Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9, Racun
Malam kembali turun, kali ini tanpa hujan.
Langit berwarna kelabu pekat, seolah ikut menahan napas bersama dua sosok yang bergerak diam-diam di sepanjang koridor istana tengah.
Elara dan Kaen mengenakan jubah gelap.
Langkah mereka senyap, menyatu dengan kegelapan.
Tak ada suara selain desir kain dan detak jantung yang teratur.
Lorong menuju kediaman Kaisar Kaelith dijaga ketat.
Empat barisan penjaga bergantian, dan setiap dua jam sekali, mereka berpindah posisi dengan pola yang sulit ditebak.
Tapi Elara telah mempelajarinya siang tadi dari balkon tinggi di paviliunnya sendiri.
Ia selalu mengamati. Selalu menunggu celah.
“Jalan bersih,” bisik Kaen pelan, memberi isyarat dengan dua jari.
Elara mengangguk.
Mereka bergerak cepat, melewati taman batu dan kolam tenang di mana bayangan lentera bergoyang lembut di permukaan air.
Di kejauhan, menara kediaman Kaisar berdiri megah.
Dari luar, tampak sunyi.
Tapi Elara tahu keheningan itu bukan ketenangan. Itu pertahanan.
Mereka berhenti di depan dinding marmer tanpa pintu.
Kaen menempelkan telapak tangan ke permukaannya dan menekan sebuah celah kecil di sisi kanan.
Dinding itu bergeser pelan, menampakkan pintu rahasia yang hampir tak terlihat.
“Dulu aku mengawal di sini,” kata Kaen lirih. “Jalur ini hanya digunakan oleh pengawal pribadi Kaisar.”
Elara menatapnya sekilas.
“Kau yakin jalan ini masih aman?”
“Tidak,” jawabnya jujur. “Tapi lebih baik daripada masuk lewat pintu depan.”
Elara tersenyum tipis.
“Itu cukup.”
Mereka masuk.
Lorong sempit itu berliku-liku, diterangi lentera kecil yang jaraknya jauh satu sama lain.
Udara di dalam terasa berat dan tua seperti ruangan yang menyimpan rahasia terlalu lama.
Elara berjalan di depan, matanya menelusuri setiap sisi dinding.
Hingga akhirnya mereka tiba di ruangan kecil dengan meja panjang dan lemari penuh gulungan catatan.
Kaen menarik napas pelan.
“Ini… ruang catatan pribadi Kaisar.”
Elara mendekat, jarinya menyusuri permukaan meja.
Debu tipis menempel di ujung jarinya, tapi satu bagian meja bersih seolah baru saja digunakan.
“Seseorang baru saja ke sini,” gumamnya.
Kaen menoleh.
“Kau yakin?”
“Lihat,” Elara menunjuk salah satu gulungan kertas yang belum benar-benar kering tintanya.
Ia membacanya pelan:
“Perintah untuk pengawal bayangan awasi gerak istana timur. Jika permaisuri menunjukkan tanda mencurigakan, kirim laporan langsung melalui tangan putih.”
Elara menatap tulisan itu lama.
“Tangan putih,” gumamnya. “Itu nama sandi. Tapi juga petunjuk.”
Kaen mengerutkan kening.
“Kau pikir itu orang yang memakai jubah putih?”
“Bukan hanya pikir,” Elara menjawab dingin. “Aku tahu sekarang.”
Ia membuka laci kecil di bawah meja dan menemukan sesuatu yang membuat matanya menyipit: pin perak berbentuk bunga lili lambang pribadi Lady Serene, kepala pelayan istana Kaisar.
Wanita yang selama ini dikenal lembut, bijak, dan setia.
“Lady Serene…” Kaen bergumam, hampir tak percaya.
“Dia yang memegang akses penuh ke kamar Kaisar. Dan dia juga yang menyiapkan semua kebutuhan pribadinya,” sambung Elara.
“Jika ada yang bisa menaruh racun atau memanipulasi laporan… dia orangnya.”
Elara menatap Kaen serius.
“Tapi ini bukan hanya tentangku. Seseorang ingin memecah hubungan antara aku dan Kaisar, bahkan mungkin… menjatuhkan tahta dari dalam.”
Kaen menatapnya lama.
“Jika itu benar, maka musuhmu bukan hanya selir atau bangsawan, tapi Kaisar sendiri bisa jadi bagian dari permainan itu.”
Elara menarik napas panjang.
“Aku tahu.”
Ia menatap langit-langit ruangan yang tinggi dan berkata pelan,
“Tapi semakin besar taruhannya, semakin nikmat menangnya nanti.”
Suara langkah terdengar dari lorong luar.
Dua orang. Berat dan berirama.
Penjaga.
Kaen langsung mematikan lentera kecil.
Elara bergerak cepat ke sisi ruangan, menarik Kaen bersamanya, bersembunyi di balik lemari besar.
Pintu berderit terbuka.
Suara seorang pria terdengar pelan.
“Pastikan ruangan ini terkunci setelah diperiksa. Kaisar tak mau siapa pun tahu perintah yang terakhir.”
