Pondok Pesantren Hidayah berada tepat di belakang Masjid tadi. Halamannya pun tak kalah luas dengan halaman Masjid. Bangunannya terlihat bagus membentuk letter U dan seluruhnya bangunan sudah tingkat tiga dengan warna cat hijau muda.
Disalah satu sudut halaman tampak bangunan dengan hanya bertiang cor yang diukir. Didalamnya berjejer beberapa mobil mewah dengan harga yang cukup fantastis.
Kyai Aminudin mengajak mereka ke sebuah teras. Mungkin itu rumah yang beliau tinggali bersama keluarga. Rumahnya pun tak kalah mewah. Dengan keramik yang sangat megah juga beberapa lukisan dari seniman lukis terkenal. Jelas itu bukan karya yang murah. Belum lagi sofa dan meja yang cukup mewah dan Gucci yang tertata di sebagian sudut teras. Semakin menampilkan kesan mewah rumah itu. Ini baru terasnya, belum didalamnya.
"Silahkan duduk dulu." Kyai Aminudin mempersilahkan Ajimukti dan Dullah untuk duduk di sofa empuk itu.
Kyai Aminudin juga mempersilahkan ketiga pemuda itu untuk kembali ke pondok dan ketiganya hanya mengangguk. Sekali lagi pandangan tak suka mereka kembali diperlihatkan pada Ajimukti dan Dullah.
"Beginilah Pondok Hidayah." Kyai Aminudin mengawali percakapan pagi ini.
"Besar sekali, Kyai. Saya tidak menyangka pondoknya sebesar ini."
"Ini belum apa-apa. Rencananya saya ingin merenovasi untuk yang pondok putrinya. Tapi masih menunggu iuran dari para wali santri yang pejabat juga pengusaha pengusaha itu."
Ajimukti hanya mengangguk. Dullah kembali menelan ludah diam-diam.
"Ini rumah, Kyai?"
"Betul sekali. Ya belum lama pindah sebenarnya. Masih berantakan."
"Loh, lalu dulunya Kyai tinggal dimana?"
"Dulu saya juga tinggal tidak jauh dari sini. Tapi setelah rekan saya yang juga pengasuh di pondok ini meninggal saya memutuskan untuk gantian mengawasi anak-anak disini."
"Loh, berarti Kyai ini penerusnya atau bagaimana?"
Kyai Aminudin mengubah posisi duduknya yang semula bersandar kini ditegakkan.
"Begini. Dulu saya dan rekan saya sama-sama berjuang untuk membangun pondok ini. Tapi sayang keserakahannya dan wataknya yang lama belum juga bisa berubah. Maklum mantan preman yang sok sokan tobat. Akhirnya sakit sakitan dan meninggal."
Dullah kembali hanya menelan ludah mendengar cerita itu.
"Memangnya pengasuh yang sebelumnya tidak punya keluarga, Kyai?"
Kyai Aminudin terbahak. "Keluarga?"
"Sejak saya kenal dia. Dia itu sudah ditinggalkan keluarganya. Anak istrinya entah dimana. Mungkin istrinya sudah menikah lagi karena memang dulu dia tidak pantas untuk dibilang seorang imam. Pantaslah kalau istrinya kemudian meninggalkan dia."
Ajimukti hanya mengangguk seolah paham dengan apa yang diceritakan Kyai Aminudin.
"Sudah lama itu meninggalnya Kyai?"
"Ya ada kalau tujuh tahun ini. Lebih mungkin. Saya tidak terlalu ingat."
"Dimakamkan disini juga atau dimana, Kyai?"
"Tidak. Dimakamkan di daerah asalnya sana di Jogjakarta sana."
"Loh, sama seperti saya berarti, Kyai? Berasal dari Jogja."
"Iya, tapi saya juga tidak tahu tepatnya."
"Kyai apa tidak ikut di pemakaman pengasuh sebelumnya?"
"Saya mengurus yang disini. Lagipula kesehatan saya waktu itu kurang baik. Sudah banyak santri yang ikut mengiring juga."
Kyai Aminudin menyalakan rokoknya. Asap mengepul di sekeliling teras itu.
"Oh iya. Nama kalian siapa. Kalian belum memperkenalkan diri kan?"
"Maaf, Kyai. Keasikan mengobrol malah belum sempat memperkenalkan diri. Nama saya Ajimukti. Paman saya ini namanya Dullah."
