Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Air Di Kolam Ikan
...BAB 10...
...PERANG AIR DI KOLAM IKAN...
Matahari mulai condong ke barat, menyapu langit pesantren dengan semburat jingga. Santri-santri duduk rapih di serambi masjid, kitab di tangan, siap mendengarkan pengajian sore.
Ustad Jiyad duduk di depan, membuka kitabnya dengan tenang. Di antara para santri, Arabella duduk di barisan tengah, bersandar santai dengan wajah puas. Dia masih teringat kejailannya tadi siang dan dia merasa menang besar.
Namun, tanpa dia sadari, Balwa, Balwi dan Devan yang duduk beberapa baris di belakangnya sedang merancang balas dendam.
“Operasi pembalasan Arabella dimulai!” bisik Devan, matanya berbinar penuh semangat.
“Eksekusi pas pengajian dimulai,” tambah Balwi sambil tersenyum licik.
Balwa hanya mengangguk, menahan tawa. “Cih... Biar dia tau rasa dia.”
Serangan dimulai, ketika Ustad Jiyad mulai menjelaskan tafsir ayat, Balwi diam-diam mengeluarkan sehelai benang dari kantongnya. Dia lalu dengan hati-hati mengikat ujung kerudung Arabella ke sandaran kayu tempatnya duduk.
Devan yang duduk agak ke samping, merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu yang licin sebutir kelereng bening. Dengan sekali gerakan cepat, dia meletakkannya di samping kaki Arabella.
Sementara Balwa? Dia hanya tersenyum. Rencana sudah berjalan sempurna. Beberapa menit berlalu tanpa masalah, sampai akhirnya...
“Arabella, tolong bacakan ayat berikutnya.”
Suara Ustad Izzan membuat Arabella tersentak. Dia segera mengambil kitabnya dan berusaha berdiri...
TARAAAAKKKK!!
Kerudungnya tertarik! Dia hampir jatuh ke belakang karena terikat erat ke sandaran.
“Whaat The—“
Belum selesai dia protes, Devan berdehem pelan dan menyenggol kelereng kearah kakinya.
BLETUKKK!!
Arabella kehilangan keseimbangan dan dengan sangat tidak anggun, dia terduduk kembali dengan ekspresi syok. Suasana yang awalnya khusyuk langsung berubah. Beberapa santri mulai cekikikan, sementara Balwa, Balwi dan Devan pura-pura menunduk membaca kitab, menahan tawa sekuat tenaga. Arabella berkedip beberapa kali, mencoba memahami apa yang terjadi. Lalu, dia mendengar suara tawa kecil dari belakang.
“Hooo... jadi lo semua mau perang?!” batin Arabella menatap Balwa, Balwi dan Devan.
Dengan gerakan cepat, Arabella melepas ikatan di kerudungnya dengan sekali hentakan, mengambil kitabnya, lalu menoleh ke belakang dengan senyum licik.
Balwa, Balwi dan Devan baru sadar bahaya ketika melihat senyumnya itu. Tanpa aba-aba, Arabella menyengggol Balwi dengan sikunya, membuat santri itu kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan kitabnya. Sontak Devan tertawa, tapi langsung tersentak saat Arabella menarik kain sorbannya sampai hampir melilit wajahnya sendiri. Balwa yang melihat itu langsung mundur perlahan, tapi Arabella sudah mengincarnya.
“WOY, WOY, WOY, Wait! NGGAK ADA KATA DAMAIKAH?!” seru Balwa.
Suasana pengajian yang semula tenang berubah menjadi ajang kejar-kejaran. Santri lain ada yang terkejut, ada juga yang malah menikmati drama yang baru saja pecah.
Di depan... Ustad Jiyad hanya bisa menutup kitabnya, menghela napas panjang. Sementara Ustad Izzan yang duduk di sudut serambi hanya tersenyum tipis, menikmati kekacauan kecil yang terasa seperti warna tersendiri di pesantren ini.
