NovelToon NovelToon
Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Status: tamat
Genre:Toko Interdimensi / Tamat
Popularitas:336
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.

Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:

Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.

Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kisah cinta yang kelam

Malam menghancurkan kehangatan, membuatnya tidak berdaya. Sang istri tidak kuat dengan dingin. Dia benci dingin, terutama dinginnya alkohol yang aku minum. Semua cinta, pelukan dan bahkan kasih sayangku tercipta karena mabuk. Dan aku sering membayangkan wanita lain yang sedang bercinta denganku. Wanita murahan, wanita cantik yang terlihat anggun dan bahkan guru sekolahku yang dulu, seseorang tante seksi yang memiliki payudara yang hangat, Bokong seperti bantal dan kehangatan seperti air pemandian air panas.

Aku selalu suka, tapi selalu ingin bersama istriku yang polos. Dia tidak bodoh, jangan mengatakannya begitu. Dia lebih tahu dari apa yang aku tahu tentang diriku sendiri. Dia tidak seperti alkohol yang sering kuminum, hangat pahit, sakit namun membuatku ingin merasakannya lagi.

Dia tidak mau bersamaku ketika aku sedang mabuk. Dia menghindar sebisa mungkin, tapi karena aku mabuk dia selalu tidak bisa melakukannya. Sehingga, aku sering sadar dalam pelukannya di pagi hari dan melupakan hal kemarin. Aku menganggapnya mimpi yang tidak perlu di ingat.

Alkohol tidak dingin, itu justru menghangatkan, tapi aku tidak mengerti mengapa dia menyebutnya begitu.

Sekarang Sang istri tertidur.

Aku tidak mau mengganggunya sehingga keluar untuk melihat taman, mengangkat wajah untuk melihat bintang-bintang. Aku bertanya bintang-bintang inikah yang menjadi saksi dalam perselingkuhanku dengan Ibu guru Kirana dan kebodohan Lara yang menunggu dengan polosnya di taman sekolah, menganggap sang tunangan pergi belajar?

Jika di pikir-pikir, aku tidak layak berdamping dengannya. Dia angsa putih yang bersih, bebas noda, sementara aku adalah lumpur atau air yang keruh. Kehadiranku bersamanya, ibaratnya seekor angsa putih berenang di antara air yang keruh, walaupun itu tidak menempel pada bulunya yang halus, itu masih bisa membawa aroma tidak sedap.

Sungguh menyedihkan aku membayangkannya.

Mungkin sekarang karena angsa itu sudah terbiasa, maka dia tidak apa-apa, tetapi aku adalah air keruh yang perlahan-lahan mengubah bulu-bulunya yang halus dan penampilannya yang indah.

Aku membuka tutup arak dan meminumnya. Dadaku menjadi hangat, dan sekarang dingin kesulitan menggangguku.

Aku teringat dengan ibu guru cantik itu. Dua puluh enam tahun yang lalu, itu sudah lama, dan aku mulai melupakannya jika bukan mengetahui kabar kematiannya.

Malam itu, aku mengatakan akan pergi untuk belajar bersama ibu guru, Lara akan menunggu dan ingin menyaksikan kembang api bersamaku. Aku merasa bersalah memikirkannya sekarang. Tapi waktu itu, aku tidak peduli. Dan seharusnya sekarang aku tidak peduli dengan apa yang aku lakukan waktu itu. Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana masa depan, siapa yang akan kunikahi atau yang lainnya, jadi pada waktu itu aku bebas.

Seorang gadis polos berpakaian biru muda duduk di taman, melihat pemandangan yang indah di langit, terlihat polos dan penuh harapan.

Sementara sang tunangan, membuka baju, telanjang bersama di ruangan yang tertutupi korden dengan cahaya remang-remang. Dua tubuh bersatu, satu melakukan untuk pertama kalinya dan satu lagi sudah berpengalaman.

Aku masih ingat bagaimana wajah cantik yang oval, dengan kaca mata dan rambut pendeknya itu. Semakin aku mengingatnya, aku semakin membencinya. Dia mendesah dan aku melakukannya dengan semangat. Keringat bercampur dalam kemewahan seksual yang memikat dan banyak pembicaraan vulgar. Aku tidak mau menceritakannya dengan rinci. Lalu akhirnya selesai. Kami menghela nafas.

“Aku mencintamu...” kata wanita itu waktu itu, tanpa busana, memelukku dari belakang dan dagunya di letakan di bahuku.

