Siang ini Ajimukti sedang menikmati rerebahannya digelaran tikar kamarnya. Entah kenapa pagi yang tadinya terlihat mendung justru siang harinya begitu panas menyengat. Disebelahnya Dullah terdengar sudah mendengkur. Beberapa kali Ajimukti geleng kepala ketika dengkuran Dullah terdengar mengeras.
Tak lama terdengar pintu kamar diketuk. Ajimukti segera bangun, membenarkan sarungnya dan membuka pintu kamar. Diluar kamar terlihat santri dari kamar sebelah sudah berdiri disana.
"Assalamu'alaikum." Santri itu lalu mengucap salam begitu daun pintu terlihat dibuka.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Ajimukti sedikit terheran. "Ada apa ya, Mas?" Tanyanya kemudian.
"Anu, Mas Aji. Itu. Mas Aji dipanggil Gus Faruq suruh kelantai tiga. Sekarang katanya." Ucap santri itu kemudian.
"Oh iya. Terima kasih, Mas."
Santri itu hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan kamar Ajimukti.
Untuk sesaat Ajimukti bertanya dalam hati. Kiranya ada perlu apa Faruq memanggilnya. Tanpa pikir panjang Ajimukti segera menutup pintu kamar dan melangkah menuju lantai tiga seperti kata santri tadi.
Ajimukti berjalan sedikit tergesa menaiki tangga sambil membenarkan kancing lengan bajunya. Sempat ia hampir terpeleset karena tidak fokus memperhatikan anak tangga. Dan tiba tiba....
Brukk!!!
Ajimukti bersenggolan dengan seseorang. Beruntung orang itu sempat menghindar. Kalau tidak mungkin mereka sudah bertabrakan.
Ajimukti tersadar dari lamunannya. Dipandangnya orang itu. Ternyata seorang gadis yang usianya mungkin dua tiga tahun dibawahnya. Gadis itu pun sesaat memandang Ajimukti. Untuk sepersekian detik mereka beradu pandang. Menyadari itu segera Ajimukti membuang pandangannya. Begitu juga dengan gadis itu.
"Maaf. Maaf." Ucap Ajimukti dengan sedikit tertunduk.
"Saya juga minta maaf." Ucap gadis itu dengan suara lembut.
"Saya permisi dulu." Ucap gadis itu kemudian lalu kembali berjalan berlawanan arah dengan Ajimukti.
Setelah gadis itu pergi, Ajimukti baru berani mengangkat kepalanya memandang gadis itu berlalu menjauh dari tempatnya berdiri.
Perawakan gadis itu kecil ramping tidak terlalu tinggi. Mengenakan abaya terusan berwarna hijau yang membuatnya terlihat anggun.
Ajimukti menggeleng gelengkan kepalanya. Lalu berjalan kembali menuju lantai tiga. Mungkin Faruq sudah cukup lama menunggunya.
Di lantai tiga Ajimukti sedikit bingung. Ia tidak tahu di ruangan mana Faruq menunggunya. Ia lupa bertanya pada santri yang tadi datang ke kamarnya.
Ajimukti hanya bisa menggaruk garuk kepalanya. Kebingungan.
"Cari siapa?" Tiba tiba suara dari arah belakang mengagetkannya.
Ternyata Manan sudah berdiri disana. Ajimukti menarik nafas lega.
"Gus Faruq ingin bertemu saya. Kamu tahu dimana kamarnya? Ini pertama saya naik ke lantai tiga. Bingung saya." Cerocos Ajimukti.
Tanpa menjawab Manan mengarahkan tangan ke arah sebuah kamar yang sedikit terbuka.
Tanpa banyak bicara Ajimukti segera melangkah ke kamar itu. Berdiri di depan kamar lalu menoleh ke arah Manan. Tangannya menunjuk kamar itu, gerakan bibirnya seolah bertanya, "Ini?"
Manan hanya mengangguk pelan.
Ajimukti segera mengetuk pintu kamar itu. Dari dalam terdengar langkah mendekat lalu pintu kamar itu terbuka. Ajimukti segera mengucap salam.
Dengan hanya mengenakan kaos putih polos dipadu dengan sarung corak batik, Faruq menyambut kedatangan Ajimukti dengan senyumnya lalu mempersilahkannya masuk.
Ajimukti duduk di atas karpet yang cukup empuk. Berbeda dengan yang di kamarnya hanya tikar biasa.
"Mau minum apa Kang Aji?" Ucap Faruq kemudian.
"Ah tidak usah repot repot, Gus. Baru saja tadi minum dikamar."
"Santai saja, Kang. Kopi ya, Kang?" Faruq menawarkan kopi. Ajimukti akhirnya mengangguk. Tidak enak juga kalau menolak.
Tak lama Faruq membawa dua cangkir kopi panas, satu untuknya, satu untuk Ajimukti. Lalu ikut duduk berhadapan dengan Ajimukti.