Dan sore itu, pesantren yang baru saja menikmati ketenangan kembali dihiasi oleh suara khas keonaran Arabella dan tiga santri yang akhirnya merasakan pembalasan.
*****
Ketika Arabella hampir menangkap kerah baju Balwa, tiba-tiba suara lembut menyela dari arah pintu serambi.
“Assalamualaikum, Ustad Jiyad”
Seisi pesantren langsung terdiam. Bahkan Balwa, Balwi dan Devan yang tadi tengah sibuk lari ketakutan, kini berdiri tegak seolah tidak terjadi apa-apa. Di ambang pintu, seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun berdiri dengan anggun. Ning Najwa, putri dari uma Salma, pemilik pesantren. Di sebelahnya, sang ibu tersenyum lembut, melihat kearah Ustad Jiyad yang tampaknya sudah memahami situasinya. Namun, yang paling mencengangkan bukan kedatangan mereka. Melainkan...
Arabella.
Yang barusan mengejar tiga santri seperti singa lapar, kini seketika berubah total. Dengan langkah anggun atau setidaknya, berusaha anggun dia menghampiri Uma Salma dan Ning Najwa. Senyum manisnya merekah, dan tanpa ragu, dia langsung bergelayut manja di lengan Uma.
“Umaa, Uma mau kemana? Aku ikut, ya—“ suaranya mendadak lembut, nyaris seperti santri paling depan.
Balwa, Balwi dan Devan saling berpandangan.
“APA INI?”
Uma Salma tertawa kecil sambil mengelus kepala Arabella. “Uma mau ke kebun belakang, mau metik sayur buat makan malam nanti. Bella mau ikut, nak?”
Arabella mengangguk cepat. “Mau dong! Aku kan anak baik, harus bantu Uma dong..”
Tiga santri di belakang hampir tersedak udara.
Ck... Anak baik katanya?! Baik dari hongkong!
Ustad Jiyad menutup kitabnya, mencoba menahan tawa melihat perubahan drastis santri paling absurd dan paling bar-bar itu. Sementara Ustad Izzan dari sisi lain hanya menyilangkan tangan, memandang Arabella dengan senyum geli.

Ilustrasi
Ustad Azzam yang melihat reaksi Ustad Izzan yang tersenyum geli memicingkan matanya.
“Zan... apa kamu juga suka Arabella?” tanya Ustad Azzam membuat Ustad Izzan mengembalikan ekspresinya.
“Saya? Nggak!” jawabnya tegas.
“Baguslah setidaknya saya tidak punya saingan untuk memperjuangkannya.” Ucapan Ustad Azzam menggetarkan hati Ustad Izzan, kenapa rasanya dia tidak suka mendengar perkataan Ustad Azzam.
Di sisi lain Arabella masih asik bergelayut di tangan Uma Salma, Ning Najwa tiba-tiba berseru.
“Aku mau ikut juga Uma,” ujar Ning Najwa sambil tersenyum malu.
Uma Salma hanya mengangguk. “Baiklah ayo kita ke kebun.”
Arabella pun segera menggandeng tangan Ning Najwa dengan penuh kasih sayang, seolah dia adalah kakak yang paling penyayang di dunia ini.
Balwa, Balwi dan Devan hanya bisa terdiam, menyaksikan bagaimana Arabella yang tadi nyaris menerkan mereka kini berubah menjadi gadis kalem yang nyaris tidak bisa dikenali. Saat melewati mereka, Arabella menoleh dengan senyum licik dan berbisik pelan.
“Tunggu ya, urusan kita belum selesai!”
Kemudian dia melenggang pergi bersama Uma Salma dan Ning Najwa, meninggalkan tiga santri yang masih berdiri terpaku dengan perasaan campur aduk.
Devan menepuk bahu Balwa. “Bro... Gue baru sadar satu hal.”
