Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10# Pesta Telah Usai
Pukul dua belas malam, pesta telah usai dan para tamu mulai berangsur pulang. Aliza bersama Tuan Muda Nadeo melangkah keluar dari gedung pesta. Di depan gedung, sebuah mobil hitam telah menunggu.
“Pulanglah. Aku masih ada urusan di luar dengan rekan bisnis,” ucap Nadeo singkat
Aliza mengangguk pelan, meski ada rasa getir di dadanya. Malam yang seharusnya menjadi awal perjalanan rumah tangga justru berakhir dengan kesendirian.
Mobil hitam itu melaju perlahan, meninggalkan Nadeo yang sudah dikerubungi beberapa pria berjas rapi—rekan bisnisnya. Dari balik jendela, Aliza sempat menoleh sekali, melihat sosok suaminya berdiri tegak dengan ekspresi dingin yang tak bisa ia terjemahkan.
Di dalam mobil, Aliza meremas gaun pengantinnya yang sudah sedikit kusut. Apakah semua ini benar-benar pilihan terbaik? batinnya. Di saat wanita lain mungkin masih tenggelam dalam euforia bulan madu, ia justru pulang sendiri, tanpa kepastian kapan suaminya akan menyusul.
Sopir tua yang membawanya sempat melirik lewat kaca spion, namun tak berkata apa-apa. Hening malam terasa menyesakkan. Hanya suara mesin mobil dan lampu jalan yang berkelebat menjadi teman perjalanan Aliza menuju rumah barunya.
Malam pertamanya… ternyata bukan di sisi seorang suami.
Tuan Muda Nadeo baru saja hendak masuk ke dalam mobil, namun langkahnya terhenti ketika sepasang suami istri menghampiri. Mereka adalah Nyonya Cantika Mahardika bersama suaminya, Sadewa Mahardika.
“Tunggu sebentar, Nadeo. Saya ingin berbicara denganmu,” ucap Nyonya Cantika dengan nada penuh wibawa.
Nadeo menoleh, lalu keluar kembali dari mobil. Sekretaris Mark yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya segera merapat, berdiri tegak di sisi Tuan Muda, seolah siap menghadapi situasi apa pun.
Nyonya Cantika menatap tajam ke arah Sekretaris Mark.
“Kamu bisa pergi sebentar. Saya ingin berbicara dengan Nadeo,” ujarnya tegas.
Sekilas, Nadeo menoleh pada sekretarisnya dan memberi kode halus. Sekretaris Mark mengangguk hormat, lalu mundur beberapa langkah meninggalkan mereka.
“Ada apa, Tante Cantika?” tanya Nadeo dingin, suaranya tenang namun penuh jarak.
Wajah Nyonya Cantika mengeras. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan, Nadeo? Berani sekali kamu menikah dengan perempuan lain… sementara putri saya sedang berada di luar negeri.”
Nadeo menahan tatapan dinginnya. “Semua ini salah anak Tante. Mengapa dia meninggalkan saya dan pergi ke luar negeri tanpa pamit? Padahal, saya ini tunangannya.”
Nyonya Cantika mendengus, suaranya meninggi. “Oh, jadi kamu sakit hati karena Clara meninggalkanmu? Baiklah, Tante akui Clara memang salah. Tapi bukan begini caranya, Nadeo!”
Ia melangkah selangkah lebih dekat, nadanya penuh sindiran.
“Kalau pun kamu ingin balas dendam pada Clara dengan menikahi perempuan lain, setidaknya carilah wanita yang lebih dari Clara, atau minimal sepadan dengannya. Tapi kamu? Kamu justru memilih menikahi perempuan kampungan… yang bahkan tidak jelas asal-usulnya dari mana.”
Nyonya Cantika menatap tajam, suaranya bergetar menahan amarah.
“Kamu tahu, Nadeo? Dengan menikahi wanita seperti itu, sama saja kamu melemparkan kotoran ke wajah Clara… dan juga ke wajah kami sebagai orang tua Clara.”
