Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Kekuatan Penuh Ramzi
Udara di sekitar lapangan beladiri semakin berat karena efek ledakan energi yang tak henti-henti saling berbenturan. Setiap kali serangan Anul dan Ramzi beradu, tanah bergetar dan udara seolah retak, menimbulkan desisan yang menusuk telinga.
Awan debu yang tipis memenuhi hampir seluruh lapangan beladiri, hasil dari benturan kekuatan mereka berdua.
Di kejauhan, Pak Ghandi hanya bisa berpegangan pada batang pohon, matanya tak sanggup mengimbangi kecepatan dua sosok yang kini hanya tampak sebagai bayangan samar—saling bertabrakan.
Sesekali terdengar ledakan kecil ketika telapak kaki menghantam tanah, meninggalkan retakan panjang yang bercabang ke segala penjuru.
Ramzi, dengan pengalaman puluhan tahun, seharusnya unggul mutlak. Ia sudah terbiasa menghadapi medan perang—sudah melewati darah, jeritan, dan maut berkali-kali.
Namun kini, menghadapi bocah polos yang bahkan belum mempelajari satu jurus pun—murni hanya kekuatan fisik, dirinya merasa terdesak.
Setiap gerakan Anul bukan sekedar serangan membabi buta; ada ritme, ada kecerdikan, ada efisiensi, ada insting tajam yang seolah terasah bukan oleh latihan, melainkan oleh sesuatu yang lebih kuno dan tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata.
Kekuatan fisik Anul bagaikan lautan tanpa dasar. Setiap kali Ramzi mencoba menekan, bocah itu justru membalas dengan tenaga yang setara.
Keringat mengalir deras di pelipis Ramzi. Ia merasakan tekanan pada lengannya setiap kali menahan serangan bocah itu—tulang-tulangnya bergetar, otot-ototnya menjerit.
“Tak mungkin,” gumamnya dalam hati. “Tak mungkin bocah ini hanya mengandalkan fisik semata. Jika benar, maka tubuhnya… tubuhnya bukanlah tubuh seorang manusia biasa.”
Anul sendiri tetap diam. Wajahnya tenang, matanya fokus, bibirnya terkatup rapat. Setiap gerakannya mengalir, tidak pernah berlebihan, tidak pernah ragu. Ketika tinjunya gagal mengenai sasaran, ia langsung melanjutkan dengan siku atau lutut.
Ketika serangannya tertahan, ia memutar tubuh, memanfaatkan gaya balik untuk melancarkan serangan lain. Gerakannya tidak seperti orang yang baru mempelajari bela diri, melainkan seperti seorang pendekar yang telah mengalami dan melewati ribuan pertempuran—mengancam nyawa.
Tiba-tiba, Ramzi menarik napas panjang dan mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya secara penuh.
Aura di sekitarnya semakin padat, hawa panas seolah membakar udara. Dalam sekejap, kecepatannya meningkat drastis. Kini setiap kali ia bergerak, matanya berkilau, tubuhnya seolah menyatu dengan bayangan.
Tapi, tentu saja Anul masih sanggup mengimbanginya. Setiap benturan kini membuat tanah di bawah mereka berlubang, menciptakan kawah-kawah kecil yang berasap.
Ramzi semakin depresi melihat Anul yang masih bisa mengimbangi kekuatan penuhnya.
Bocah itu bukannya mengalami kelelahan, tapi momentum dan kekuatannya terus meningkat mengikuti intensnya pertarungan.
“Jika terus seperti ini, aku yang akan kalah,” pikir Ramzi, hatinya digelayuti kegelisahan. Ia akhirnya menyadari bahwa stamina bukanlah masalah bagi bocah itu. Setiap tarikan napas pemuda itu tetap stabil, tidak ada tanda-tanda kelelahan sama sekali.
Anak ini… tidak punya batas?
Merasa terdesak, Ramzi akhirnya memutuskan untuk menggunakan jurus yang sedari tadi ia simpan.
Dengan geraman keras, ia melompat tinggi ke udara. Tubuhnya berputar sekali, dan dari telapak tangannya yang terbuka memancar cahaya redup kekuningan. “Jurus Tapak Gunung Runtuh!” teriaknya.
Telapak tangan itu meluncur turun bagaikan gunung yang menimpa, menekan udara hingga terdengar suara gemuruh panjang.
Tanah di bawahnya retak bahkan sebelum serangan itu mendarat.
Debu, batu, dan angin berpusar liar.
Pak Ghandi spontan menutup wajahnya dengan tangan, takut melihat pemandangan yang mungkin akan membuat bulu kuduk berdiri karena ngeri.
Namun Anul tidak bergeming. Ia menatap serangan itu dengan dingin, lalu mengangkat kedua tangannya—telapak terbuka dengan lengan yang saling menempel, seolah hendak menyambut gunung yang jatuh dari langit.
Saat telapak Ramzi hampir menghantam kedua telapak Anul yang mengembang—seperti kecambah yang baru memiliki dua daun, Anul mengunci kakinya dengan kokoh di tanah, otot punggungnya mengencang, dan dengan teriakan pendek ia menahan serangan itu dengan kedua tangannya.