Balwa menghela napas. “Apa?”
Balwi menjawab dengan wajah datar, “Arabella itu.... kalo mau, bisa jadi lebih berbahaya daripada yang kita kira.”
Dan mereka pun hanya bisa menatap punggung gadis Absurd dan bar-bar yang kini tengah berlagak seperti bidadari pesantren. Di sudut serambi pesantren, tiga santri senior Hana, Herni dan Ani duduk berkelompok, memperhatikan Arabella yang berjalan anggun bersama Uma Salma dan Ning Najwa. Mata mereka penuh ketidaksukaan yang terselubung.
“Baru juga santri baru, tapi udah deket banget sama Uma,” gumam Herni, melipat tangan di dadanya.
Ani mengangguk setuju. “Kita yang udah bertahun-tahun di sini, tapi nggak pernah bisa sedekat itu.”
Hanna, yang selama ini selalu berusaha menjadi santri teladan agar diperhatikan keluarga pemilik pesantren, menghela napas. “Apa sih istimewanya dia? Santri Absurd juga Bar-bar, suka bikin onar... tapi kok malah disayang Uma?”
Mereka bertiga saling berpandangan, merasa ada sesuatu yang tidak adil. Dan mereka tidak sendirian. Disisi lain beberapa Ustadzah muda yang juga menginginkan perhatian dari keluarga pemilik pesantren ikut memperhatikan pemandanagan itu dengan perasaan yang sama.
Udstadzah Halimah, salah satu guru yang sudah lama mengajar di pesantren, bahkan berbisik pada rekannya.
“Arabellla itu... bukan santri berprestasi, bukan juga santri yang patuh. Tapi lihat bagaimana Uma Salma membawanya seperti anak sendiri.”
Ustadazah Rahmah, yang duduk disampingnya, hanya menggeleng. “Mungkin Uma Salma melihat sesuatu yang kita tidak bisa lihat.”
Tapi tetap saja, rasa iri itu tidak bisa dihindari.
Herni yang paling tidak terima, akhirnya menyeringai kecil. “Ya udah, kalau dia bisa sedekat itu sama Uma, kita lihat aja... sampai kapan dia bisa bertahan.”
Ani dan Hana mengangguk, senyum mereka mengandung rencana terselubung. Dan tanpa Arabella sadari, langkahnya di pesantren tidak hanya membawanya lebih dekat dengan keluarga pemilik pesantren... tapi juga mulai menarik perhatian orang-orang yang merasa tersaingi. Dan bukan Arabella namanya kalau tidak akan ada keributan di belakangnya.
Mereka ingin dekat dengan keluarga pemilik pesantren, karena sebagian dari mereka ingin dijodohkan dengan Ustad Izzan.
*****
Di kebun belakang n’dalem pesantren, Uma Salma dan Ning Najwa berjalan santai diantara deretan tanaman hijau yang segar. Di belakang mereka, Arabella sibuk dengan keranjang di tangannya, matanya berbinar melihat berbagai jenis sayuran.
“Uma, ini cabai yang buat sambel itu ya?” tanya Arabella sambil menunjuk tanaman cabai yang penuh buah menyala.
Uma Salma tersenyum. “Iya, itu cabai rawit. Mau coba petik?”
Arabella mengangguk dengan semangat tinggi. Namun, begitu dia raih tangkai cabai dan menariknya dengan tenaga penuh, malah...
CROT!
Cabai meletup dan mengenai wajahnya sendiri.
“AWW.. AWW.. AWW..! PEDES UMAAA! MATA AKUUUUU!”
Ning Najwa langsung terkikik. “Kak Bella, pelan-pelan dong, nggak usah pake tenaga kuli.”
Sementara itu, Uma Salma hanya bisa tersenyum geli sambil memberikan sapu tangan. “Pelan-pelan ya Nak, cabai itu sensitif.”