Kyai Aminudin hanya mengangguk.
"Lalu apa kalian sudah tahu persyaratan apa saja yang harus kalian penuhi untuk bisa menjadi santri disini?" Kyai Aminudin kembali menghisap rokoknya.
Ajimukti tersenyum simpul. "Kiranya Kyai menjelaskan agar kami semakin paham."
Kyai Aminudin mematikan rokoknya yang masih setengah itu. Kemudian kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa.
"Sebenarnya mudah saja. Kalian hanya perbulan akan dikenakan biaya dua juta. Itu untuk kelancaran juga fasilitas makan dan lain sebagainya."
Dullah lagi-lagi hanya menelan ludah. Ekspresi wajahnya pun sedikit berubah.
"Hanya itu saja atau ada syarat yang lain, Kyai?"
"Emmm, sementara hanya itu. Dan untuk kitab memang ada beberapa yang harus beli sendiri. Apa kalian sanggup? Kalau keberatan dengan iuran segitu tidak apa-apa."
"Ah tidak, Kyai. Kami sudah mempersiapkannya."
"Baiklah kalau begitu. Nanti biar saya suruh bagian administrasi pondok untuk mengurus pendaftaran kalian."
"Terima kasih, Kyai."
Kyai Aminudin meraih ponsel disakunya. Lalu melakukan panggilan ke seseorang. Hanya beberapa patah kata lalu Kyai Aminudin menutup telefonnya.
Tidak butuh waktu lama seseorang datang menghampiri kami. Seorang pemuda yang terbilang nyentrik dengan kulit putih dan sorot mata yang bagus. Kyai Aminudin mempersilahkannya duduk. Lalu beranjak untuk masuk ke dalam rumah.
Suara pemuda itu agak berat. Mungkin memang karakter suaranya. Beberapa lembar kertas dikeluarkan dari dalam maps besar. Lalu menyodorkannya ke Ajimukti juga Dullah.
"Mas baca ini dulu lalu isi semua ya."
Ajimukti tidak tertarik untuk membaca, ia langsung saja meraih bolpoint yang juga diberikan padanya. Mengisinya dan kembali menyerahkan ke pemuda itu lagi.
Dullah mengamati Ajimukti untuk beberapa saat sebelum dirinya pun menyerahkan selembar kertas pendaftaran.
"Lalu untuk uang pendaftaran juga iuran bulan pertama bagaimana, Mas? Akan ditransfer atau cash?" Tanya pemuda itu sembari mengamati formulir pendaftaran yang Ajimukti serahkan padanya tadi. Tanpa sedikitpun melihat yang diajaknya berbicara.
"Cash saja, Mas."
"Jadi totalnya tujuh juta ya, Mas. Biaya pendaftaran masing satu setengah juta ditambah iuran bulanan dua juta. Masing-masing tiga setengah juta. Jadi untuk dua orang, tujuh juta."
"Baik, Mas."
Lagi-lagi Dullah hanya menelan ludah.
Ajimukti merogoh ranselnya. Mengeluarkan uang yang sudah disiapkannya dari rumah.
"Ini, Mas. Dihitung dulu takut kurang." Ajimukti menyerahkan uang itu ke si pemuda tadi.
Pemuda itu lalu menghitungnya.
"Baiklah pas, Mas. Melihat penampilan kalian, saya pikir kalian akan minta keringanan atau bahkan akan membayar dicicil."
Ajimukti hanya tersenyum. Sementara Dullah terlihat mengepalkan tangannya. Ajimukti sedikit menyentuh punggung tangan Dullah.
"Yasudah, ini sudah beres. Mari ikut saya. Saya akan tunjukkan kamar kalian."
Pemuda itu bangkit kemudian berjalan meninggalkan teras rumah Kyai Aminudin, Ajimukti dan Dullah mengikuti di belakangnya.
"Sombong sekali, Mas." Bisik Dullah.
"Sudah, Lek. Jangan diambil hati."
"Katanya santri yang jago-jago mengaji. Tapi kok ndak ada tatakramanya sama sekali. Angkuh. Sombong."
Ajimukti hanya tersenyum.
Sepanjang lorong menuju ke kamar mereka, pandangan-pandangan tak mengenakkan dari para santri tertuju jelas ke arah Ajimukti dan Dullah.