"Ada apa ya, Gus? Kok tiba tiba memanggil saya kesini." Tanya Ajimukti ingin segera melepas rasa penasarannya.
"Begini, Kang Aji. Langsung saja kalau begitu." Faruq menarik nafasnya sebelum melanjutkan ucapannya.
"Soal kompetisi. Kang Aji juga sudah tahu kan?" Tanya Faruq kemudian.
Ajimukti mengangguk. Tapi sejujurnya ia tidak paham arah pembicaraan Faruq.
"Ini ada usulan dari santri tapi tidak ingin disebutkan namanya. Dia menyarankan ke saya untuk mengajukan nama Kang Aji di kompetisi itu."
Deg!
Ajimukti tersentak. Ekspresi kagetnya jelas terlihat. Faruq pun menyadari itu.
"Loh kok saya, Gus. Apa tidak salah? Saya nyantri disini baru dua hari. Saya masih kelas diniyah itu, Gus." Sahut Ajimukti kemudian.
"Saya pun berpikir serupa, Kang. Tapi entah kenapa orang yang mengajukan nama Kang Aji itu meyakinkan saya kalau Kang Aji ini sebenarnya bukan santri baru biasa."
Ajimukti mengerutkan keningnya. Dia mengira ira siapa sebenarnya yang mengajukan namanya tanpa persetujuannya. Apalagi orang itu tidak mau disebutkan namanya.
Lalu Ajimukti ingat sesuatu.
"Oh iya, Gus. Bukankah kemarin Gus Faruq sama Gus Ali sudah meminta Kang Manan untuk mewakili Pondok Hidayah di kompetisi itu?"
"Kang Manan sudah mengkonfirmasi. Beliau menolak untuk ikut kompetisi itu. Padahal ya sebenarnya saya berharap Kang Manan mau."
Ajimukti dihadapkan pada pilihan yang sulit. Apa dirinya harus menolak seperti Manan atau bagaimana.
"Tapi sejujurnya saya pun tidak bisa, Gus. Apalagi bahasa Arab. Baca Qur'an saja saya baru belajar iqro' jilid satu."
"Saya tahu itu, Kang Aji. Itu juga sudah saya sampaikan ke orang yang mengajukan nama Kang Aji. Tapi orang itu benar benar meyakinkan saya."
Ajimukti memegang kepalanya sendiri. Kebingungan kini yang dirasakannya. Bisa bisa semua terbongkar di awal. Tapi ini juga kesempatan Ajimukti untuk mencari nama disini agar dirinya bebas bergerak.
"Bagaimana, Kang?" Tanya Faruq sekali lagi.
Ajimukti masih terdiam. Faruq menyadari itu. Diberikannya ruang untuk Ajimukti berfikir sebelum memutuskan.
Ajimukti masih diposisi kebingungan untuk mengambil keputusan. Kini pikirannya justru tertuju pada dua hal. Dia belum begitu mengenal Faruq juga siapa orang yang mengajukan namanya.
Ada beberapa nama yang melintas dilikiran Ajimukti tapi Ajimukti pun belum begitu yakin.
Ajimukti menarik nafas panjang. Faruq menyadari itu. Tapi entah kenapa ekspresi Faruq kini berubah. Faruq merasakan perbedaan dari diri Ajimukti.
"Lebih baik kopinya diminum dulu, Kang." Faruq mempersilahkan Ajimukti.
Ajimukti meraih cangkit kopi didepannya lalu menyeruputnya sekali. Cukup bisa melegakan pikirannya saat ini.
Faruq berdiri meraih sesuatu. Lalu menyodorkannya pada Ajimukti.
"Ini asbak, Kang. Merokok saja kalau mau merokok. Saya sendiri memang sudah lama berhenti merokok, tapi dikamar, saya sedia asbak, njagani kalau ada tamu yang mau merokok."
"Terima kasih, Gus." Ucap Ajimukti.
Ajimukti tidak sungkan lagi. Ia merogoh bungkus rokok di sakunya lalu mengambil sebatang dan menyalakannya. Untuk sesaat Ajimukti merasa tenang.
Faruq mencoba mencairkan ketegangan untuk sesaat dengan bercerita tentang pengalamannya selama nyantri di pesantrennya yang dulu sebelum ditarik Kyai Aminudin untuk mengajar di Pondok Hidayah. Ajimukti tidak menemukan sesuatu pada Faruq seperti yang ia temukan pada para pengurus pondok, santri santri senior bahkan Kyai Aminudin sendiri.
Ajimukti menghisap rokoknya dalam dalam. Lalu menghembuskan asapnya. Asap rokok dengan cepat mengepul dari mulut juga kedua lubang hidungnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Rohad™
Ayo Aji bungkam omongan mereka yang meremehkanmu 😄
2023-10-30
1
Tirta Kamandanu
Sip...
2022-04-06
0
Karebet
belum nyaho elmu gus ajimukti
2021-10-07
6