kan? Jadi tidak perlu saya jelaskan lagi kan?"

Ajimukti sekali lagi mengangguk.

"Kalau saya Budi Nugroho. Sudah itu saja yang perlu kamu tahu. Kalau saya cerita banyak-banyak, kamu juga mana tahu." Kata pemuda yang tadi pagi mengumandangkan iqomah di masjid.

Ajimukti hanya lagi-lagi mengangguk.

"Sudah tahu kan nama kami. Oiya, tidak usah kalian memperkenalkan nama kalian. Tidak penting juga untuk kami."

"Dan lagi kami bisa mencari tahu di bagian pendataan santri."

Mereka pun beranjak, Ajimukti hanya memandang dengan diam sampai mereka berbelok diujung lorong.

"Ada ya Mas manusia seperti mereka. Sombongnya amit-amit." Dullah kemudian geleng-geleng kepala.

"Ya adalah, Lek. Itu mereka buktinya."

Dullah kini tertawa.

"Ya kok ada gitu lho, Mas."

"Ya kalau tidak ada yang semacam mereka mungkin tidak asik, Lek."

Dullah lagi-lagi tertawa dengan ucapan nyeplos Ajimukti.

"Semoga mereka segera diberi hidayah ya, Mas."

Ajimukti melirik ke arah Dullah.

"Kenapa, Mas?" Tanya Dullah keheranan dengan tatapan Ajimukti.

"Kalau mereka dapat Hidayah. Trus Kyai Aminudin dikemanakan, Lek? Kan Hidayah sudah atas kepemilikan Kyai Aminudin."

Seketika Dullah melepas tawanya. Kini benar-benar lepas seolah kesombongan kesombongan yang ia temui dan sempat membuatnya naik darah tidak pernah ia temui hari ini.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Fatkhur Kevin