“Baik. Tapi… apa benar dia memerintahkan pengawasan terhadap permaisuri?”
“Kau pikir aku berani bertanya begitu padanya?”
Suara mereka menjauh, dan pintu tertutup lagi.
Kaen menatap Elara dalam gelap.
“Kaisar sendiri… memerintahkan pengawasan terhadapmu?”
Elara tak menjawab.
Ia hanya menatap pintu itu lama, wajahnya tanpa ekspresi.
Namun dalam matanya, ada sesuatu yang bergerak bukan kekecewaan, melainkan perhitungan.
“Kalau begitu,” katanya akhirnya, “aku akan biarkan dia berpikir aku tidak tahu. Sampai waktunya tiba.”
Kaen menelan ludah.
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Membalik permainan mereka,” jawab Elara dingin. “Jika mereka ingin menjadikanku bidak, aku akan jadi tangan yang menggulingkan papan.”
Mereka keluar dari lorong rahasia beberapa saat sebelum fajar.
Udara dingin menggigit, tapi di dada Elara, ada api kecil yang menyala.
Saat melewati taman bunga, ia berhenti sejenak.
Bayangan istana tampak indah di balik cahaya pagi yang redup.
“Kaen,” katanya perlahan, “mulai besok, siapkan orangmu untuk mengawasi Lady Serene. Tapi diam-diam. Aku ingin tahu dengan siapa dia bertemu setiap malam.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Dan satu lagi,” Elara menatap langit.
“Kau pernah bilang Kaisar tidak mudah percaya pada siapa pun. Tapi sekarang aku tahu kepercayaannya adalah senjata yang bisa berbalik padanya.”
Ia menatap ke arah istana pusat, suaranya turun menjadi nyaris berbisik.
“Kaelith Raen… mari kita lihat, siapa yang akan lebih dulu jatuh aku, atau kau.”
Fajar baru saja naik ketika Elara melangkah ke ruang utama istana timur.
Langkahnya ringan, namun setiap gerakannya mengandung kendali yang ketat seperti seorang petarung yang tengah menari di arena lawan.
Ia mengenakan gaun sutra berwarna biru lembut, tanpa banyak perhiasan.
Namun matanya… dingin dan tenang seperti permukaan danau sebelum badai.
Hari ini, ia sengaja datang lebih awal ke aula sarapan kaisar.
Sesuatu yang jarang ia lakukan karena dalam cerita asli novel itu, permaisuri selalu datang terlambat dan dimarahi di depan semua orang.
Tapi Elara bukan perempuan yang hidup untuk diatur naskah lama.
“Yang Mulia,” Lady Serene menyambutnya dengan senyum sopan, “sungguh langka melihat Anda sepagi ini. Kaisar belum tiba.”
Elara membalas senyum tipis.
“Aku tahu. Justru itu alasanku datang.”
Lady Serene menunduk sedikit.
Tapi di balik bulu matanya yang lentik, Elara menangkap tatapan cepat penilaian, mungkin juga ancaman kecil.
“Aku dengar, Lady Serene,” ucap Elara pelan sambil berjalan mendekat, “Anda mengurus semua surat pribadi Kaisar, benar?”
“Benar, Yang Mulia. Itu sudah menjadi tugas saya selama tiga tahun terakhir.”
“Begitu setia…” Elara berhenti di dekatnya, jari-jarinya menyentuh taplak meja sutra.
“Tiga tahun, berarti Anda sudah melayani bahkan sebelum aku menjadi permaisuri.”
Lady Serene tersenyum lembut.
“Ya, Yang Mulia. Saya hanya berharap bisa terus menjaga ketertiban istana. Itu saja.”
“Tentu,” Elara mengangguk ringan. “Tapi pastikan yang Anda jaga adalah istana… bukan rahasianya.”
Lady Serene menegang sesaat. Tapi ia cepat menunduk.
“Tentu, Yang Mulia.”
Elara berjalan menuju kursinya, duduk dengan anggun, dan berkata lirih,
“Bagus. Karena aku benci pengkhianatan lebih dari apapun.”
Tak lama kemudian, Kaisar Kaelith memasuki ruangan.
Suasana berubah seketika penjaga menunduk, pelayan berlutut, dan udara seperti kehilangan panasnya.
Kaelith mengenakan jubah hitam bertali emas, matanya menatap tajam ke arah Elara yang duduk tenang di kursinya.
Mereka belum bertemu lagi sejak perintah pengawasan itu muncul.
Dan entah kenapa, pagi ini tatapan Kaisar terasa lebih berat dari biasanya.
"Permaisuri,” suaranya datar, “kau sudah bangun lebih awal dari biasanya.”
“Apakah itu salah?” Elara menatapnya, tenang namun dalam.
“Tidak.” Kaelith menarik kursinya dan duduk. “Hanya tak biasa.”
“Mungkin aku mulai belajar dari seseorang yang selalu bangun untuk mengatur segalanya,” balas Elara dengan nada ambigu.
Suasana di meja sarapan mendadak sunyi.
