Dikhianati. Dituduh berkhianat. Dibunuh oleh orang yang dicintainya sendiri.
Putri Arvenia Velmora seharusnya sudah mati malam itu.
Namun takdir memberinya satu kesempatan—hidup kembali sebagai Lyra, gadis biasa dari kalangan rakyat.
Dengan ingatan masa lalu yang perlahan kembali, Lyra bersumpah akan merebut kembali takhta yang dirampas darinya.
Tapi segalanya menjadi rumit ketika ia bertemu Pangeran Kael…
Sang pewaris baru kerajaan—dan reinkarnasi dari pria yang dulu menghabisi nyawanya.
Antara cinta dan dendam, takhta dan kehancuran…
Lyra harus memilih: menebus masa lalu, atau menghancurkan segalanya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Senja Kejatuhan dan Pelajaran Sang Raja
Pagi hari setelah Perayaan Panen, udara di Istana terasa tegang. Berita penolakan undang-undang gandum oleh Pangeran Kael menyebar cepat, menimbulkan kegembiraan di kalangan rakyat jelata dan kepanikan tersembunyi di kalangan bangsawan.
Lyra, yang kembali ke perannya sebagai pelayan/penjahit, merasakan adrenalin yang mengalir. Ia tahu hari ini adalah hari kehancuran Duke Renald.
Tiba-tiba, Nyonya Cressida memanggilnya. "Lyra, Pangeran Kael membutuhkan pelayan untuk menyiapkan minuman hangat di Ruang Dewan sebelum pertemuan. Hanya yang terpercaya. Kau ikut denganku."
Ini adalah undangan langsung yang Lyra tunggu-tunggu. Lyra dan Nyonya Cressida memasuki lorong menuju Ruang Dewan—pusat kekuatan politik Eteria.
Lyra melangkah ke ruangan yang megah itu. Dindingnya ditutupi oleh permadani tebal yang menggambarkan sejarah Velmora. Di ujung ruangan, meja kayu ek besar berbentuk tapal kuda. Di sanalah ia pernah duduk sebagai Putri Mahkota.
Lyra bergerak cepat, menata cangkir teh, tetapi matanya mengamati. Di antara kursi-kursi bangsawan yang sudah ditempati, Duke Renald duduk dengan tegang. Di sebelahnya, Countess Delia tampak menyebarkan desas-desus dengan senyum sinis.
Dan yang paling penting: Lord Cassian duduk sendirian, pucat, menatap ke kejauhan. Wajahnya menunjukkan bahwa ia belum tidur sejak Lyra menanamkan benih ancaman padanya.
Pintu terbuka. Pangeran Kael masuk, memancarkan ketenangan yang menipu. Lyra merasakan Kael mengalihkan pandangannya sebentar ke Lyra, sebuah tatapan yang Lyra balas dengan sinyal halus ke arah Lord Cassian—dia akan retak.
Kael duduk di kursi utama. Pertemuan dimulai.
"Duke Renald," Kael memulai tanpa basa-basi. "Mari kita bahas undang-undang gandum yang Anda usulkan. Mengapa Anda berpikir menolak air dari peternak kecil adalah kebijakan yang bijaksana?"
Renald, yang terbiasa mendominasi, mencoba mempertahankan diri. "Yang Mulia, ini adalah modernisasi! Kami harus mengkonsolidasikan sumber daya. Peternak kecil itu tidak efisien!"
Lyra mengamati. Kata-kata Renald terdengar kosong, dipenuhi ego, bukan substansi.
Kael mendengarkan dengan sabar, tetapi kemudian tiba-tiba melancarkan serangan.
"Saya telah menerima surat anonim yang menyatakan bahwa undang-undang ini akan menguntungkan peternakan tertentu, yang baru saja dibeli dengan harga murah dari dana yang diduga berasal dari uang suap untuk meloloskan undang-undang itu sendiri." Kael berhenti. "Lord Cassian, Anda memiliki peternakan di wilayah itu, bukan?"
Semua mata tertuju pada Cassian. Lyra menahan napas. Ini adalah momen kebenaran Lyra.
Lord Cassian gemetar. Ia menatap Renald, yang menggelengkan kepala dengan marah, isyarat agar Cassian diam. Tetapi mata Lyra yang dingin dan penuh pengetahuan tentang masa lalu Valerius telah menguasai ketakutan Cassian.
"Tidak! Saya... saya tidak tahu tentang suap itu, Yang Mulia!" Cassian berteriak, panik. "Tapi saya tahu Duke Renald—"
"Cassian!" raung Renald.
"Dia menyuap saya! Dia berjanji akan memberi saya air di sungai lain jika saya menjamin dukungan Dewan!" Cassian runtuh, menutupi wajahnya.