Namun aku tidak merasakan kehangatannya dan rasa bersalah muncul dalam diriku, tapi aku menginginkan proses ini.

Aku tidak berbicara dan lanjut memakai baju.

“Pelajaran biologis hari ini selesai,” kataku lalu berjalan pergi.

“kau tidak akan datang kembali?”

“Sepertinya aku datang lagi.”

Saat aku keluar, Lara bangun dan tersenyum kepadaku. “Ini hari pertama kita, apa yang akan Kita lakukan?”

Aku tidak tahan merasakannya. Kata-katanya seperti prosa yang sangat indah, sederhana tapi mengikat. Aku tidak pernah tahu, mengapa aku merasa tidak sendirian ketika kami menyaksikan kembang api yang kembang di langit.

Wanita di sampingku waktu itu, adalah wanita yang benar-benar aneh. Dia tidak terlalu menarik, dia biasa meskipun terlihat cantik. Apa karena kesederhanaannya? Apa karena dia adalah wanita yang lembut? Aku hanya bisa menghela nafas saat mengingatnya.

Sekarang, ibu guru itu meninggal, memberi kesempatan untuknya muncul dalam ingatanku sekali lagi. Ini adalah puisi untukmu yang telah pergi.

Bunga mawar di petik oleh seorang.

Di tempatkan di tempat yang indah.

Di buai oleh puluhan mata-mata yang hangat.

Tidak bertahan lama, lalu akhirnya di buang.

Keindahannya berumur pendek.

Apa itu jelek? Itulah kesanku kepadamu. Aku tidak ahli membuat puisi seperti ibuku, tapi yang terpenting perasaan dan maknanya sudah tersampaikan. Ibu guru, apa kamu damai di sana?

Aku berjalan dan membuka gerbang. Suaranya memecah kesunyian.

Angin berhembus masuk dengan semangatnya. Sayang sekali, aku masih merasa hangat.

Kemudian aku melihat dua patung, kiri dan kanan, disinari cahaya remang-remang lampu. Keduanya patung Dewi, dua tempat tapi dua keadaan. Satunya berada di bawah pohon hijau dan satunya lagi terekspos sinar matahari. Satu bentuknya tersamarkan oleh lumut-lumut hijau, tapi tetap utuh, sementara yang satunya lagi kehilangan cat, dan mulai retak, tapi bentuknya masih sangat jelas.

Pada siang hari, keduanya akan terlihat mencolok, tapi saat malam tiba, keduanya terlihat sama saja.

Dari gerbang ini ada jalan panjang yang dipenuhi lampu-lampu kecil, aku merasa tertarik untuk melangkah lebih jauh namun ada sesuatu yang aneh yang berusaha menahanku. Aku hanya terdiam dan melihat sesajen di letakkan. Satu dupa menyala. Asapnya sangat tenang, sepertinya tidak ada angin yang berhembus sama sekali, tapi meskipun begitu, aku percaya masih ada angin di sana.

Rumpun bambu di depan gerbang bergoyang-goyang, itulah tanda ada angin. Bambu-bambu itu mengingatkanku pada rumah horor yang pernah aku tonton bersama ibu guru, tetapi yang paling aku ingat tentu saja pertemuan kami saat itu. Sebuah kisah cinta yang tidak layak di sebut kisah seperti itu.

Aku meminum alkohol lagi untuk mengusir dingin.

Waktu berjalan, dupa habis, rumpun bambu menumbuhkan tunas, tunas tua tumbuh kemudian di tebang.

Saat burung-burung hitam yang kontras dengan langit biru pada waktu itu, aku telah memberi uang pada wanita paruh baya yang cantik. Namun seperti bagaimana cara aku tumbuh, wajahnya, kulitnya dan tinggi wanita itu di poles sedemikian rupa agar terlihat sangat cantik dan indah.

“Kau baik sekali...”

Cantik sekali dia, tapi bukan cantik yang bisa menghangatkan, bukan pula cantik yang menyebabkan jantungku berdetak lebih kencang. Aku juga gak mau merasakannya, jangan-jangan aku bisa terkena penyakit jantung karena itu.

Kami bertemu di sebuah toko, di luar jam sekolah, ketika aku dan teman-temanku sibuk nongkrong dan minum bersama.

“Tante, anggap saja ini keberuntungan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!