Fatkhur Kevin

sifat sombong membawa petaka

2023-09-18

0

Daliffa

Daliffa

😂💪🙏🙏

2022-04-21

0

Hergozin Cristina

Hergozin Cristina

ma sha Allah, ada santri kek gitu ya

2022-03-30

0

lihat semua
Episodes
1 Ajimukti
2 Hidayah
3 Teman Lama Dullah
4 Jalan Hidayah
5 Kembali Ke Malang
6 Titik Awal
7 Tidak Lebih Dari Tiga Bulan
8 Hasan Basri, Anggoro?
9 Kompetisi
10 Maqam Ya?
11 Dondong Opo Salak?
12 Atur Siasat
13 Sandiwara Ajimukti
14 Gus?
15 Celetuk Dullah
16 Tragedi Surat Dewi
17 Ajimukti Aufatur Muthoriq
18 Kompetisi Lagi
19 Rumpi Santri
20 Perkenalan Dengan Putri Kyai Aminudin
21 Boss!!!
22 Punakawan
23 Filosofi Punakawan
24 Kun Pariyan, Wa Laa Takun Pakisan!
25 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
26 Balada Trio Senior
27 Uji Coba
28 Bibit! Bebet! Bobot!
29 Hujan!
30 Sore Itu Dipasar
31 Sebuah Janji
32 Habiba Lagi! Lagi Lagi Habiba!
33 Siapa Dia?
34 Gerak Faruq
35 Menuju Kompetisi
36 Balada Gelang Kaoka
37 Mencari Habiba
38 Kabar Kemenangan Ajimukti
39 Ah, Ternyata Habiba
40 Do'a Di Iring Shalawat
41 Bakmi Jowo
42 Pertemuan Kedua
43 Orang Tak Dikenal
44 Dia Dalam Doa
45 Curhat
46 Lelaki Tua Itu, Kembali
47 Saudara Yang Sama
48 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
49 Sipat Kandhel?
50 Negosiasi Perasaan
51 Khansa binti Khadzdzam
52 Nugroho Sastro Darmono?
53 Delapan Tahun Lalu
54 Ajimukti VS Budi Nugroho
55 Sukrono Sukro Rino
56 Nguri-uri Peninggalan Leluhur
57 Kalung Kayu Stigi
58 Sedulur Papat Limo Pancer
59 Nafsu Dan Hati Nurani
60 Perginya Budi
61 Mas Kyai Salim Dan Ustadz Amin
62 Bicara Mahar
63 Toleransi
64 Allah Dan Muhammad
65 Teras Ndalem
66 Perdebatan Dimulai
67 Dan Pada Akhirnya
68 Pagi Yang Cerah Senyum Merekah
69 Pertemuan Wali Santri
70 Jangan Panggil, Ning!
71 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
72 Mencari Aminudin
73 Kekhawatiran Sumiatun
74 Menunggu Habiba
75 Penasaran
76 Tiga Mantra Kehidupan
77 Godril Dengan Tattonya
78 Sebuah Rencana
79 Al-insaanu Hayawaanun Naathiq
80 Siapa Yang Mengirim Mereka?
81 Tidak Pantas Dipanggil Gus!
82 Problema Kehidupan
83 Wejangan Nyai Sarah
84 Sobri VS Suko
85 Prastowo Turun Tangan
86 Siapa Warsito Itu?
87 Kelicikan Suko
88 Kepulangan Ari Godril
89 Kebetulan Yang Kebetulan
90 Selebar Daun Kelor
91 Melamar Habiba
92 Balas Budi
93 Meringkus Warsito
94 Satu Nama Baru
95 Sobri
96 Mantu Kurang Ajar
97 Nugroho Dan Kehidupannya
98 Pesan Prastowo
99 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
100 Pokok'e Seneng
101 Malam Di Teras Langgar
102 Kesedihan Habiba
103 Obrolan Jaman Edan
104 Belum Menikah Bicara Thalaq
105 Pulang!
106 Menjemput Habiba
107 Jadilah Purnamaku, Ning!
108 Adigang, Adigung, Adiguna
109 Gejolak Hati Sobri
110 Delapan Menit
111 Pembenci Pemberi Kebaikan
112 Semakin Dekat Semakin Kasar
113 Panggil saja, Umi...!
114 Mungkinkah Wali Mastur?
115 Hal Tatazawajani...!
116 Santri Itu Tosan Aji
117 Bainal-Tsaqaafah Wad-diin
118 Belajar Dari Lalat dan Lebah
119 Ilmu Ikhlas
120 Kesadaran Ajeng
121 Ular Ular
122 Hexa, Santri Baru
123 Ajeng
124 Qulal-haqo Walaw Kan-murona
125 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
126 Sa...bar...!
127 Targhib Atau Tarhib?
128 Masih Tentang Hexa
129 Bro Sobri...!
130 Al 'ulamaa' Warotsatul-Anbiyaa'
131 Pertemuan Dengan Arya
132 Wang Sinawang
133 Tahlilan
134 Tamu Spesial
135 Ini Penting Untuk Wanita
136 Nengahi
137 Sinau Macapat
138 Santri
139 Kredit? Riba?
140 Nduk...!
141 Terselip Dalam Kitab
142 Pertemuan Sobri Dan Gandung
143 Sahabat Sebenarnya
144 Obrolan Membosankan
145 Sak Bab Jum'atan
146 Kembalinya Nafisa
147 Mulut Untuk Telinga
148 Kenali Dunia
149 Mas...!
150 Melunaknya Ego
151 !!!...Waraqat Istiraahah...!!!
152 Kawal Sampai Halal
153 Wali Jami'
154 Sembrono
155 Obrolan Bapak Anak
156 Nafisa
157 Non Marital
158 Sambat
159 Agen Rahasia
160 Ta’addud Al-Jumat
161 Sisi Lain
162 Hobby
163 Kekhawatiran Itu
164 Ngwejang Manan
165 Satu Hal Tentang Kebencian
166 Kalimat Dalam Selembar Surat
167 Menunggu Kunjungan
168 Ilmu Mantik
169 Bu Dhe Satu Lagi
170 Kala Hujan
171 Insya Allah
172 Binniyat
173 Kalung Temurun
174 Uluwwul Himmah
175 !!!..Waraqat Istiraahah...!!!
176 Tamu Tamu Sukrono
177 Arya's Memories
178 Mulatsih
179 Bicara Mulatsih
180 Kakak Sekaligus Guru
181 Tasamuh
182 Bertemunya Ajimukti Mulatsih
183 Kenyang
184 Santri Singa
185 Atur Pangapura
186 Langkah Awal Budi
187 Semangkok Soto
188 Adab dan Ilmu
189 Terbiasa Tak Membiasakan
190 Ruang Kunjung
191 Rahasia Hati
Episodes