Tak lama pemuda itu berhenti dan berdiri di sebuah kamar yang pintunya tertutup.
"Ini kamar kalian. Kalian bersihkan sendiri ya. Sudah lama sejak penghuni lamanya boyong, kamar ini sudah tidak dibersihkan. Bukan tidak mau, tapi karena tidak ada dawuh dari Kyai juga karena semua santri disini sibuk mengaji."
Diam-diam Dullah mencibir.
"Yasudah, saya tinggal dulu."
Pemuda itu melangkah pergi setelah membuka pintu kamar itu. Belum ada sepuluh langkah pemuda itu membalik badannya.
"Ingat disini dilarang membuat kegaduhan apalagi keributan."
Ajimukti hanya mengangguk. Dullah sekali lagi hanya bisa menelan ludah.
"Sudah kita masuk, Lek."
Ajimukti dan Dullah masuk kedalam kamar itu. Debu seketika beterbangan. Ajimukti harus mengibas-ibaskan tangannya untuk menghalau debu masuk ke indra penciumannya.
"Kita bersihkan dulu ya, Lek."
"Iya, Mas. Kenapa bisa banyak debu begini ya, Mas."
"Ya karena santri sini sibuk mengaji Lek. Jadi tidak sempat untuk bersih-bersih kamar ini. Kan begitu kata mas nya tadi." Ajimukti menutup ucapannya dengan sedikit tawa. Dullah pun terkekeh.
"Ngomong-ngomong, apa mereka memang seperti itu ya, Mas?"
"Seperti itu bagaimana, Lek?"
"Ya, Mas lihat sendiri tadi bagaimana mereka memandang kita ini. Sepertinya penampilan disini sangat berpengaruh sekali."
"Sudah, Lek. Tujuan kita kesini kan untuk meluruskan itu. Tapi tidak untuk saat ini."
"Iya, Mas. Pada saatnya nanti mereka akan tahu siapa Mas Ajimukti sebenarnya."
Ajimukti hanya tersenyum lalu kembali membersihkan kamar yang semakin penuh dengan debu.
Untuk beberapa saat kamar itu sudah disulap menjadi sangat berbeda dari ketika mereka baru tiba.
Saat Dullah sedang merebahkan tubuhnya, tiba-tiba di pintu kamar ada yang mengetuk.
Tok tok tok!
"Assalamu'alaikum."
Ajimukti segera membuka pintu kamar dibarengi jawaban atas salam seorang dari luar kamar itu.
Ketika pintu dibuka, tiga pemuda yang tadi pagi mengejek mereka di masjid kini berada dihadapan Ajimukti.
"Sudah bagus ya kamarnya." Ucap salah seorang pemuda itu kepada Ajimukti sembari melihat isi kamar.
Dullah segera bangun dari rebahannya dan beralih mendekat ke belakang Ajimukti.
"Alhamdulillah, Mas. Mari silahkan masuk." Ajimukti sebisa mungkin bersikap ramah kepada mereka bertiga.
"Tidak perlu. Kami tidak terbiasa blusukan ke kamar santri lain. Apalagi ke kamar..." Pemuda yang berucap itu menghentikan ucapannya.
Ajimukti paham betul kalimat apa yang akan diucapkan pemuda itu, namun Ajimukti hanya tersenyum tipis.
"Ingat disini setiap sebelum subuh santri harus sudah bangun. Sholat subuh berjama'ah setelah itu mengaji."
"Iya, Mas. Terima kasih sudah di ingatkan."
"Jangan ngebo tidurnya. Mentang-mentang tidur dikasur yang enak entar kalian gak bisa bangun. Gak terbiasa kan kalian."
Dullah merasa kurang suka dengan ucapan pemuda itu. Baru saja hendak melangkah, Ajimukti memegang pergelangan tangannya. Dullah pun menahan langkahnya. Lalu menarik nafas dalam-dalam.
"Sombong sekali mereka." Batin Dullah.
"Ingat kalau tidak ikut berjama'ah akan ada ta'zir dari para santri senior. Ingat itu." Ancam salah seorang pemuda sebelum mereka membalikkan badan beranjak dari kamar Ajimukti.
