Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 10 : Hinaan Rayyan
Kanaya menatap tajam ke arah jendra, meski tak bisa di pungkiri matanya kini sudah memerah, tapi wajahnya penuh keberanian dan luka yang mendalam. Tangan yang tadi menampar pemuda itu masih terasa hangat, tapi semangatnya tak bergeming. Ia merasa sudah cukup di perlakukan tidak adil oleh orang-orang di sekitarnya, dan hari ini adalah hari untuk menunjukkan bahwa dia tidak akan lagi diam.
"Kalau kamu mau tahu Jendra, " suara Kanaya bergetar namun tegas. "Aku bukanlah Kanaya yang dulu lagi, aku bisa berdiri sendiri, tanpa harus selalu bergantung pada orang lain. Dan sekarang, aku akan melawan setiap kali kalian mencoba merendahkan ku! "
Jendra sendiri tampak terkejut, matanya membelalak. Dia tidak menyangka Kanaya akan berani melakukan hal seperti ini, apalagi di depan semua orang. Rasa marah dan bingung bercampur di wajahnya, tapi jauh lebih itu, di dalam hatinya ada rasa malu yang mulai menyusup.
Sementara itu, Aria yang masih berada dalam rangkulan Jendra, menyaksikan kejadian itu dari samping, menatap dengan mata membelalak. Ia merasa kemenangan kecil merayapi dirinya, merasa bahwa rencananya untuk menjatuhkan Kanaya sedang berjalan sesuai rencana, apalagi saat menatap ke semua orang kini tengah memandang Kanaya dengan rasa benci yang terlukis kan di wajah mereka, dalam hati Aria bersorak kecil meski sempat mengira gagal karena mulut pembantu yang ember itu, ia merasa tetap menang. Tapi di hati yang paling dalam, rasa takut juga mulai menyelinap, jika Kanaya benar-benar berani berdiri dan melawan, maka posisinya di rumah ini akan terguncang.
Maka dengan wajahnya yang ia setting dengan cepat, Aria segera mendekati Jendra. "Astaga kak Jendra, kakak tidak apa- apa? " tanyanya dengan wajah yang ia buat sekhawatir dan semelas mungkin.
"Hiks, hiks, ini semua salah ku. Andai tubuh ku tidak lemah, andai aku tidak sakit- sakitan, pasti kak Kanaya tidak akan seperti ini. Kak Naya berubah seperti ini pasti karena aku. "
Jendra menggeleng cepat, ia menyentuh tangan mungil Aria yang berada di wajahnya. "Tidak! Aria, adikku, ini bukan salah mu. Jangan salahkan dirimu sendiri ya. "
Aria mengangguk, kemudian dengan gerakan lemah ia mengusap air matanya dan berbalik menatap Kanaya.
"Kak Naya, seharusnya tidak perlu sampai melakukan itu. Bagaimana pun kak Jendra hanya mengkhawatirkan kesehatan ku. Maafkan aku kak, jika aku menciptakan huru- hara ini, " katanya dengan terisak pelan lagi.
Kanaya tersenyum miring. "Jika tahu kau pembuat huru- hara, kenapa tidak dari dulu sadarnya? " cibir Kanaya.
Jendra melotot mendengar nya, apalagi saat melihat Aria mulai menangis lagi. Dia mungkin masih terima dirinya di tampar tapi dia sama sekali tak terima dengan hinaan yang baru saja di lontarkan Kanaya untuk adik kesayangannya.
"Kau!"
Di detik itu Kanaya langsung berbalik menatapnya, mata gadis itu melotot tajam. "Apa? mau balik menampar ku? Ayo silahkan saja!"
Nafas gadis itu memburu, suaranya bergetar di akhir begitu juga dengan seluruh tubuh dan bola matanya. Jendra tercekat di tempat nya, ia hanya bisa mematung sampai akhirnya suara menggelegar dari tuan Abiyasa, melambung ke udara, memecah keheningan yang sempat terjadi.
"Cukup! " nadanya tegas dan penuh otoritas. Ia menatap semua anak- anaknya dengan tatapan serius. "Apa yang kalian lakukan ini sungguh tidak pantas! Kanaya, papa mengakui keberanian mu tapi jangan sampai emosi menguasai dirimu. Dan Jendra, kamu harus belajar mengendalikan amarahmu. "
Kemudian ayah mereka melangkah mendekat, dan menatap satu persatu di antara mereka. "Sekarang semuanya bubar! " katanya dengan nada pelan namun tetap tegas.
