Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Titik Balik
Lana masih duduk di bangku taman, tubuhnya membeku oleh dinginnya malam Sukabumi yang menusuk kulit. Namun, yang lebih menusuk adalah selembar amplop lusuh yang tergeletak di pangkuannya,amplop berisi dokumen pembatalan kontrak pernikahan. Lambang kebebasan yang dulu ia dambakan, kini justru terasa berat, hampa… bahkan menakutkan.
Ia memandangi kertas itu seperti seseorang menatap senjata yang bisa menyelamatkan sekaligus menghancurkan. Bebas… tapi dari apa?
Pikirannya kembali mengembara ke percakapan terakhirnya dengan Leon. Matanya yang sembab, suaranya yang pecah saat memohon, ketakutannya kehilangan sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Hati Lana mencelos. Ia ingin membenci Leon dan memang ada bagian dari dirinya yang masih membenci,tetapi luka-luka itu juga menumbuhkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya… empati? Harapan? Atau cinta yang tumbuh di tanah becek penuh luka?
Ia teringat pada kata-kata Arvino, "Kamu berhak bahagia. Kamu berhak punya hidup sendiri."
Arvino. Pria yang tenang seperti danau pagi. Tak ada badai, tak ada ombak, hanya kehangatan yang tak pernah menuntut.
Tapi... bagaimana dengan Leon? Jika ia pergi, akankah pria itu bangkit atau kembali tenggelam ke dalam kegelapan yang selama ini ia lawan sendiri?
Lana memejamkan mata, mencoba mencari kejelasan di tengah badai emosinya. Ia membayangkan hidup damai bersama Arvino tanpa ancaman, tanpa intrik, tanpa ketakutan. Lalu ia membayangkan hidup bersama Leon, jalan yang penuh kerikil, luka, dan usaha tak henti-henti.
Dan anehnya, yang membuat jantungnya berdetak lebih keras bukanlah jalan damai itu, melainkan yang penuh luka itu.
Mungkin karena dalam luka itu, ada makna. Ada perjuangan. Ada kemungkinan tumbuh bersama.
Ia membuka mata. Nama Leonhart Revanza tercetak tegas di dokumen itu, seolah menantangnya untuk memilih.
Dengan tangan gemetar, Lana mengambil pulpen dari tasnya. Ia menatap halaman kosong tempat tanda tangannya seharusnya tergores. Ujung pulpen menyentuh kertas… dan berhenti.
Ia tidak bisa menandatanganinya. Bukan malam ini. Bukan sekarang.
Ia melipat kembali dokumen itu, perlahan dan mantap, lalu memasukkannya ke dalam amplop. Dengan langkah pasti, ia bangkit dari bangku taman. Keputusan telah dibuat dan kali ini, bukan karena ketakutan atau tekanan. Tapi karena hatinya yang bicara.
Lana menghentikan taksi. Tujuannya: Leonhart Group.
Malam telah larut ketika Lana tiba di gedung pencakar langit itu. Lampu di lantai teratas masih menyala, satu-satunya cahaya yang hidup di antara gelapnya malam. Ia naik ke atas tanpa ragu. Asisten Leon yang terkejut hanya mengangguk dan membukakan pintu.
Leon duduk di belakang meja besar yang dipenuhi berkas, secangkir kopi yang sudah dingin, dan beberapa pil pereda nyeri. Tatapannya kosong, seperti jiwanya belum kembali ke tubuhnya.
“Lana?” suaranya serak, nyaris tak percaya. “Kamu di sini?”
Lana berjalan mendekat, lalu meletakkan amplop itu di atas mejanya. “Aku belum menandatanganinya.”
Leon menatapnya, bingung. “Kenapa?”
“Karena aku punya syarat,” jawab Lana. Suaranya tenang tapi mengandung ketegasan. “Aku bersedia memberimu kesempatan. Aku bersedia menemanimu dalam proses penyembuhan mu. Tapi hanya jika kamu juga berjuang. Bukan hanya untukku. Untuk dirimu sendiri.”
Leon berdiri, mendekat. Tatapannya tajam, tapi ada api harapan yang menyala di sana. “Aku serius, Lana. Aku bersedia berubah. Aku akan lanjutkan terapi. Aku akan belajar... melepaskan.”
“Itu belum cukup,” Lana memotong. “Bebaskan ibuku sepenuhnya. Tak ada lagi utang. Tak ada lagi ancaman dari Sanjaya. Ia berhak hidup tenang.”
Leon mengangguk. “Itu sudah kulakukan. Hari ini juga. Sanjaya sudah disingkirkan. Ibumu bebas. Semua utang sudah lunas.”
“Dan satu lagi,” Lana menatap matanya dalam-dalam. “Ubah cara kerjamu. Jangan lagi paksakan kendali ke semua hal. Belajarlah percaya.”
Leon menelan ludah. Itu permintaan terberat baginya. Tapi ia tahu, jika ia ingin Lana tetap di sisinya, ia harus belajar menjadi manusia lagi.
