Tolong " teriak seorang wanita bercadar itu ketika mulut berlapis cadar itu didekap seorang pria. setelah berhasil menutup pintu itu ia langsung melempar perempuan itu ke sofa.
Pria asing itu membuka paksa cadar perempuan yang menjadi mangsa saat ini. Ia mendekam wanita ini dengan tubuh besarnya.
pria itu mulai mencium leher wanita itu, gadis itu terus saja memberontak dengan memalingkan wajahnya. Ciuman yang sangat begitu kasar dan sangat brutal.
Ia membuka paksa baju panjang yang perempuan ini kenakan. Dan sekarang nampak perempuan ini itu sudah menampakkan tubuh polosnya tanpa busan.
Gadis itu terus saja memberontak, ia mencoba memukul dan semau cara ia lakukan tapi tidak berhasil. Tenaga pria ini lebih kuat dari dirinya.
Gadis itu terus menangis dan meminta pertolongan. tapi tidak ada sama sekali yang datang menolongnya.
" aku mohon jangan lakukan itu " ucapnya dalam tangisnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon limr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10 [ revisi]
Bab Sepuluh – Malam yang Hening
Rangkaian acara telah usai. Aula kembali sepi, dan lampu-lampu di pelataran mulai diredupkan. Malam menjelang tenang.
Aira dan Kenzo akhirnya bisa beristirahat di kamar yang telah disiapkan untuk mereka. Tak ada percakapan. Mereka hanya saling diam, membersihkan diri masing-masing di waktu yang berbeda. Batas tak kasat mata tetap terbentang di antara mereka.
Saat keluar dari kamar mandi, Kenzo melihat Aira telah berganti pakaian. Wajahnya masih tertutup dengan cadar. Pandangannya selalu tertunduk, menjauh dari kontak mata.
“Ummi menyuruh kita ke luar. Untuk makan malam,” ucap Aira pelan. Suaranya tenang, tapi ada getar di ujung kalimatnya.
Kenzo hanya mengangguk.
“Iya.”
Mereka berjalan berdampingan ke meja makan, tapi terasa seperti dua orang asing yang kebetulan berada di tempat yang sama.
“Nak, ambilkan makanan untuk suamimu,” pinta Ummi dengan nada lembut, penuh kebiasaan seorang istri melayani suami.
“Baik, Ummi,” jawab Aira, menurut, seperti yang sering ia lihat dilakukan Umminya pada sang Abi.
Perlahan, Aira mengambilkan makanan dan menyodorkannya ke arah Kenzo.
“Terima kasih,” ucap Kenzo pelan, menerima piring itu. Ada sesuatu dalam sorot matanya, sesuatu yang tak mudah ditebak—antara kagum, bingung, atau sekadar menghormati.
Namun, hening tak bertahan lama.
“Nak, kenapa masih menggunakan cadar? Di sini hanya ada kami dan suamimu.” tanya Abi, nadanya tenang tapi tegas.
Deg.
Aira terdiam. Tangannya yang sedang mengambil lauk untuk dirinya sendiri membeku di udara. Ia melirik ke arah Kenzo, berharap ada bantuan, perlindungan, atau sekadar alasan untuk bertahan dengan cadarnya.
Tapi Kenzo hanya diam. Tatapannya tak memberi jawaban.
“Ya, lepas saja, Nak. Tak apa. Ini rumah sendiri,” kata Ummi, menimpali.
Aira tak punya pilihan. Ia tahu, kalau ia terus bertahan, orangtuanya akan mulai curiga. Maka, ia menyelesaikan tugasnya, mengambil lauk terakhir, lalu duduk dan dengan gerakan pelan melepaskan cadarnya.
Ia terlihat tenang dari luar—menurunkan kain itu dan merapikannya di pangkuan. Tapi dalam hati, ia hancur. Ia tak ridho. Tak siap wajahnya terlihat oleh lelaki yang kini secara hukum menjadi suaminya.
Kenzo tak bisa berpaling. Ia terpaku. Wajah Aira yang selama ini tersembunyi, kini tampak jelas di hadapannya. Cantik. Lembut. Dan dingin. Ada jarak yang tak terlihat, tapi sangat terasa.
“Nak Kenzo, makanlah. Nanti bisa kau pandang lagi wajah istrimu,” celetuk Abi sambil tersenyum kecil.
Kenzo tersadar.
“Eh... iya, Abi.”
Salah tingkah. Wajahnya sedikit memerah, tapi Aira tetap datar. Tak satu pun respons keluar darinya.
---
Usai makan, malam kembali tenang. Abi duduk di ruang tamu, ditemani sebuah buku tebal. Kenzo yang dari tadi gelisah, akhirnya memberanikan diri mendekat.
“Abi... saya ingin bicara.”
Abi menoleh, tersenyum.
“Silakan duduk, Nak. Mau bicara soal apa?”
“Begini, Abi. Saya ingin meminta izin... untuk kembali ke kota besok pagi. Bersama Aira.”
Abi mengerutkan dahi.
“Cepat sekali? Kenapa tak Minggu depan saja?”
“Sejujurnya, saya juga ingin lebih lama di sini, Abi. Tapi pekerjaan saya sudah terlalu lama saya tinggalkan. Banyak yang harus segera saya tangani,” jelas Kenzo. Ia bicara jujur. Tiga hari sebelum akad, ia sudah tinggal di rumah ini, ditemani asistennya. Tapi walau tak hadir di kantor, tanggung jawab tetap menumpuk.
“Saya janji, Abi. Saya tak akan melarang Aira pulang ke sini kapan pun ia mau. Dan saya akan sering-sering datang, khususnya di akhir pekan.”
Abi terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Baiklah, Nak. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kalian berdua.”
---
“Bersiaplah. Kita pulang sekarang,” ucap Kenzo, berdiri di ambang pintu kamar.
Aira yang sedang melipat pakaian menoleh perlahan, menatap Kenzo sejenak.
“Pulang?” tanyanya lirih. “Pulang ke rumah?”
Kenzo mengangguk.
“Ke rumah saya... rumah kita.”
Aira menunduk. Hatinya terasa perih.
Kenapa secepat ini? Kenapa rumah ini seolah ingin segera menyingkirkanku?
Air matanya jatuh perlahan. Tanpa suara. Ia cepat-cepat menyekanya sebelum Kenzo sempat melihat.
“Iya,” jawabnya singkat.
Kenzo menatapnya, mencoba membaca wajahnya.
“Kamu ingin tetap di sini?” tanyanya, mencari celah untuk bicara.
Aira menahan napas. Lalu menggeleng pelan.
“Tidak. Saya tahu posisi saya sekarang. Mau tidak mau... saya harus ikut Anda.”
****
Jangan lupa like, vote and comments 🤍
Terimakasih sudah mampir 🤍
Lanjut Thor...