Arabella mengusap wajahnya sambil manyun. “Kenapa nggak ada peringatan sih? Ini sayur atau jebakan batman?”
Ning Najwa tertawa lebih keras, sementara Uma menahan tawa di balik selendangnya. Mereka kembali berjalan, dan kali ini Arabella mengamati bayam yang tumbuh subur di dekat pagar bambu. Dia berjongkok, memandang tanaman itu dengan ekspresi penuh pertimbangan.
“Uma, kok bayam ini mirip rambut nenek-nenek ya?”
Uma Salma yang sedang memetik kangkung langsung berhenti, sementara Ning Najwa menoleh dengan kening berkerut.
“Hah? Rambut nenek-nenek?”
Arabella mengangguk serius. “Iya! Liat deh, daunnya keriting-keriting kecil, trus lembut gitu. Kayak rambut nenek aku waktu nggak disisir.”
Uma Salma akhirnya tertawa kecil. “Mungkin karena bentuknya yang memang keriting alami. Tapi bayam ini sehat loh, penuh zat besi.”
Arabella mengangguk paham, lalu tiba-tiba bertanya lagi, “Kalau zat besi itu bikin kuat, kenapa popeye nggak pernah makan bayam rebus Uma? Dia selalu makan yang kalengan. Itu kan nggak sehat ya?”
Ning Najwa tertawa lagi, kali ini sampai nepuk pahanya. Uma Salma yang berusaha menahan senyum, menjawan dengan lembut,
“Itu Cuma di kartun, Nak. Aslinya, bayam yang segar lebih baik daripada yang di kaleng.”
Arabella menghela napas panjang. “Kasian papeye berarti, dia selama ini salah paham soal bayam..”
Mereka terus memetik sayur sambil menikmati sore yang sejuk. Namun, sepanjang waktu, Arabella tidak berhenti melontarkan pertanyaan-pertanyaan absurd yang kadang membuat Uma dan Ning Najwa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.
Dari jauh, beberapa santri yang melihat pemandangan itu hanya bisa menatap iri. Sementara Arabella? Dia masih asik mengamati tanaman lain.
“Uma, kenapa daun kangkung kayak sedih, sih? Tuh, bentuknya aja kayak muka orang yang nelangsa.”
Uma Salma hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. Gadis satu ini benar-benar membawa warna baru di pesantrennya.
“Hah... Nilam cepatlah kembali, lihatlah putrimu yang selalu membuat kami tertawa tanpa beban...” batin Uma menatap Arabella yang masih nyerocos dan di sampingnya Ning Najwa yang selalu terkikik mentertawakannya.
Di tengah kesibukannya memetik sayur, Arabella tiba-tiba mendengar suara langkah seseorang mendekat. Saat dia menoleh, ternyata Ustad Izzan berjalan santai melewati kebun.
“Assalamualaikum Uma.”
Uma Salma tersenyum. “Waalaikumussalam, Bang. Mau kemana Nak?”
Izzan berhenti sejenak dan menjawab, “Abang mau ke kolam belakang, Uma. Mau nangkep ikan buat makan malam nanti.”
Seketika mata Arabella berbinar. Tangkap ikan?!
Tanpa pikir panjang, dia langsung maju selangkah, menatap Izzan dengan semangat berlebihan. “Ustad, Saya ikut ya?! Saya jago nangkep ikan loh!”
Izzan menatapnya ragu. “Kamu yakin?”
Ning Najwa menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. Uma Salma juga tersenyum penuh arti. Karena jujur saja, mereka tidak bisa membayangkan Arabella menangkap ikan dengan tenang. Tapi Izzan, yang tidak ingin mendebat lebih lama, hanya menghela napas dan mengangguk.
“Baiklah. Kalau kamu mau ikut, ayo.”
Arabella langsung meletakkan keranjang sayurnya dan mengepalkan tangan penuh tekad. “Misi tangkap ikan, dimulai!”