“Aku akan mencoba,” katanya lirih. “Aku tidak tahu caranya… tapi aku akan belajar. Demi kamu. Demi kita.”
“Aku tidak akan tinggal bersamamu,” ujar Lana. “Belum. Aku tetap tinggal di apartemen Arvino sampai aku yakin kamu berubah.”
Nama Arvino membuat rahang Leon mengeras. Tapi ia tidak membantah. Diamnya adalah bentuk pengorbanan paling tulus.
“Baiklah,” katanya. “Tapi izinkan aku tetap menjagamu.”
Lana tersenyum tipis. “Kamu sudah menjagaku. Dengan mengusir Sanjaya. Dengan mengaku salah.”
Leon mengulurkan tangannya. Genggaman yang dulu terasa seperti belenggu, kini berubah menjadi permohonan. Bukan untuk memiliki, tapi untuk didengarkan.
“Ini bukan janji pernikahan lagi, Leon,” kata Lana. “Ini janji untuk mencoba. Untuk sembuh. Untuk tumbuh.”
Leon menatapnya dengan mata basah. “Aku berjanji.”
Malam itu, Lana pulang ke apartemen Arvino.
Arvino sudah menunggunya, wajahnya gelisah. “Kamu lama sekali. Aku khawatir.”
Lana menunjukkan amplop yang masih utuh. “Aku tidak menandatanganinya.”
“Apa?” desah Arvino.
“Aku memutuskan memberinya kesempatan. Dia berjanji berubah. Dan... dia sudah membebaskan ibuku.”
Arvino menatap Lana dalam diam. Campuran antara kekecewaan dan pengertian bersemayam di matanya.
“Aku hanya ingin kamu bahagia,” katanya akhirnya. “Apa pun jalannya.”
Lana menggenggam tangannya. “Terima kasih, Arvino. Kamu pelabuhan yang tenang... Tapi kali ini, aku harus melangkah ke badai itu.”
Dan Arvino, tanpa berkata banyak, hanya menggenggam lebih erat. Tak menahan, tak memaksa. Hanya ada cinta yang diam.
🌸 Beberapa Bulan Kemudian
Leon berubah. Perlahan, tapi nyata.
Ia rutin menjalani terapi. Sikapnya terhadap karyawan berubah,lebih terbuka, lebih menghargai. Aura dingin dan intimidatif nya mulai luntur. Dan yang terpenting, Sanjaya benar-benar telah tersingkir. Keluarga Lana aman.
Lana masih tinggal di apartemen Arvino, menjaga jarak. Tapi ia dan Leon mulai bertemu lebih sering. Bukan karena kewajiban, tapi karena ingin saling memahami.
Satu sore yang mendung, mereka bertemu di kafe kecil di pinggiran kota.
Leon sudah menunggu, duduk sambil menyesap kopi hangat. Senyumnya tak sempurna, tapi damai.
“Aku punya sesuatu untukmu,” katanya, meletakkan kotak kecil di meja.
Lana membukanya perlahan. Di dalamnya, sebuah liontin kupu-kupu yang sayapnya belum sepenuhnya terbuka.
“Kupu-kupu ini lambang perubahan,” kata Leon. “Sayapnya belum sempurna. Seperti aku. Tapi aku sedang belajar... dan aku tidak akan berhenti.”
Air mata menggenang di mata Lana. Bukan karena sedih,tapi karena harapan.
Leon mengeluarkan satu amplop lagi. “Ini akta pembatalan kontrak. Sudah ku tandatangani. Kamu bebas sekarang, Lana. Sepenuhnya.”
Lana menatapnya. Tak ada paksaan, tak ada rayuan. Hanya keikhlasan yang jujur.
“Aku ingin melihatmu bahagia. Dengan atau tanpaku,” kata Leon.
Lana menahan napas. Hatinya hangat. Inilah kebebasan sesungguhnya yang diberikan, bukan direnggut.
“Aku akan ke rumah Ibu besok,” katanya akhirnya. “Aku ingin waktu bersamanya.”
Leon mengangguk. “Aku pastikan rumah itu aman.”
“Dan setelah itu… aku ingin tahu ke mana semua ini akan membawa kita. Aku ingin mencoba membangun sesuatu yang baru. Kalau kamu masih ingin.”
Leon nyaris tak percaya dengan kata-katanya. Tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Tulus. Lelah. Tapi penuh harapan.
“Aku tak akan mengecewakanmu lagi,” bisiknya.
Malam itu, Lana menatap langit dari jendela apartemennya. Bintang-bintang berserakan, seperti janji-janji kecil yang bersinar malu-malu.
Ia tahu perjalanan ini belum selesai. Tapi ia tak lagi berjalan sendirian.
Dan mungkin, hanya mungkin… badai yang mereka hadapi bersama bisa melahirkan langit baru yang lebih cerah.