Lantas Javier dan Jendra berbalik lebih dulu sambil mendengus ketus namun tindakan mereka tetap lembut kepada Aria, kemudian di susul Rayyan yang terang- terangan mencebikkan bibirnya kepada Kanaya.
"Dasar pembuat onar, " ketus laki-laki itu lalu mengikuti langkah yang lain.
"Kalian pergi lah dulu, aku ingin bicara dengan Kanaya, " ucap tuan Abiyasa kepada Areksa dan nyonya tania yang masih di sana lalu mereka hanya bisa menghela napas pelan dan mengangguk, mematuhi.
Setelah hanya ada mereka berdua. Tuan Abiyasa kemudian mendekati putrinya, sebelah tangannya menyentuh pundak Kanaya dan matanya menatap teduh.
Tapi entah kenapa Kanaya tidak bisa menganggap itu sebagai sebuah bentuk kasih sayang, tapi hanya sebuah iba.
"Kanaya, papa mengerti kamu telah melewati masa- masa yang sulit saat ini, tapi ingatlah kita semua di sini adalah keluarga. Tidak ada gunanya saling menyakiti. Papa ingin kalian semua saling pengertian dan saling mendukung. "
Kanaya berbalik menatap ayahnya. "Asap tidak akan muncul kalau tidak ada api. Aku tidak akan melakukan semua ini jika tidak ada penyebab nya. Sekarang, aku tanya papa, setelah fakta yang sebenarnya yang telah di beberkan, apakah papa akan menganggap Aria yang bersalah? "
Tuan Abiyasa terdiam, kelopak matanya menurun. Kanaya tersenyum miris, tentu saja walaupun Aria yang salah, papanya itu akan tetap menutup mata.
"See? papa saja tidak bisa menjawab nya. "
"Kanaya, mengerti lah. Aria itu baru ada di kehidupan kita empat tahun yang lalu dan dia masih harus beradaptasi, wajar jika dia melakukan sedikit kesalahan padamu. "
Lagi dan lagi, Kanaya hanya bisa tertawa miris. Dia tidak ingin perdebatan ini terus berlanjut maka dia mengalah dan mengangguk.
"Ya papa benar, kakak- kakak yang lain juga benar. Aria itu lemah lembut, sedangkan aku? huh, aku hanya anak pungut si pembuat onar. "
Dan seketika itu juga, tuan Abiyasa terdiam.
Esok paginya, hari yang cerah tiba dan tepat di hari senin ini mau tak mau, suka tak suka Kanaya harus tetap pindah sekolah.
Semalam ia terkejut sebab semua urusan soal kepindahan sekolahnya sudah diselesaikan oleh ayahnya dan dia hanya di beri tahu untuk bersiap- siap saja untuk berangkat ke sekolah barunya.
Tetapi hari ini, ia bangun kesiangan, jam wekernya yang ia bawa dari panti tiba-tiba tidak menyala, dia heran sebab biasanya jam itu akan berdering sesuai dengan pukul yang sudah ia setting.
Dan sebenarnya itu bukan tanpa alasan. Sebab diam- diam Aria lah yang merusak nya semalam, gadis itu diam- diam menyelinap ke kamar Kanaya saat Kanaya sedang terlelap dan sengaja mematikan jam wekernya.
Dan saat ini Aria hanya bisa tertawa dalam hati ketika melihat Kanaya yang kesiangan, bahkan tak sempat sarapan bersama mereka.
Di luar langit bersih dengan matahari pagi yang sejuk, Aria dan Javier sudah bersiap pergi ke sekolah bersama Rayyan menggunakan mobil pria itu.
Sedangkan Areksa sudah berangkat pagi- pagi sekali ke kampusnya, begitu pun dengan tuan Abiyasa yang lama pergi ke kantor tanpa mau repot- repot memikirkan jika saat ini salah satu putri nya sedang kebingungan meminta tumpangan, bahkan kepada saudara- saudaranya dia di tolak dengan mentah- mentah.
"Naik taksi aja sono lo, gak sudi mobil mahal gue di dudukin sama gembel kaya lo. " Itulah yang Rayyan katakan saat Kanaya dengan terpaksa meminta berangkat bareng bersama mereka.
Tawa di antara mereka pun mengudara, Aria juga hampir mengeluarkan tawanya tapi sedetik kemudian wajahnya berubah seolah-olah peduli.
"Kak Rayyan, jangan begitu ke Kanaya, gak baik, " katanya dengan lembut tapi Kanaya tahu diam- diam di dalam hati gadis itu dialah yang tertawa paling kencang.
*****