Kael tetap tenang. "Terima kasih, Lord Cassian, atas kejujuran Anda yang terlambat. Para pengawal!"
Saat Duke Renald dibawa keluar, dikawal oleh pengawal, pandangannya bertemu dengan Lyra. Renald tidak melihat Lyra si pelayan. Renald melihat kegagalan dan akhir dari ambisinya.
Lyra merasakan gelombang kepuasan yang luar biasa. Ini adalah balas dendam yang manis dan dingin. Ia tidak membunuh Renald, tetapi ia telah menghancurkan kekuasaan bangsawan yang menuduhnya.
Malam harinya, setelah kegaduhan di Dewan, Lyra dipanggil ke Ruang Kerja Kael. Ruangan itu hanya diterangi oleh perapian yang menyala. Suasana kali ini jauh lebih santai, namun keintiman yang terjalin terasa lebih mengancam daripada amarah Renald.
"Kau berhasil, Arvenia," Kael menyambutnya. Dia telah mengganti jubah kerjanya dengan pakaian beludru sederhana.
"Anda yang berhasil, Yang Mulia," balas Lyra, berdiri di tengah ruangan. "Anda menggunakan Cassian dengan sempurna."
"Tidak. Kau yang menanamkan rasa takut di matanya di Perayaan Panen," Kael berjalan mendekat. "Kau tahu, para bangsawan ini takut pada dua hal: kehilangan kekayaan dan pengetahuan tentang rahasia mereka. Kau memberi Cassian yang kedua."
Kael menuangkan dua gelas anggur merah. "Anggur Velmora. Dibuat di perkebunan leluhurmu."
Lyra menerima gelas itu. Aroma anggur itu membangkitkan ingatan tentang pesta dan perayaan kerajaan yang damai.
"Minum bersamaku, Lyra," Kael mengangkat gelasnya. "Untuk kehancuran musuh pertamamu."
Lyra menyesap anggur itu. Rasanya kaya, dalam, dan hangat.
Kael duduk di mejanya, menyandarkan tangan di sana. "Kau belum meminta takhtamu, Arvenia."
"Ada banyak bangsawan lain yang harus disingkirkan," Lyra membalas, menikmati perasaan bekerja sama dengan kekuatan yang begitu besar. "Renald hanyalah awal."
"Dan Valerius?" tanya Kael, nadanya lembut, menguji. "Apakah kau masih menyimpan dendam padanya, meskipun kau tahu ia mati sebagai martir yang terlambat?"
Lyra menatap ke dalam anggurnya. "Valerius adalah pelajaran. Bahwa cinta pribadi bisa menjadi pengkhianatan terbesar. Saya tidak akan mengulangi kesalahan itu."
Kael bangkit dan berjalan mengelilingi Lyra. "Itu jawaban yang bagus. Itu berarti kau tidak akan lagi jatuh cinta pada seorang Pangeran yang lemah."
"Saya tidak akan jatuh cinta pada siapa pun, Yang Mulia," tegas Lyra, berusaha menjaga pertahanan emosionalnya tetap tegak.
Kael berhenti tepat di belakangnya. "Itu adalah kebohongan yang paling jelas yang pernah kau ucapkan, Arvenia."
Kael mengambil gelas Lyra, meletakkannya di meja. Tangannya menyentuh bahu Lyra.
"Kau berapi-api, ambisius, dan kehendakmu kuat," bisik Kael, suaranya kini kembali ke dialek kuno. “Aku melihat diriku dalam dirimu, penguasa kuno dalam keturunan barunya.”
Kael membalikkan Lyra menghadapnya. Keintiman di ruangan itu kini terlalu tebal.
"Aku tahu kau datang ke Istana untuk merebut kembali. Tapi kau sekarang terikat padaku. Kita adalah dua jiwa yang seharusnya tidak bertemu, namun terjalin oleh takdir," Kael menunduk, matanya menatap tajam ke mata Lyra.
“Bangkit Setelah Terluka” bukan sekadar kisah tentang kehilangan, tapi tentang keberanian untuk memaafkan, bertahan, dan mencintai diri sendiri kembali.
Luka memang meninggalkan jejak, tapi bukan untuk selamanya membuat kita lemah.
Dalam setiap air mata, tersimpan doa yang tak terucap.
Cinta, pengorbanan, dan air mata menjadi saksi perjalanan hidup seorang wanita yang hampir kehilangan segalanya—kecuali harapan.
“Bangkit Setelah Terluka” menuturkan kisah yang dekat dengan hati kita: tentang keluarga, kesetiaan, dan keajaiban ketika seseorang memilih untuk tetap bertahan meski dunia meninggalkannya.
Bacalah… dan temukan dirimu di antara setiap helai kisahnya.