NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:686
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Takut kehilangan

Di sebuah kafe kecil di lantai dasar rumah sakit, Tasya duduk berhadapan dengan Revan. Cahaya lampu temaram membuat wajahnya terlihat pucat, seolah semua tenaga tersedot habis.

Melihat itu, Revan memanggil pelayan dan memesan segelas teh hangat. Tak lama kemudian, ia mendorong cangkir itu ke hadapan Tasya.

"Minum dulu. Kamu kelihatan capek banget," ucapnya pelan.

Tasya hanya tersenyum tipis sambil meraih cangkir itu, jemarinya sedikit bergetar.

Revan menatapnya lekat-lekat. "Oh iya, ada yang sakit? Kok kamu jam segini keluyuran di rumah sakit?"

Tasya menarik napas, menatap cairan teh yang masih mengepul sebelum akhirnya menjawab lirih, "Aku … cuma habis ketemu kenalan lama aja."

Revan mendengus pelan, mencondongkan tubuhnya ke meja. "Kenalan lama sampai malem-malem gini? Jangan bikin alasan aneh, Sya." Tatapannya tajam, tapi suaranya terdengar lebih khawatir daripada marah.

Tasya tersenyum tipis, mencoba menutupi gugupnya. Tangannya meraih cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan pelayan. "Kamu selalu aja curigaan. Aku cuma kebetulan ketemu, terus ngobrol sebentar."

Revan menyipitkan mata, memperhatikan wajah Tasya yang tampak lebih pucat dari biasanya. "Aku nggak suka cara kamu ngomong yang setengah-setengah. Ada yang kamu sembunyiin, kan?"

Tasya terdiam sejenak, menatap uap teh yang naik perlahan. Dadanya terasa sesak, tapi ia memaksa bibirnya melengkung tipis. "Dih, apaan sih, Revan."

Suasana hening sejenak. Hanya terdengar suara sendok beradu dengan cangkir dari meja sebelah. Revan bersandar ke kursi, menarik napas panjang, lalu berkata lirih, "Kalau kamu capek atau ada yang salah, kenapa nggak bilang aja sama aku? Harusnya aku orang pertama yang kamu kasih tau."

Tasya tersentak. "Revan, kita cuma partner kerja. Nggak lebih. Dan aku nggak suka kamu ikut campur masalah pribadi aku. Jadi, stop kasih perhatian lebih ke aku."

Mata Revan meredup, ada kekecewaan singkat yang terpantul, tapi hanya sekilas. Ia menghela napas pelan, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.

"Tasya," suaranya dalam dan tenang, "meskipun kamu bilang kita cuma partner kerja, aku nggak bisa pura-pura nggak peduli. Apalagi kalau aku lihat kamu kayak gini."

Tasya mengernyit, berusaha tetap tenang, padahal jantungnya berdetak lebih cepat. "Jangan bikin rumit. Aku baik-baik aja."

Revan menggeleng, matanya menatap Tasya tajam tapi penuh ketulusan. "Kamu nggak baik-baik aja. Dari cara kamu ngomong, dari tatapan kamu yang selalu ngelak, bahkan dari tangan kamu yang gemeteran megang cangkir itu." Ia menunjuk jemari Tasya yang tak sadar bergetar.

Tasya buru-buru menarik tangannya, menyembunyikannya di pangkuan. "Aku cuma kecapekan kerja. Udah, itu aja."

Revan tersenyum miring, bukan meremehkan, tapi lebih seperti pasrah. "Kalau memang itu alasannya, ya udah. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Sya …" ia berhenti sejenak, nadanya turun lebih pelan, "aku bakal tetap ada kalau kamu butuh. Mau kamu tolak seribu kali pun, aku nggak akan berhenti peduli."

Kata-kata itu membuat dada Tasya makin sesak. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela kafe, berusaha keras menahan genangan air mata yang hampir pecah.

Setelah cukup lama berbincang, Tasya melihat jam tangannya. "Aku pulang dulu ya. Udah malam juga." Senyumnya tipis, mencoba menutup perasaan hangat yang diam-diam tumbuh selama mereka berbicara.

"Aku antar, Sya." Revan langsung berdiri, nada suaranya mantap.

Tasya menggeleng cepat. "Nggak usah, beneran. Aku bisa pulang sendiri. Lagian Mama kamu pasti lagi nungguin kamu dari tadi."

Revan menatapnya sejenak, seakan ingin menolak. Tapi melihat sorot mata Tasya yang bersikeras, ia akhirnya menghela napas pelan. "Baiklah. Hati-hati di jalan, ya."

"Oke, thanks." Tasya tersenyum, lalu melangkah pergi meninggalkan kafe itu.

