Medeline Arcela Forza, dijual oleh Kakak tirinya di sebuah tempat judi. Karena hal itu pula, semesta kembali mempertemukannya dengan Javier Antonie Gladwin.
Javier langsung mengenali Elin saat pertemuan mereka yang tak disengaja, tapi Elin tidak mengingat bahwa dia pernah mengenal Javier sebelumnya.
Hidup Elin berubah, termasuk perasaannya pada Javier yang telah membebaskannya dari tempat perjudian.
Elin sadar bahwa lambat laun dia mulai menyukai Javier, tapi Javier tidak mau perasaan Elin berlarut-larut kepadanya meski kebersamaan mereka adalah suatu hal yang sengaja diciptakan oleh Javier, karena bagi Javier, Elin hanya sebatas teman tidurnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Apartmen
Mobil yang membawaku dan Tuan Gladwin tiba di sebuah pelataran luas dengan pemandangan gedung tinggi disisi Utara. Itu adalah sebuah bangunan Apartmen yang cukup terkenal di pusat kota. Aku belum tau apa yang akan terjadi padaku selanjutnya, namun sekelebat pikiran buruk terus saja bercokol di kepala.
"Elin ..."
Saat suara serak nan dingin milik Tuan Gladwin terdengar, aku masih dalam keadaan yang bingung hingga menatapnya keheranan.
"Kau sudah ku tebus dari kasino milik Aro, jadi jangan bersikap tidak tau terima kasih dengan cara melarikan diri." Pria itu memperingatkanku, sorot matanya yang se-kelam malam seakan menghipnotis ku hingga aku mengangguk bagai kerbau yang di cocok hidungnya.
Tak berapa lama, pintu mobil disisiku dibukakan dari luar. Rupanya itu ulah ajudan yang tadinya sempat ku kelabui saat masih di gedung perjudian.
Aku turun dan entah kenapa aku tidak mencoba untuk kabur kembali, karena aku tau itu hanya akan berujung sia-sia. Entah karena tersugesti oleh ucapan Tuan Gladwin, atau justru aku saja yang bodoh. Padahal, aku tidak tau maksud dan tujuan dia membawaku ke gedung Apartmen ini.
Tuan Gladwin tampak berjalan lebih dulu, sementara aku menyusul dibelakangnya dan diapit oleh dua ajudan yang ternyata adalah orang-orangnya.
Langkah kami mulai melewati lobby, memasuki lift, sampai kemudian berhenti pada sebuah lantai yang cukup tinggi.
Sebuah pintu besar menjadi tujuan, dan dengan pergerakan lincah jari-jari tuan Javier menekan tombol-tombol yang ada di panel dekat pintu itu, setelahnya pintu pun terbuka, menampilkan sebuah ruangan yang diluar dugaanku.
Jujur saja, awalnya aku mengira jika dia akan membawaku ke sebuah tempat hiburan lain yang nantinya akan menjadi tempat kerjaku yang baru. Bukankah dia butuh perputaran modal akibat menggelontorkan uang demi membeliku? Jadi, tidak mungkin dia tidak memanfaatkanku sebagai sapi perah untuk mengembalikan uang itu secepatnya, kan?
Nyatanya, apa yang kini ku lihat? Ini jauh dari ekspektasi ku. Yang justru membuat pikiranku menjadi ragu dan aneh, sebab dibalik pintu yang baru saja terbuka--aku bukan menemukan tempat hiburan atau semacamnya--tapi aku hanya melihat sebuah ruang biasa yang bisa dikatakan sebagai rumah ataupun tempat tinggal.
"Masuklah," kata Tuan Gladwin mempersilahkan.
Aku melangkah dengan ragu. Apa mungkin dia mau menjadikanku maid atau pembantu di Apartmennya? Mungkin saja.
Dua orang ajudan menunggu diluar sementara aku dan Tuan Javier sudah memasuki area ruangan yang comport alias sangat nyaman itu. Ya, harus ku akui memang. Desainnya berkelas, menunjukkan jika tempat tinggal ini bukanlah milik sembarangan orang.
"Mulai sekarang, tinggallah disini."
"A-apa?" tanyaku tergagap. Bukankah harusnya aku menerima hukuman dengan bekerja? Meski dalam hati aku bersyukur karena tidak dibawa ke dunia malam lagi, tapi dengan tinggal disini apa hidupku akan jauh lebih baik? Aku tidak tau apa maksud dari semua ini.
"Ya, tinggal disini. Bersamaku."
"Tu--tuan bercanda?"
"Aku tidak pernah seserius ini, Elin." Tuan Gladwin menekankan kata-katanya. Dia dan aku berada dalam jarak yang cukup jauh, namun aku merasakan aura intimidasinya yang membuatnya terasa sangat dekat.
"Lalu, pe--pekerjaanku?" tanyaku polos.
Tuan Gladwin menarik satu sudut bibirnya. "Jika kau masih menginginkan pekerjaanmu maka ... ya, tugasmu disini tidak jauh berbeda dengan saat di tempat Aro, hanya sebatas menemaniku tidur."