"Sebentar, Mas." Tiba-tiba Ajimukti menahan langkah mereka. Seketika mereka berhenti dan membalik badan kembali. Pandangan mereka ke Ajimukti penuh tatapan tidak suka.
"Apa lagi?"
"Nama Mas Mas ini siapa ya? Sejak pertemuan tadi pagi kita belum berkenalan."
Mereka bertiga kompak terbahak. Entah apa yang mereka tertawakan.
"Kami berkenalan dengan kalian? Seberapa penting kalian? Hah?" Ucap pemuda yang tadi pagi mengumandangkan Iqomah itu.
"Ya kalau Mas Masnya tidak keberatan saja." Ajimukti sedikit membungkuk dan menempelkan kedua telapak tangannya.
"Mungkin kalian yang ingin tahu nama kami. Ya kan?"
Ajimukti tersenyum.
"Nanti kalau sudah tahu nama kami, kalian diluar pondok akan bilang kalau kalian berteman dengan kami."
"Halah, kami tahu akal model kalian ini." Imbuh pemuda yang lain.
Sekali lagi Ajimukti hanya tersenyum. Dullah lagi-lagi hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
"Baiklah. Kalian ingat baik-baik ya. Nama saya Imam Raharja bin Raharja bin KH. Abu Bakar. Kamu tahu Kyai Abu Bakar?"
Ajimukti menggeleng.
"Pantas kamu tidak tahu nama besar kakekku. Tampang preman macam kamu tahu apa dunia pesantren."
Ajimukti hanya terdiam. Dullah kembali menelan ludah.
"Kakekku adalah seorang kyai kondang di Jawa Timur. Pondoknya pun memiliki ribuan santri. Dan sekarang pamanku yang meneruskan pondok peninggalan kakekku."
"Oh, lalu kenapa Mas Imam tidak mondok di pondok kakek Mas Imam saja." Ajimukti nyeletuk tiba-tiba.
Pemuda bernama Imam terbahak di ikuti kedua pemuda yang lain.
"Sudahlah saya jelaskan pun kamu tidak akan paham." Sembari mengibaskan tangannya.
"Ya ya ya." Ajimukti mengangguk seolah paham. "Lalu kalau Mas berdua ini namanya?" Imbuhnya kemudian.
"Panggil saja saya Khalil. Saya masih saudara dengan Imam. Bapakku adik bapaknya Imam. Bisa dipahami kan? Jadi tidak perlu saya jelaskan lagi kan?"
Ajimukti sekali lagi mengangguk.
"Kalau saya Budi Nugroho. Sudah itu saja yang perlu kamu tahu. Kalau saya cerita banyak-banyak, kamu juga mana tahu." Kata pemuda yang tadi pagi mengumandangkan iqomah di masjid.
Ajimukti hanya lagi-lagi mengangguk.
"Sudah tahu kan nama kami. Oiya, tidak usah kalian memperkenalkan nama kalian. Tidak penting juga untuk kami."
"Dan lagi kami bisa mencari tahu di bagian pendataan santri."
Mereka pun beranjak, Ajimukti hanya memandang dengan diam sampai mereka berbelok diujung lorong.
"Ada ya Mas manusia seperti mereka. Sombongnya amit-amit." Dullah kemudian geleng-geleng kepala.
"Ya adalah, Lek. Itu mereka buktinya."
Dullah kini tertawa.
"Ya kok ada gitu lho, Mas."
"Ya kalau tidak ada yang semacam mereka mungkin tidak asik, Lek."
Dullah lagi-lagi tertawa dengan ucapan nyeplos Ajimukti.
"Semoga mereka segera diberi hidayah ya, Mas."
Ajimukti melirik ke arah Dullah.
"Kenapa, Mas?" Tanya Dullah keheranan dengan tatapan Ajimukti.
"Kalau mereka dapat Hidayah. Trus Kyai Aminudin dikemanakan, Lek? Kan Hidayah sudah atas kepemilikan Kyai Aminudin."
Seketika Dullah melepas tawanya. Kini benar-benar lepas seolah kesombongan kesombongan yang ia temui dan sempat membuatnya naik darah tidak pernah ia temui hari ini.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Fatkhur Kevin
sifat sombong membawa petaka
2023-09-18
0
Daliffa
😂💪🙏🙏
2022-04-21
0
Hergozin Cristina
ma sha Allah, ada santri kek gitu ya
2022-03-30
0