Updated 191 Episodes

1
Ajimukti
2
Hidayah
3
Teman Lama Dullah
4
Jalan Hidayah
5
Kembali Ke Malang
6
Titik Awal
7
Tidak Lebih Dari Tiga Bulan
8
Hasan Basri, Anggoro?
9
Kompetisi
10
Maqam Ya?
11
Dondong Opo Salak?
12
Atur Siasat
13
Sandiwara Ajimukti
14
Gus?
15
Celetuk Dullah
16
Tragedi Surat Dewi
17
Ajimukti Aufatur Muthoriq
18
Kompetisi Lagi
19
Rumpi Santri
20
Perkenalan Dengan Putri Kyai Aminudin
21
Boss!!!
22
Punakawan
23
Filosofi Punakawan
24
Kun Pariyan, Wa Laa Takun Pakisan!
25
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
26
Balada Trio Senior
27
Uji Coba
28
Bibit! Bebet! Bobot!
29
Hujan!
30
Sore Itu Dipasar
31
Sebuah Janji
32
Habiba Lagi! Lagi Lagi Habiba!
33
Siapa Dia?
34
Gerak Faruq
35
Menuju Kompetisi
36
Balada Gelang Kaoka
37
Mencari Habiba
38
Kabar Kemenangan Ajimukti
39
Ah, Ternyata Habiba
40
Do'a Di Iring Shalawat
41
Bakmi Jowo
42
Pertemuan Kedua
43
Orang Tak Dikenal
44
Dia Dalam Doa
45
Curhat
46
Lelaki Tua Itu, Kembali
47
Saudara Yang Sama
48
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
49
Sipat Kandhel?
50
Negosiasi Perasaan
51
Khansa binti Khadzdzam
52
Nugroho Sastro Darmono?
53
Delapan Tahun Lalu
54
Ajimukti VS Budi Nugroho
55
Sukrono Sukro Rino
56
Nguri-uri Peninggalan Leluhur
57
Kalung Kayu Stigi
58
Sedulur Papat Limo Pancer
59
Nafsu Dan Hati Nurani
60
Perginya Budi
61
Mas Kyai Salim Dan Ustadz Amin
62
Bicara Mahar
63
Toleransi
64
Allah Dan Muhammad
65
Teras Ndalem
66
Perdebatan Dimulai
67
Dan Pada Akhirnya
68
Pagi Yang Cerah Senyum Merekah
69
Pertemuan Wali Santri
70
Jangan Panggil, Ning!
71
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
72
Mencari Aminudin
73
Kekhawatiran Sumiatun
74
Menunggu Habiba
75
Penasaran
76
Tiga Mantra Kehidupan
77
Godril Dengan Tattonya
78
Sebuah Rencana
79
Al-insaanu Hayawaanun Naathiq
80
Siapa Yang Mengirim Mereka?
81
Tidak Pantas Dipanggil Gus!
82
Problema Kehidupan
83
Wejangan Nyai Sarah
84
Sobri VS Suko
85
Prastowo Turun Tangan
86
Siapa Warsito Itu?
87
Kelicikan Suko
88
Kepulangan Ari Godril
89
Kebetulan Yang Kebetulan
90
Selebar Daun Kelor
91
Melamar Habiba
92
Balas Budi
93
Meringkus Warsito
94
Satu Nama Baru
95
Sobri
96
Mantu Kurang Ajar
97
Nugroho Dan Kehidupannya
98
Pesan Prastowo
99
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
100
Pokok'e Seneng
101
Malam Di Teras Langgar
102
Kesedihan Habiba
103
Obrolan Jaman Edan
104
Belum Menikah Bicara Thalaq
105
Pulang!
106
Menjemput Habiba
107
Jadilah Purnamaku, Ning!
108
Adigang, Adigung, Adiguna
109
Gejolak Hati Sobri
110
Delapan Menit
111
Pembenci Pemberi Kebaikan
112
Semakin Dekat Semakin Kasar
113
Panggil saja, Umi...!
114
Mungkinkah Wali Mastur?
115
Hal Tatazawajani...!
116
Santri Itu Tosan Aji
117
Bainal-Tsaqaafah Wad-diin
118
Belajar Dari Lalat dan Lebah
119
Ilmu Ikhlas
120
Kesadaran Ajeng
121
Ular Ular
122
Hexa, Santri Baru
123
Ajeng
124
Qulal-haqo Walaw Kan-murona
125
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
126
Sa...bar...!
127
Targhib Atau Tarhib?
128
Masih Tentang Hexa
129
Bro Sobri...!
130
Al 'ulamaa' Warotsatul-Anbiyaa'
131
Pertemuan Dengan Arya
132
Wang Sinawang
133
Tahlilan
134
Tamu Spesial
135
Ini Penting Untuk Wanita
136
Nengahi
137
Sinau Macapat
138
Santri
139
Kredit? Riba?
140
Nduk...!
141
Terselip Dalam Kitab
142
Pertemuan Sobri Dan Gandung
143
Sahabat Sebenarnya
144
Obrolan Membosankan
145
Sak Bab Jum'atan
146
Kembalinya Nafisa
147
Mulut Untuk Telinga
148
Kenali Dunia
149
Mas...!
150
Melunaknya Ego
151
!!!...Waraqat Istiraahah...!!!
152
Kawal Sampai Halal
153
Wali Jami'
154
Sembrono
155
Obrolan Bapak Anak
156
Nafisa
157
Non Marital
158
Sambat
159
Agen Rahasia
160
Ta’addud Al-Jumat
161
Sisi Lain
162
Hobby
163
Kekhawatiran Itu
164
Ngwejang Manan
165
Satu Hal Tentang Kebencian
166
Kalimat Dalam Selembar Surat
167
Menunggu Kunjungan
168
Ilmu Mantik
169
Bu Dhe Satu Lagi
170
Kala Hujan
171
Insya Allah
172
Binniyat
173
Kalung Temurun
174
Uluwwul Himmah
175
!!!..Waraqat Istiraahah...!!!
176
Tamu Tamu Sukrono
177
Arya's Memories
178
Mulatsih
179
Bicara Mulatsih
180
Kakak Sekaligus Guru
181
Tasamuh
182
Bertemunya Ajimukti Mulatsih
183
Kenyang
184
Santri Singa
185
Atur Pangapura
186
Langkah Awal Budi
187
Semangkok Soto
188
Adab dan Ilmu
189
Terbiasa Tak Membiasakan
190
Ruang Kunjung
191
Rahasia Hati

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!