Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 10 | Gonjang Ganjing terus sampe cerai beneran
Weekend kali ini terasa berbeda. Anala baru pertama kali mengetahui bahwa ternyata Nathael memiliki seorang mentor belajar yang rutin mengajarinya setiap 2 minggu sekali. Bukan pure mentor, tapi bisa jadi psikolog juga yang selama ini mendampingi mental Nael yang berantakan diabaikan oleh ibunya.
"Dia siapa?" tanya Anala sambil berbisik ditelinga Elliot. Mereka berdiri agak jauh, memperhatikan Nathael yang sedang belajar dengan perempuan itu.
Pria itu mendelik lalu bicara sambil mengangkat satu alisnya. "Kamu nggak tau? Maria itu mentor Nael. Dia yang selama ini dengerin keluh kesahnya sebagai seorang psikolog anak."
Anala terperanjat, matanya menyipit penuh rasa penasaran. "Kenapa Nael butuh psikolog?"
Jawaban Anala membuat Elliot mengernyit, keningnya bahkan berkerut membentuk banyak garis halus. "Kamu tanya kenapa? ya karena kamu lah. Kamu kan nggak pernah ada buat dia. Gimana sih?" nada suaranya jelas nggak santai, sengaja menohok dengan gaya.
Sial, Elliot selalu pandai membuat Anala merasa jadi ibu terburuk sedunia.
Setelah bicara to the point seperti itu, Elliot berjalan gontai menuju tempat belajar Nael bersama wanita bernama Maria itu. Anala hanya bisa diam memperhatikan kedekatan mereka bertiga, seolah sosoknya sudah lama terganti oleh kehadiran wanita itu.
Jangan bilang selama ini Elliot dan Nael mulai ngerasa nyaman sama psikolog itu?
Hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setidaknya Anala harus mengambil langkah agar miliknya tak direbut oleh orang lain.
Anala melangkah mendekat, lalu duduk tepat disebelah anak semata wayangnya. "Lagi bikin apa sayang?"
Nathael yang sebelumnya sibuk dengan pensil dan kertas, sedikit mengalihkan pandangan ketika Mamanya bicara. "Nael disuruh bikin gambar sama bu guru, Ma."
"Oh ya, gambar apa?" lanjut Anala sambil mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat pada gambar anaknya.
Namun alih-alih Nathael yang bicara, si mentor itu malah lebih dulu memotong pembicaraan mereka dengan percaya diri. "Saya menyuruh Nathael menggambar apapun yang terlintas dalam bayangannya, ini salah satu metode untuk mengasah kreativitas anak."
Anala hanya diam dan mengangguk dengan gestur tubuh. Setuju dengan pendapat wanita itu, kreativitas anak memang perlu untuk lebih dikembangkan.
Nathael mendekatkan gambarnya lalu membiarkan Anala melihat lebih jelas dari sudut pandangnya. "Lihat ini Ma, Nael lagi bikin gambar kapal besar." tangannya mengangkat kertas itu lalu tersenyum sambil memiringkan kepala.
"Apa boleh kalau liburan nanti kita naik kapal aja Ma?" lanjutnya dengan nada antusias.
Anala tersenyum mengamati gambar Nathael yang belum sepenuhnya selesai. Hanya ada kerangka kapal dengan garis yang dibuat sesuka hati. Lalu tangannya terangkat menyentuh surai halus itu. "Boleh aja, asal Papa setuju."
Setelah itu, Nathael beralih memandang Elliot yang sedang duduk sambil memangku tangan memperhatikan interaksi Nathael dengan sang Mama. Matanya menyipit sambil menautkan tangan tanda memohon. "Boleh ya pa? Nael mau liburan naik kapal besar sama Mama dan Papa."
Elliot mengangguk mantap dengan senyuman samar. "Iya, nanti kita pergi."
Mendengar jawaban Papa yang setuju, Nathael langsung melonjak bahagia lalu menghamburkan tubuhnya dalam pelukan Papa bergantian dengan Mama. "Yeay, makasih Papa, makasih Mama."
Mereka terlihat seperti keluarga bahagia dengan sisi hangat tak terbantahkan. Perlahan rasa bahagia itu menjalar menggelitik hati, rasanya Anala tak ingin lagi bangun jika memang semua yang terjadi selama ini hanya mimpi.
Disisi lain, Maria mengepalkan tangannya. Raut wajahnya berubah keruh tanda tak suka. Ia bertingkah seolah merasa kesal dengan kebahagiaan orang lain.
Ia membatin dengan tatapan penuh jengkel. Sialan. Kenapa wanita ini tiba-tiba berubah jadi baik?