Tubuh Anul bergetar hebat, keringat mengucur deras, dan urat nampak menyembul di permukaan kulit kuning langsat eksotisnya.
Benturan energi yang terjadi membuat bumi berguncang. Pohon-pohon disekitar lapangan beladiri patah, burung-burung berhamburan panik, dan orang-orang yang ada di lapangan—baik yang pingsan maupun masih dalam pertapaan, semua terpental.
Tanah di sekitar Anul dan Ramzi amblas, membentuk cekungan besar. Namun yang paling mengejutkan adalah—Anul masih berdiri, tangannya benar-benar menahan jurus Ramzi yang seharusnya bisa menghancurkan batu kokoh sebesar bukit kecil dengan mudahnya.
Ramzi terbelalak. “Mustahil!”
Anul menatapnya, lalu dengan satu gerakan mendadak, ia menangkap telapak tangan Ramzi itu dengan kedua telapak tangannya yang terkembang. Melemparkan tubuh Ramzi ke samping, membuat ia terpental ke udara lalu terhempas ke tanah.
Sebelum Ramzi sempat mengatur keseimbangan, pemuda itu sudah melesat kembali layaknya anak panah.
Tinju kanannya menembus udara, menghantam perut Ramzi dengan keras.
Ramzi muntah darah, tubuhnya melayang jauh, menabrak batu besar hingga retak. Ia jatuh berlutut, dadanya naik turun, napasnya tersengal.
Darah segar menetes dari sudut bibirnya, bercampur dengan debu yang menempel di wajah.
Seluruh tubuhnya bergetar bukan hanya karena luka dan kehabisan stamina, tapi juga karena rasa takut yang memuncak.
Anul melangkah mendekat, setiap langkahnya berat namun mantap. Tatapannya tidak penuh kebencian, hanya dingin dan tegas.
“Paman,” ucapnya pelan, “Kau bilang akan membunuh semua penduduk desa. Tapi nyatanya kau bahkan tidak bisa mengalahkanku. Kekuatan dan jurusmu hanya terasa seperti gelitikan kecil bagiku."
Ramzi mendongak, matanya merah karena amarah dan rasa malu. “Kau… bocah iblis… bukan manu…”
Namun sebelum ia bisa melanjutkan kata-katanya, Anul sudah tiba di hadapannya. Bocah itu menekuk lutut, dengan kecepatan luar biasa ia menghantam dada Ramzi dengan telapak tangan terbuka.
Dentuman keras kembali terdengar, dan tubuh Ramzi terpental sekali lagi, kali ini menghantam tebing tanah dengan posisi terkapar. Perlahan kesadarannya menghilang, nafasnya tidak beraturan, dan matanya perlahan tertutup, kehilangan kesadaran.
Debu perlahan mengendap, suara gemuruh mulai mereda. Di tengah lapangan yang hancur lebur, hanya satu sosok yang berdiri tegap: Anul.
Pak Ghandi berlari tertatih-tatih mendekat, wajahnya penuh rasa tak percaya. “A… Anul… kau benar-benar… mengalahkannya…” suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.
Anul tidak menjawab. Ia hanya menatap Ramzi yang terbaring tak sadarkan diri, lalu menghela napas panjang. Ia kemudian melayangkan pandangan untuk menatap orang-orang yang sebelumnya ada di tengah lapangan—kini berhamburan di sekeliling lapangan.
Sebagian ada yang sudah tersadar dari pingsan atau kondisi bertapa mereka.
Mereka yang tersadar hanya melongo dengan tatapan kosong tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Diantara orang yang sudah sadar itu ada Arum dan Biro yang sama bingungnya dengan yang lain.
Anul memandang kosong ke arah langit di kejauhan. Dalam hatinya, ia tahu pertarungan ini bukanlah akhir.
Alasan kenapa Ramzi bisa bergerak leluasa meninggalkan pasukan dan menjalankan konspirasi gila ini pasti karena ada seseorang yang memberikan izin dan menyokongnya.
Kemungkinan orang itu adalah orang dengan posisi penting di kerajaan Awan Petir.
Saat orang itu mengetahui kegagalan Ramzi, mungkin saja ia akan mengirimkan orang yang lebih kuat atau bahkan dirinya sendiri yang akan turun tangan.
Namun yang membuat Anul sedikit lega adalah kemungkinan untuk orang itu mengirimkan pasukan besar sangatlah mustahil.
Dari apa yang dilakukan Ramzi, sudah jelas orang itu ingin untuk menguasai warisan Bagjo seorang diri. Untuk saat ini, Anul menghentikan pemikiran-pemikiran yang berkecamuk itu dan memilih menunggu untuk bertindak sesuai situasi.
Setidaknya saat ini desa Lembah Tiga Gunung bisa kembali damai untuk beberapa saat.
Langit perlahan memerah, mentari mulai tenggelam di balik pegunungan yang jauh. Siluet Anul berdiri sendirian di tengah lapangan yang luluh lantak nampak sangat megah dan menyilaukan. Sosoknya yang sederhana penuh lumpur akibat debu yang menempel bercampur keringat.
Namun, di balik sosok sederhana itu, tersimpan kekuatan yang bahkan dunia mungkin tidak bisa memprediksi sejauh apa Ia akan berkembang.