Nadeo tersenyum tipis, senyum yang lebih menyeramkan daripada amarah. Tatapannya menusuk lurus ke mata Nyonya Cantika.
“Kalau memang pernikahan saya dianggap kotoran bagi keluarga Tante, berarti selama ini yang kalian jaga hanya nama baik… bukan kebahagiaan putri kalian sendiri.”
Nyonya Cantika terperangah dengan jawaban Nadeo. “Kamu…?” katanya tercekat, wajahnya memerah karena menahan emosi.
Nadeo menghela napas pelan, lalu menoleh. “Mark, kemarilah.”
Sekretaris Mark segera melangkah cepat mendekat.
“Maaf, Tante,” ucap Nadeo datar namun tegas. “Saya rasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Saya ingin pulang.”
Sekretaris Mark membuka pintu mobil dengan sigap. Tanpa menoleh lagi, Nadeo masuk ke dalam mobil. Kendaraan mewah itu melaju pergi, meninggalkan gedung pesta, sekaligus meninggalkan kedua orang tua Clara—mantan tunangan yang kini hanya tinggal bagian dari masa lalunya.
Mobil hitam itu menghilang di balik gerbang gedung pesta, menyisakan Nyonya Cantika yang berdiri dengan wajah menegang. Jemarinya bergetar, rahangnya terkunci menahan amarah.
“Berani sekali dia bicara begitu kepada kita…” bisiknya lirih namun penuh bara.
Sadewa Mahardika yang sejak tadi diam hanya menghela napas panjang. “Cukup, Cantika. Kau tahu sendiri, Nadeo bukan pria sembarangan. Semakin kita tekan, semakin dia akan melawan.”
Cantika menoleh tajam pada suaminya. “Jadi kita biarkan saja dia mempermalukan Clara dan keluarga ini dengan menikahi perempuan tidak jelas itu?”
Sadewa menggeleng pelan, tatapannya tenang tapi dingin. “Tidak ada yang perlu diburu-buru. Cepat atau lambat, kelemahan perempuan itu akan terlihat sendiri. Saat itu tiba, barulah kita bergerak.”
Cantika mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Aku tidak akan membiarkan nama keluarga Mahardika diinjak-injak begitu saja. Kalau Nadeo ingin bermain api, biar aku yang memastikan apinya membakar dirinya sendiri.”
Mobil yang membawa Aliza akhirnya berhenti di kediaman keluarga Buenavista. Begitu menjejakkan pandangan, Aliza terperanjat.
Rumah… bukan, ini bukan rumah. Ini istana, gumamnya dalam hati. Bangunannya menjulang megah, berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan rumah peninggalan ayahnya. Rasa kagum bercampur getir menusuk dadanya, dan tiba-tiba saja kerinduan pada rumah lamanya menyeruak—rumah sederhana yang penuh kenangan bersama kedua orang tuanya.
Halaman luas itu dijaga ketat oleh para pengawal yang berdiri tegak di beberapa sudut. Saat mobil berhenti di depan pintu utama, beberapa pelayan berbaris rapi menyambut kedatangan Aliza. Mereka menunduk hormat seraya menyapa dengan suara serempak:
“Selamat datang, Nona Aliza.”
Seorang wanita paruh baya melangkah maju, wibawanya memancar meski raut wajahnya ramah. Ia memberi salam penuh takzim.
“Perkenalkan, Nona. Saya Bu Nur, kepala pelayan di rumah ini. Mulai hari ini, segala keperluan Nona akan menjadi tanggung jawab saya.”
Bu Nur memberi isyarat dengan tangan, dua pelayan wanita segera maju membantu Aliza membawa gaun dan barang-barangnya.
“Silakan ikut saya, Nona,” ucap Bu Nur sambil tersenyum tipis.
Aliza melangkah perlahan melewati pintu utama. Begitu masuk, matanya langsung terpaku. Ruang utama rumah Buenavista bagaikan aula istana—langit-langit tinggi dengan lampu kristal raksasa menggantung berkilauan, lantai marmer putih berkilat, dan dinding-dinding yang dipenuhi ukiran klasik bercampur sentuhan modern.