"Permisi Tuan, di depan ada tamu dari akademi seni Sedaya. Mereka ingin bertemu dengan Tuan sekaligus mau bicara langsung dengan tuan muda."
Suara itu menjeda momen hangat mereka. Elliot langsung berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan pada Nathael. "Ayo kita ke depan, Nael."
Nathael mengangguk dan meraih tangan Papanya, namun Anala juga tak mau kalah. Ia menahan pelan lengan Elliot. Matanya menatap dengan polos. "Ada perlu apa mereka dengan Nathael?"
Elliot melirik tangannya yang tiba-tiba diraih oleh Anala. Ia mengerutkan kening lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. "Aku udah daftarin Nael di akademi seni, mungkin mereka mau tanya buat pendekatan awal."
Anala sontak terkejut, ia tak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. "Kamu nggak ngasih tau aku?" tanya Anala tak percaya. Tangannya masih menggenggam erat tangan Elliot.
Elliot mendesah, tangannya mendadak singgah dipelipisnya. "Aku udah bahas ini sebulan lalu." matanya terpejam, lalu saat kembali nyalang, ia menatap Anala dengan datar. "Mungkin kamu lupa karena nggak begitu peduli."
Tanpa penjelasan apapun lagi, Elliot menggiring Nathael pergi meninggalkan ruangan belajar itu. Meninggalkan Anala yang diam membisu dengan rasa bersalah, dan juga Maria yang semakin panas dengan segala hal yang terjadi didepan matanya.
Menyebalkan, batin Maria makin tak suka.
Maria harus melakukan sesuatu. Ia menoleh pada gambar yang beberapa waktu lalu ditunjukkan oleh Nathael padanya. Dengan bangga ia meraih gambar itu dan menunjukkannya dengan percaya diri pada Anala. "Ini salah satu gambar yang pernah dibuat oleh Nathael."
Anala meraih gambar itu lalu tersenyum sumringah. Anaknya punya bakat seni yang sama dengannya. "Wah, gambar apa ini? keluarga yang bahagia?"
Maria terkekeh pelan, sambil sengaja menutupi sedikit bagian mulutnya dengan tangan. "Kamu nggak berpikir kalau perempuan yang disebelah kiri itu adalah dirimu kan, Anala?"
Sontak Anala menegang. Ia tak percaya pada kata yang baru saja diucapkan oleh mentor ini padanya. "A–apa maksud kamu?" tatapannya tajam penuh intimidasi.
Namun wanita itu bukannya takut, ia malah memegang bahu Anala dan bertingkah sok akrab. "Hei yang benar saja, khayalanmu berlebihan." Maria menunjuk gambar perempuan disebelah kiri itu lalu telunjuknya beralih padanya. "Ini aku, bukan kamu!"
"Hah?" sekali lagi Anala tercengang oleh kata-kata itu. Ia menggeleng tak percaya, namun wanita bernama Maria itu terlihat sangat percaya diri dengan ucapannya.
Maria bersedekap dada lalu mencondongkan tubuhnya pada Anala, ia membisikkan sesuatu ditelinga Anala. "Mana mungkin ini kamu? seorang ibu yang bahkan tidak pernah ada untuk Nathael."
Anala terpaku oleh kata-kata yang terdengar seperti sebuah tamparan. Tangannya mengepal, tatapannya bergetar, sungguh menyesakkan.
"Kamu memilih mengabaikan anak dan suamimu, jadi jangan salahkan aku kalau Elliot dan Nathael mulai menggantikan posisimu dengan kehadiranku." bisiknya lagi sambil perlahan menjauhkan dirinya dari tubuh Anala.
Anala merasa kesal, ia ingin menampar wanita kurang ajar ini namun di tahan. Ia mengambil napas panjang lalu membuangnya perlahan. Tatapannya berubah datar, seolah dibuat tak terpengaruh ucapan Maria. "Kenapa kamu bicara nggak sopan seolah kita udah kenal lama?"
Maria memutar mata dengan tatapan malas, tangannya masih betah bersilang didada. "Anala, kamu nggak ingat kalau dulu aku dan Elliot pernah dekat?"
"Kapan?" tanya Anala makin membingungkan. Ia tak merasa kenal dengan perempuan ini sedikitpun. Tak ada ingatan tentangnya yang terbayang.
Wajah Maria berubah makin kusut. Tangannya yang semula menyilang mendadak runtuh sambil memberi penjelasan dengan putus asa. "Saat kita masih kuliah! Aku dan Elliot sering terlibat dalam organisasi yang sama, kamu sengaja lupa?"
Sudah diduga, semua yang terjadi setelah usia 18 tahun tak sekalipun singgah dalam ingatan Anala.