Namun... Apa yang tidak diketahui Izzan adalah... Arabella punya rencana jahil di kepalanya. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kolam ikan pesantren yang cukup besar. Airnya jernih, dengan ikan-ikan nila dan lele berenang di dalamnya. Beberapa santri lain sudah bersiap dengan jaring dan ember.
Izzan menggulung lengan bajunya, bersiap turun ke kolam, sementara Arabella memperhatikan dengan tatapan penuh stategi.
“Hmm... Ustad, biasanya nangkap ikan pake tangan atau jaring?” tanyanya pura-pura polos.
Izzan menatapnya sebentar, merasa ada sesuatu yang mencurigakan. “Kalau bisa, pakai tangan lebih seru.”
Arabella langsung tersenyum lebar. “Wah, pas banget!”
Lalu dengan gerakan tiba-tiba, dia mencipratkan air kolam kearah Izzan.
BYUURRR!
Izzan yang tidak siap langsung terkena cipratan di wajahnya. Santri yang lain melihat itu menahan napas.
Ya Allah... ini santri cewek pertama yang berani nyipratin air kolam ke Ustad Izzan. batin para santri yang melihat kejadian itu.
Izzan mengusap wajahnya yang basah dengan ekspresi setengah sabar. “Arabella...”
Tapi Arabella sudah lompat turun ke pinggir kolam, tertawa puas. “Ayo, Ustad! Ini namanya pemanasan sebelum menangkap ikan!”
Izzan hanya bisa menghela napas panjang. Santri lain menahan tawa sambil mulai turun ke kolam untuk menangkap ikan. Tapi... Arabella tidak berhenti sampai di situ. Ketika Izzan sibuk fokus menangkap seekor ikan lele besar, Arabellla diam-diam mengambil segenggam lumpur dari dasar kolam. Dan...
PLOOOK!!!
Dengan kecepatan kilat, dia melempar lumpur itu ke kaki Izzan. Izzan pun menatap ke bawah, melihat kakinya yang tiba-tiba penuh lumpur. Dia mengangkat wajahnya, menatap Arabella yang pura-pura sibuk melihat ikan. Santri lain langsung bergidik ngeri. Arabella barusan ngerjain Ustad Izzan. Lagi.
Namun sebelum Ustad Izzan sempat bereaksi, Arabella sudah teriak. “Waaahh.. Ustad, liat di belakang!!”
Izzan reflek menoleh dan saat itulah, Arabella mendorong sedikit air dengan kakinya.
BYUURRRR!
Air kembali menciprat kearah Izzan. Santri lain langsung tertawa pelan, sementara Izzan hanya bisa mengusap wajahnya yang basah. Dia menatap Arabella dengan pandangan penuh peringatan. Arabella yang masih tertawa mendadak diam.
“Eu... Ustad, nggak marah kan?”
Izzan menatapnya tanpa ekspresi selama beberapa detik, lalu...
BYUUURRR!
Dengan satu gerakan cepat, dia membalas mencipratkan air ke Arabella! Arabella yang tidak siap langsung terkena cipratan penuh di wajahnya.
“Woaaaahhh! Ustad curang!!”
Izzan akhirnya tersenyum tipis. “Biar adil.”
Santri lain akhirnya tertawa lepas, dan momen tangkap ikan berubah jadi ajang perang air. Bahkan Ning Najwa yang melihat dari jauh ikut tertawa sambil menutup mulutnya.
Dari kejauhan, Uma Salma tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Anak itu... Ada saja tingkahnya.”
“Seru ya Uma kalau ada Kak Bella, Aku bisa ketawa terus sampe cape.. Liat deh Uma.. Abang aja selalu senyum kalo pas sama Kak Bella... biasanya kan mukanya kayak kanebo kering.. hihi...” tunjuk Najwa pada Uma Salma.
Satu hal yang pasti... pesantren ini tidak akan pernah sepi dengan adanya seorang Arabella di dalamnya.