Lady Serene, yang berdiri di belakang Kaisar, menunduk dalam.
Tapi Elara bisa melihat jemari wanita itu sedikit menggenggam kain rok tanda gugup kecil yang tak luput dari matanya.
Makanan dihidangkan.
Elara menyentuh sumpitnya, namun berhenti sebelum menyentuh hidangan di depannya.
Supnya berwarna agak lebih pucat dari biasanya. Aroma rempahnya berbeda.
Kaen, yang berdiri di sisi kanan ruangan sebagai pengawal, memberi isyarat halus nyaris tak terlihat.
Elara menangkapnya.
Ia tersenyum lembut pada Kaisar.
“Yang Mulia, bolehkah saya menawarkan Anda supku? Kelihatannya lebih harum dari punyamu.”
Kaelith menatapnya curiga.
“Untuk apa?”
“Anggap saja… tanda perhatian.”
Lady Serene melangkah cepat.
“Yang Mulia, tidak perlu”
“Aku tidak berbicara padamu, Lady Serene.” Suara Elara tajam namun tenang. “Izinkan aku menunjukkan rasa hormatku pada suamiku sendiri.”
Kaelith akhirnya mengambil mangkuk itu. Ia menatapnya sejenak, lalu meminumnya seteguk.
Tak ada reaksi apa pun.
Tapi Elara tahu bukan itu tujuannya.
Ia hanya ingin melihat siapa yang akan gelisah lebih dulu.
Dan benar saja, Lady Serene menatap mangkuk itu seperti sedang melihat racun yang siap meledak.
Elara tersenyum samar.
“Rasanya bagaimana, Yang Mulia?”
Kaelith mengangguk.
“Enak. Tapi agak berbeda dari biasanya.”
“Tentu saja,” Elara membalas lembut. “Mungkin karena bahan-bahannya diganti seseorang… tanpa sepengetahuanmu.”
Kaisar menoleh cepat ke Lady Serene.
“Apa maksudmu?”
Lady Serene menunduk, suaranya bergetar.
“Mungkin dapur salah menyiapkan bahan, Yang Mulia…”
Elara berdiri perlahan, lalu berjalan mendekat.
Ia mengambil sendok perak, mencelupkannya ke sup milik Kaisar, dan mencium aromanya.
“Tidak, bukan kesalahan dapur,” katanya pelan. “Ini campuran nightseed racun ringan yang tak mematikan, tapi cukup membuat tubuh lemah selama beberapa hari.”
Ruangan membeku.
Bahkan udara terasa berhenti.
Kaelith menatap Lady Serene tajam.
“Kau berani—”
“Tunggu,” Elara memotong, suaranya datar namun berkuasa.
“Aku tidak ingin darah mengotori pagi ini. Lagipula…” ia menatap Lady Serene dengan senyum yang nyaris lembut, “aku ingin tahu siapa yang menyuruhmu lebih dulu.”
Lady Serene gemetar.
“Saya—saya tidak tahu, Yang Mulia…”
“Kau tahu,” Elara mendekat, suaranya menurun menjadi bisikan tajam. “Dan kalau kau tidak bicara, aku akan pastikan lidahmu tak bisa dipakai lagi.”
Kaelith menatap Elara lama. Ada sesuatu di matanya bukan hanya keterkejutan, tapi juga kekaguman kecil yang berusaha ia sembunyikan.
Ia tak pernah melihat permaisurinya sekeras ini sebelumnya.
Akhirnya Lady Serene berlutut, air matanya jatuh di lantai marmer.
“Ampuni saya, Yang Mulia… saya hanya menerima perintah dari seseorang di istana barat…”
“Istana barat?” Kaelith mengulang, rahangnya mengeras.
Itu wilayah milik Selir Valen.
Elara berdiri tegak, lalu menatap Kaisar.
“Aku tidak akan mencampuri urusan keadilanmu. Tapi izinkan aku menyelamatkan kehormatanku sendiri.”
Kaisar terdiam sejenak.
“Kau tahu apa yang kau minta?”
“Tentu,” Elara tersenyum tipis. “Kau boleh menganggapku permaisuri yang tak berdaya. Tapi mulai hari ini, aku yang akan menentukan siapa yang hidup dan siapa yang tidak di istana ini.”
Saat semua pelayan dibubarkan dan ruangan menjadi sepi, Kaelith tetap duduk di tempatnya.
Elara berbalik hendak pergi, tapi suara berat Kaisar menghentikannya.
“Permaisuri…”
“Ya?”
“Bagaimana kau tahu tentang racun itu?”
Elara menoleh perlahan.
Senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
“Kau lupa, Yang Mulia… aku lahir di dunia di mana racun hanyalah bumbu di antara makanan.”
Ia berjalan keluar dengan langkah tenang, meninggalkan Kaisar yang menatap punggungnya penuh rasa ingin tahu yang belum pernah muncul sebelumnya.
Dan dari balik tirai sutra yang berayun lembut, Lady Serene masih berlutut, menangis dalam diam.
Tapi di matanya yang merah, ada kilatan lain dendam yang baru saja lahir.