Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Suara ketukan pintu memanggil. Amira terperanjat dan melangkah menuju ruang tamu. Ia menggerakkan daun pintu ke bawah dan membukanya dengan lebar. "Mas Satria!"
Pria itu tersenyum lebar, lebih lebar dari biasanya. Lalu, Satria memeluk Amira dengan hangat—erat, penuh keyakinan. Kehangatan pelukannya menjalar seperti gelombang lembut ke seluruh tubuh Amira, membuat hatinya berdebar. Namun, semakin erat pelukan itu, napasnya terasa sesak, seakan dunia di sekeliling mereka menyempit menjadi hanya ruang bagi kehangatan dan rasa yang tak terucap.
Menyadari hal itu, Satria melepaskan pelukan dan menatap Amira, merengkuh kedua bahunya dengan lembut sambil menatap kekasihnya itu dengan tatapan yang penuh. "Sayang, aku keterima beasiswa S2 di Jepang!"
Pernyataan itu seketika membuat Amira melemas, seolah seluruh kekuatan di tubuhnya sirna dalam satu detik. Pelukan dan rengkuhan jemari kokoh yang hangat itu tiba-tiba menghadirkan rasa suwung yang tak dapat terelakkan.
Beasiswa S2 ke Jepang. Artinya, sebentar lagi Satria akan pergi meninggalkan dirinya. Hatinya terasa hampa hanya dengan membayangkan jarak yang akan memisahkan mereka, seolah setiap detik yang dulu mereka bagi akan perlahan berubah menjadi kenangan yang jauh. Amira menunduk, menahan perasaan campur aduk yang menekan dadanya. Ia belum siap melepas Satria, belum siap menghadapi sepi yang akan datang tanpa kehadirannya di sisi, yang baru saja ia rangkai dengan semangat dan kebahagiaan yang baru saja tumbuh.
Namun, di balik rasa takut itu, ada kesadaran yang lebih besar: ia tidak bisa menghalangi jalan mimpi Satria. Ia tidak berhak menghentikan langkah seseorang yang telah berjanji untuk melindungi masa depan mereka bersama, meski itu berarti harus menanggung rasa rindu yang menyakitkan.
Mata Amira menghangat. Ada ketakutan yang merayap di hatinya—takut harapan di masa depan mereka tak lagi utuh, takut bahwa jarak akan mengubah segalanya menjadi sesuatu yang tak lagi sama. Bagaimana kalau semua itu terjadi, cepat atau lambat?
"Sayang," Satria mengejutkan. Jemarinya kini lembut mengusap wajah Amira. "Kamu nangis?"
Amira menunduk, air matanya menetes tanpa sadar. "Enggak, Mas. Aku gak nangis." Gelengnya mengelak. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya.
"Apa kamu gak setuju aku pergi?" Tanya Satria dengan nada merendah.
"Mas," Amira kembali mengangkat wajah. Menatap penuh wajah yang sedari tadi mengunci geraknya, seolah tengah menghapal setiap lekuk wajah kekasihnya, setiap senyum, setiap tatapan, agar semua itu selalu tersimpan dalam ingatannya, mulai dari sekarang. "Mana mungkin aku menghalangi jalan mimpi kamu? Aku ikut senang." Senyumnya yang nampak dipaksakan.
“Amira,” Panggil Satria, menarik lembut lengan kekasihnya, lalu menuntun Amira seolah rumah itu adalah miliknya sendiri, mengajaknya duduk dengan hangat dan penuh rasa nyaman.
Jarak mereka cukup dekat sehingga Amira bisa merasakan hangat tubuh Satria, bau parfum yang mungkin akan selalu ia rindukan.
"Kamu masih ingat apa yang pernah kita ucapkan di kebun teh waktu itu?" Tanya Satria dengan tatapan penuh ketulusan.
Amira mengangguk.
"Beri aku kesempatan untuk membangun itu semua demi masa depan kita. Aku tidak akan menjanjikan hal apapun, tapi aku pasti akan kembali." Jelas Satria dengan nada penuh keteguhan. Kedua jemarinya kini merengkuh hangat punggung jemari Amira. "Setelah aku berhasil menggenggam semuanya, aku akan membahagiakan kamu. Aku akan pulang dan segera menikahi kamu. Aku akan bangun rumah untuk kita dan anak-anak kita nanti.”
Amira menatapnya, matanya kembali membulirkan sesuatu yang tak dapat ia bendung kembali. Kata-kata itu seperti janji yang menembus hatinya, menyalakan harapan sekaligus membuat dadanya berdebar. Ia ingin percaya sepenuhnya, ingin memeluk Satria dan berkata bahwa ia akan menunggu—meski jarak dan waktu terasa begitu berat. Tapi, di sisi lain ia takut. Takut bahwa pernyataan Satria itu tak akan pernah terwujud. Takut jika suatu saat kondisi dan situasi berubah, merenggut semua harapan yang telah mereka rajut bersama.
Bagaimana kalau Satria pulang dengan membawa hati yang tak lagi sama? Bagaimana kalau kalimat ini hanya sebuah ungkapan restu kepergiannya atas janji yang menenangkan, sebuah keyakinan bahwa masa depan mereka akan baik-baik saja.
Namira tertunduk lagi. Namun, Satria sempat menahannya. Sorot matanya bahkan jauh lebih dekat.
"Lihat aku, sayang?" Lirih Satria, nyaris suaranya tak terdengar. "Apa ada kebohongan dalam diri aku?"
Hening.
Amira tak menjawab. Ia bahkan tak berpaling saat mata itu semakin dekat, mengunci geraknya. Seakan tak ada jarak yang lagi memisahkan mereka. Tanpa ragu dan penuh keyakinan, Satria semakin turun ke bawah dan mulai melumat bibir Amira tanpa permisi.
"Aku akan kembali." Bisik Satria di antara gerakan bibirnya yang sangat lembut dan perlahan melunakkan hati Amira. "Tunggu aku, sayang."
****