Glek ...
aku menelan ludah dengan susah payah. Mungkin saat di tempat Tuan Aro dia tidak menyentuhku. Lalu, bagaimana jika sekarang? Kini aku benar-benar berada ditempatnya, dibawah kekuasaannya. Apa dengan begini berarti aku menjadi wanita simpanannya? Yang siap melayaninya? Ku pikir ini benar-benar lebih parah ketimbang menemani para pria berjudi.
"Jangan berpikir terlalu jauh, Elin. Syukuri saja karena disini kau hanya bersamaku. Tidak dengan pria lain," ujarnya seolah dapat membaca pikiranku.
Aku menunduk sambil menggigitt bibir. Aku seperti berada di persimpangan jalan yang semuanya buntu. Tak satupun simpang yang bisa membawaku keluar dari permasalahan, kecuali satu jalan yang mau tak mau harus ku lalui dan sialnya jalan itu adalah bersama Tuan Gladwin.
"Pikirkanlah secara baik-baik, kau akan 1000 kali lebih aman bersamaku daripada berada di tempat Aro dan bertemu dengan banyak orang yang berbeda karakter."
Aman katanya? Kalau ternyata dia berubah menjadi monster yang akan memakanku, apa artinya itu masih aman? Tanpa ku sadari aku justru mendengkus saat mendengar ucapannya.
Tuan Gladwin menyodorkan sebuah minuman kaleng ke arahku.
"Minumlah, setelah itu kita harus tidur," katanya merujuk pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. "... karena sebelum pukul 6 aku harus kembali terjaga," sambungnya.
Aku menggeleng, enggan menerima minuman kaleng darinya. Aku bingung dan tidak tau bagaimana mengartikan perasaanku sekarang. Yang jelas, aku gamang apalagi setelah Tuan Gladwin menyinggung soal 'kita harus tidur'.
Apakah ini takdirku? Haruskah aku benar-benar menyerahkan diriku sepenuhnya kepadanya?
"Dimana kamarnya?" Akhirnya aku berani menyuarakan isi kepalaku. Aku juga butuh beristirahat karena aku memang sangat lelah. Per-se-tan dengan apa yang akan terjadi nanti antara aku dan Tuan Gladwin, setidaknya sekarang aku benar-benar harus tidur.
Tuan Gladwin mengendikkan dagu ke arah sebuah pintu besar disisi ruangan. Isyarat itu ia berikan sebagai jawaban atas pertanyaanku.
"Bisakah aku tidur sekarang?" tanyaku dengan berani.
Aku dapat melihat jika Tuan Gladwin menipiskan bibirnya. "Of course, kita tidur sekarang," jawabnya.
Dan aku melengos saat dia menyebut kata 'kita'.
Aku berdiri mengikuti langkah jenjang pria matang itu. Dia membukakan pintu sampai aku dapat melihat ke dalam ruang kamar yang bertema monochrome disana.
"Sepertinya ini kamar pribadimu, Tuan," kataku menebak.
Dan pria itu mengangguk mengakui. "Ya, ini memang kamarku."
Aku pikir dia akan menempatkan ku pada kamar lain dan akan mendatangiku hanya saat dia memerlukan ku. Tapi, kenapa aku harus menempati kamar utama bersamanya.
"Kenapa?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
"Bisakah kita tidak tidur dikamar yang sama?"
Wajah dingin itu berubah menjadi lebih kaku saat mendengar pertanyaan ku.
"Aku ... tidak terbiasa untuk tidur bersama seorang pria. Dan aku juga butuh privasi untuk diriku sendiri."
Tuan Gladwin diam. Nampak tak bereaksi. Tapi satu kalimat yang kemudian dilontarkannya benar-benar membuat jantungku mencelos.
"Tidak ada privasi. Kau tidak boleh memiliki privasi didepanku." Pria itu berucap rendah. "Tidur disini dan terbiasa, atau kau bisa kembali ke tempat Aro," tukasnya.
Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Mungkin dia bisa melihat ketidaksukaan ku atas kalimatnya karena dia segera membuang pandangan dari tatapanku yang mengarah langsung padanya.
Pilihan yang dia berikan memang sulit. Aku tidak mau terkurung di tempat judi itu lagi. Dan ya, dia benar kalau menghadapi seorang sepertinya jauh lebih baik ketimbang aku harus melayani para penjudi dengan berbagai karakter setiap harinya. Belum lagi karena sentuhan mereka yang membuatku jijik.
Sepertinya aku memang tidak punya pilihan lain. Aku harus menetap disini. Dan kembali masa bodoh dengan apa yang akan terjadi diantara aku dan si Tuan penguasa ini nantinya.
"Baik. Aku tidur disini. Bersamamu, Tuan." Sengaja aku menekankan kata-kataku sendiri, agar dia tau bahwa aku terpaksa mengambil jalan ini dan tak punya pilihan lain.
...Bersambung ......
Mohon dukungannya dengan cara like, komen dan berikan vote, bunga dan kopi ✅❤️❤️❤️