Sambil berdecak kesal, ia menantang Maria dengan kalimat sederhana. "Ck, lalu kamu mau apa?"
"Aku?" tunjuk Maria pada dirinya, "Ya aku mau gantiin posisi kamu lah. Aku bisa ngurus Elliot dan Nathael lebih baik daripada kamu."
Sekali lagi Anala menghela napas berat, matanya terpejam sejenak untuk sekedar menarik napas dalam-dalam. "Emangnya Elliot mau? kamu pikir anakku bisa terima?"
Anala tak merasa gentar, namun wanita bernama Maria itu terlihat tangguh dengan kepercayaan dirinya. Maria menatap Anala dengan remeh, senyuman sarkas terangkat disebelah bibirnya
"Astaga, kamu benar-benar nggak paham posisimu sekarang. Nathael bahkan jauh lebih dekat denganku daripada dengan ibunya sendiri," tunjuk Maria makin tak sopan.
"Dan soal Elliot? ya agak sulit memang, karena dia terlalu cinta sama kamu. Tapi aku yakin demi Nathael dia akan nerima aku." lanjutnya masih dengan keteguhan hati yang sama kerasnya.
Melihat wanita itu yang menganggap dirinya sudah menang bahkan sebelum bertarung membuat Anala merasa geli. Ia membalas dengan tatapan tak kalah remehnya, bibirnya menyunggingkan senyuman sarkas. "Jangan mimpi terlalu tinggi! jika dulu kamu nggak bisa rebut Elliot dari aku, sekarang pun akan tetap begitu. Sadari kemampuan diri kamu yang nggak seberapa itu!"
Maria tertawa sinis, tak lupa dengan pandangan remehnya. Ia membuka ponselnya lalu menunjukkan sebuah foto dirinya bersama Elliot dan Nathael. "Kamu bisa lihat ini."
Foto itu membuat Anala terpana, Nathael berdiri diantara mereka seolah diapit oleh kedua orangtuanya. Nafasnya tercekat, meski awalnya percaya diri namun foto ini seakan jadi pukulan berat untuk Anala.
"Kenapa kamu bisa punya momen kayak gini sama Nathael dan Elliot?" suaranya tertahan, nyaris seperti dibungkam. Anala bisa membayangkan kekalahan telak karena sebuah foto yang dimiliki oleh wanita itu.
Kegugupan Anala membuat Maria merasa diatas angin. Ia tersenyum bangga seolah menggenggam dunia di telapak tangannya. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman remeh yang merendahkan. "Ini foto yang diambil saat Nathael ikut perlombaan seni sebulan lalu," ucapnya tenang.
Maria melangkah memutari Anala, dia bertingkah layaknya Nyonya rumah. "Karena kamu sibuk dengan urusan yang nggak jelas, aku mengajukan diri untuk menemani Nathael. Dia sangat butuh peran seorang ibu, dan kamu gagal memenuhinya."
Anala meneguk ludah dengan kasar, matanya perlahan memanas. Giginya gemertak gugup, bibirnya masih bungkam tidak tau harus membalas apa.
Bagaimana ini? gimana kalau ternyata hubungan mereka memang spesial?
Semakin panik wajah Anala, semakin puas yang dirasakan Maria. Ia kembali mengangkat ponsel itu tinggi lalu menunjukkannya sekali lagi pada Anala yang masih tertegun. "Kami bertiga terlihat seperti keluarga sungguhan kan?" tukasnya makin tak tau arah.
Anala meremas bantalan sofa yang ia duduki, matanya menatap Maria setajam silet. Perlahan senyuman miring terlukis diwajah cantiknya, bersama dengan senyuman remeh yang menyebalkan.
"Memangnya kenapa kalau terlihat seperti keluarga sungguhan? toh kenyataannya tetap nggak berubah, aku masih istri sahnya Elliot." suaranya berubah tegas meski sedikit ada getaran halus.
Anala makin dekat dengan Maria, ia mencengkram bahu Maria dengan senyuman lebar. "Sedangkan kamu? ya masih sama seperti dulu, mengharapkan milik orang lain yang bahkan nggak pernah peduli dengan keberadaan kamu."
Maria langsung menghempaskan tangan Anala, lalu mengibasnya seperti terkenal debu. Sudut bibirnya terangkat menyunggingkan senyum sarkas. "Entahlah, mungkin Elliot yang dulu berbeda dengan Elliot yang sekarang. Mana ada pria yang tahan diabaikan oleh istrinya selama bertahun-tahun?"
Lagi-lagi ucapan Maria tidak dapat disangkal. Anala jatuh dalam jurang kekalahan tanpa bisa bangkit dengan jawaban yang menyelematkan.
Apa mungkin Elliot punya wanita lain didalam hatinya?