Revan sempat berdiri di depan pintu, memperhatikan punggung Tasya yang makin menjauh. Ada sesuatu di dadanya yang berdesir aneh, tapi ia buru-buru menepisnya.

Di ruang kerja, seorang wanita yang mengenakan jaket dokter tengah duduk menatap layar laptop dengan wajah lelah. Revan masuk sambil membawa sebuah flashdisk kecil.

"Ma, ini data yang Mama minta tadi siang." Ia meletakkan flashdisk itu di meja.

Bella, mama Revan, menoleh dan tersenyum samar. "Terima kasih, Nak. Kamu selalu bisa diandalkan."

Mereka berbicara sebentar tentang pekerjaan dan kondisi Bella. Revan duduk santai, menunggu mamanya menyalin file dari flashdisk. Namun, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada sebuah kertas di meja kerja.

Keningnya berkerut. Ada sebuah nama yang ditulis dengan jelas di bagian atas kertas itu.

Anastasya Putri Handoko.

Mata Revan membesar sesaat. Hatinya berdebar kencang.

"Ma, dia sakit apa?" tanya Revan dengan wajah serius.

Bella mengerutkan kening, matanya sedikit melebar. "Kamu kenal pasien itu? Kamu kenal Tasya?" tanyanya hati-hati.

Revan menegakkan tubuh, wajahnya serius. "Jawab aja dulu, Ma. Dia sakit apa?"

Bella terdiam sejenak, lalu menarik napas berat. "Mama belum bisa memastikan, Van. Tapi dari hasil lab yang tadi Mama lihat, kemungkinan besar Tasya itu mengidap leukimia. Kami masih harus lakukan pemeriksaan lanjutan untuk pastinya."

Darah Revan seakan berhenti mengalir. Nama itu, Anastasya Putri Handoko. Hanya satu orang yang cocok dengan nama itu.

Tasya, Anastasya yang dia kenal.

Tanpa pikir panjang, Revan berdiri mendadak hingga kursinya bergeser keras. "Van? Kamu kenapa? Nak, kamu mau kemana?" Bella memanggil, bingung melihat putranya yang panik.

Tapi Revan sudah berlari keluar ruangan tanpa menjawab. Langkahnya terburu-buru melewati lorong rumah sakit, napasnya memburu. Ia tak peduli tatapan heran orang-orang yang melihatnya. Yang ada di kepalanya hanya satu, Tasya.

Beberapa menit kemudian, mobil Revan berhenti tepat di depan rumah Tasya. Bersamaan dengan Tasya baru saja hendak menutup gerbang. Tubuhnya tampak lelah, gerakannya pelan.

Revan keluar dari mobil dan memanggil, "Tasya!"

Tasya terkejut, menoleh cepat. "Revan? Ngapain kamu—"

Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, Revan sudah menghampiri dan langsung meraih tubuhnya dalam pelukan yang erat.

Tasya terdiam, membeku di tempat. Jantungnya berdetak tak karuan, tubuhnya kaku di antara dekapan hangat itu. "Revan … kamu ngapain sih?" bisiknya lemah, hampir tak terdengar.

Revan memejamkan mata, meresapi momen itu seolah takut kehilangan.

Suaranya lirih, penuh perasaan. "Revan, lepasin!"

Revan memejamkan mata lebih erat, dekapannya justru semakin kuat. "Nggak, aku nggak mau lepasin kamu, Sya …" bisiknya, nadanya bergetar.

Tasya meronta pelan, wajahnya memanas karena bingung bercampur panik. "Revan, jangan bercanda. Lepasin aku, aku capek—"

Revan menunduk, menatapnya dalam, begitu dekat hingga Tasya bisa merasakan hangat napasnya. Mata itu penuh ketegasan bercampur ketakutan kehilangan.

"Aku serius, Sya. Aku nggak peduli kamu mau bilang kita cuma partner kerja, aku nggak peduli kamu selalu ngedorong aku pergi … yang aku tahu, aku nggak bisa lagi pura-pura nggak peduli sama kamu."

Tasya terdiam. Suara degup jantungnya begitu keras di telinga sendiri.

Revan menarik napas dalam-dalam, lalu mengucapkannya tanpa ragu. "Aku mau ... aku mau kamu jadi pacar aku, Sya!"

Kalimat itu jatuh seperti petir di telinga Tasya. Matanya melebar, tubuhnya menegang. Ia menatap Revan, seolah mencari tanda kalau laki-laki itu bercanda. Tapi tatapan Revan tak bergeser sedikit pun, penuh ketulusan, penuh kesungguhan.

Tasya menelan ludah, jemarinya mengepal di sisi tubuh. "Revan … kamu gil4 ya? Ini nggak lucu."

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!