Setiap sudut ruangan memancarkan kemewahan yang terasa begitu asing baginya. Aku benar-benar berada di dunia yang berbeda… batinnya lirih.
Beberapa pelayan lain menundukkan kepala saat ia lewat, memperlakukan Aliza seolah ia sudah menjadi nyonya rumah. Namun bagi Aliza, perlakuan itu justru menambah rasa kikuk.
Mereka berhenti di depan sebuah tangga besar yang berlapis karpet merah. Bu Nur menoleh sambil berkata, “Mari, Nona. Saya akan mengantar Anda ke kamar pribadi.”
Langkah-langkah mereka menggema di tangga megah itu. Aliza semakin merasa kecil di tengah segala kemewahan yang menelannya bulat-bulat.
Setelah menaiki tangga besar yang megah, Bu Nur berhenti di depan sebuah pintu kayu berukir indah. Dua pelayan segera membukakan pintu itu, dan seketika aroma harum bunga segar menyeruak keluar.
“Silakan masuk, Nona,” ucap Bu Nur dengan sopan.
Aliza melangkah masuk dengan hati-hati. Matanya terbelalak—kamar itu lebih besar daripada seluruh rumah peninggalan ayahnya. Sebuah ranjang berkanopi putih berdiri megah di tengah ruangan, dihiasi tirai tipis yang jatuh anggun. Di sisi lain, ada meja rias berlapis kaca, lemari tinggi berukir, hingga balkon yang menghadap ke taman belakang dengan cahaya lampu malam berkilauan.
Namun, di balik keindahan itu, Aliza justru merasa asing. Ruangan yang seharusnya hangat terasa begitu dingin dan sepi, seakan-akan kemewahan itu bukan untuk dirinya.
Ia menoleh ke arah Bu Nur, berusaha tersenyum meski gugup.
“Kamar ini… terlalu indah untuk saya,” gumam Aliza lirih.
Bu Nur menundukkan kepala tipis. “Mulai malam ini, ini adalah kamar Anda, Nona. Segala kebutuhan Anda akan kami siapkan. Bila ada yang diinginkan, cukup tekan bel kecil di samping tempat tidur.”
Setelah memberi penjelasan singkat, Bu Nur bersama para pelayan mundur teratur, meninggalkan Aliza seorang diri di dalam kamar megah itu.
Aliza berdiri terpaku, lalu berjalan pelan menuju ranjang. Tangannya menyentuh sprei putih lembut yang dingin. Rasa rindu mendadak menyesakkan dadanya. Aku rindu rumah kecilku… aku rindu ayah dan ibu.
Ia duduk di tepi ranjang, menunduk, dan untuk pertama kalinya air matanya jatuh di malam pernikahannya—malam yang seharusnya hangat, namun justru penuh kesepian.
Setelah Bu Nur dan para pelayan pergi, Aliza menghela napas panjang. Ia mencoba menyingkirkan rasa asing di hati dengan membersihkan diri di kamar mandi yang begitu luas dan mewah, jauh berbeda dari yang pernah ia miliki. Setelah berganti pakaian, tubuhnya terasa lebih ringan, namun matanya sudah berat karena kantuk.
Ia berdiri di tengah kamar, menatap ranjang besar berkanopi putih yang terlihat begitu indah sekaligus menakutkan baginya. Ranjang itu seolah terlalu megah… terlalu asing untuk ia tiduri. Hatinya berdebat, ia bingung harus tidur di mana.
Tatapannya kemudian jatuh pada sebuah sofa panjang di sisi ruangan. Tidak sebesar ranjang, namun cukup nyaman untuk merebahkan tubuh. Perlahan ia melangkah, lalu membaringkan diri di sana.
“Di sini saja… lebih baik,” bisiknya lirih.
Tak lama kemudian, rasa kantuk menguasai. Aliza pun terlelap di sofa, masih dengan perasaan sepi yang membalut hatinya di malam pertamanya sebagai istri Tuan Muda Nadeo.