Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 8 Hanya Milikku
Lya duduk menyendiri di sofa ruang tengah apartemen Leo. Ruangan itu cukup luas, namun terasa muram karena minim penerangan. Hanya sedikit sinar matahari yang berhasil menyelinap melalui celah-celah gorden, menorehkan bayangan samar di dinding. Kegelisahan menguasai dirinya. Sejak semalam, Leo tak kunjung menampakkan diri. Lya tahu betul, sahabat masa kecilnya itu pasti sedang menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman—kebiasaan lama yang selalu muncul setiap kali mereka menyentuh kenangan tentang masa lalu.
Beberapa menit kemudian, kegelisahan itu lenyap begitu saja. Telinga Lya menangkap bunyi sensor dari pintu elektronik, segera disusul dengan suara kenop yang diputar. Pertanda jelas—seseorang baru saja datang. Spontan perempuan itu berdiri secara gegabah, melupakan cidera pada kakinya sehingga di detik berikutnya ia malah tersungkur. Suara meja tergeser yang ia pakai sebagai tumpuan sontak memancing sautan panik dari seseorang yang baru datang tersebut.
”Lya! Ada apa?!” seru Leo yang tampak terbiri lari ke sumber suara. Hanya untuk melihat Lya yang sudah bersimpuh di lantai. Dengan cekatan Leo segera mengangkat tubuh Lya dan mendudukannya kembali ke sofa.
”Aku cemas... Kau keluar untuk minum-minum... bagaimana jika terjadi sesuatu di perjalanan pulang?” tanya Lya. Rasa cemasnya tulus.
“Maafkan aku… aku terlalu banyak minum tadi malam. Kau tak perlu khawatir.” Leo mengusap kepala Lya dengan lembut, penuh kasih sayang.
“Kalau begitu, biar aku mandi dulu, lalu membuatkan sarapan. Kau duduk saja, tonton televisi atau lakukan apa pun yang kau mau—asal jangan banyak bergerak,” ucapnya, sedikit bernada memerintah.
Tanpa sungkan, Leo membuka kemejanya hingga tersisa dada telanjang, hendak melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari debu-debu kota malam yang menempel padanya, selain itu karena permainan panasnya bersama pria lain.
”Kau tidak usah repot-repot, Leo... Aku akan pergi setelah ini.”
Langkah Leo terhenti mendadak. Tubuhnya berputar setengah, sorot matanya mengeras dibarengi alis yang berkerut tajam. Nada suaranya berat dan menuntut, seakan setiap kata yang terucap adalah larangan.
“Ke mana kamu mau pergi dengan kaki seperti itu? Berdiri saja susah,” ucapnya, menahan emosi di balik nada yang terdengar datar.
Lya, yang duduk dengan wajah cemas, memberanikan diri membuka suara. “Tentu saja ke kampus, kan? Ben bilang dia meminjam mobil dari orang tuanya untuk menjemputku... Aku sudah memberitahu alamat apartemenmu padanya. Tidak masalah, kan?” Keheningan yang datang setelahnya membuat udara di antara mereka terasa lebih padat dan penuh tekanan.
Lya tidak terpikirkan apa pun melihat ekspresi Leo yang semakin dingin. Lirikan mata pria tinggi itu sangat tajam dan jika dilihat dengan jelas, urat lehernya timbul, menahan suatu emosi dalam dirinya yang bergejolak. Mendesak untuk meledak.
”Kau tidak usah kuliah hari ini. Kalau bisa ambil cuti saja dan kembali semester depan,” titah Leo sebelum kembali berpaling dari Lya. Mengabaikan ekspresi bingung dari perempuan itu.
”Leo? Apa yang kau bicarakan... itu jelas tidak bisa, kan? Ayahku menuntutku untuk lulus tepat waktu, lagipula aku juga tidak mau tiba-tiba mengambil cuti?”
Leo mendecakkan lidah, menahan kesal bercampur putus asa. Ia sadar kata-katanya barusan terdengar tak masuk akal, tapi saat itu, ia sama sekali tidak ingin membiarkan Lya melangkah keluar dari apartemennya. Ada dorongan aneh—campuran proteksi dan ego—yang mengekang teman masa kecilnya itu.
Tanpa sepatah kata pun, Leo bergerak. Dalam sekejap, Lya terkejut ketika tubuhnya diangkat begitu saja dari sofa. Seruannya memanggil nama Leo terdengar panik, tapi lelaki itu mengabaikannya. Langkahnya mantap menuju kamar, lalu dengan cepat ia membaringkan Lya di atas ranjang miliknya hingga sedikit terpantul. Berikutnya, ia memastikan kepala Lya baik-baik saja.
“Leo, ada apa denganmu!” seru Lya. Raut wajahnya mengeras dalam kebingungan, dahi berlipat dan matanya menatap penuh tanda tanya.
Masih tanpa jawaban, Leo menahan tubuh Lya dengan paksa. Otot-otot di tubuh bagian atasnya yang terekspos menegang, menampilkan kekuatan yang tak bisa ditolak. Lya terbaring di atas tempat tidur, kedua pergelangan tangannya terjepit di bawah genggaman Leo. Sorot mata pria itu gelap, sulit ditebak apakah dikuasai amarah, keputusasaan, atau sesuatu yang bahkan lebih berbahaya.
”Lya, menurutmu... kita ini apa?” tanya Leo pada akhirnya. Hanya memberikan lebih banyak rasa heran dari Lya.
”Teman masa kecil?”
“Keluarga?”
Dua kata itu meluncur dari bibir Leo, dingin dan menuntut. Genggamannya di pergelangan tangan Lya kian mengeras. Perempuan itu meringis, menahan nyeri yang menjalar ke lengan, namun hanya berbalas tatapan tajam. Leo sama sekali tidak menunjukkan tanda akan melonggarkan cengkeramannya—seolah rasa sakit Lya tak berarti dibanding gejolak yang menguasainya.
”Sekarang ini... melihatmu kesakitan karenaku, membuatku bergairah.” Perkataan selanjutnya membuat Lya membatu, ia lihat sinar mata Leo semakin tidak ia kenali.
”Kamu terkejut? Aku menyimpan perasaan menjijikan ini padamu? Sudah lama, Lya. Aku tidak pernah melihatmu sebagai teman kecil. Sudah sejak lama perasaan ini terkunci, aku memainkan peran pengganti Kakakmu yang pergi selamanya itu dengan baik. Berpikir semua tidak akan berubah... Meski hanya sebatas itu, toh kau akan tetapi di sisiku, tidak bisa hidup tanpaku.”
”Tapi aku salah... Sejak pria itu dengan lancang menerobos masuk, yang kurasakan hanya kau yang perlahan menjauh. Seenaknya sendiri ingin terlepas dari masa lalu setelah mengikatku sejauh ini.”
Hening menghantam ruangan. Wajah Lya membeku, syok merayapi rautnya. Alis yang tadi berkerut bingung kini luruh, tergantikan oleh sorot perih. Rasa sakit jelas terpancar setelah setiap kata yang meluncur dari bibir Leo menembus hatinya. Seketika, rasa sakit itu tumpah dalam wujud air mata, mengalir deras tanpa bisa dicegah dari kedua mata Lya.
Melihat butir bening itu jatuh, tak sedikit pun rasa iba tergambar di wajah Leo. Justru sebuah seringai tipis menyungging di bibirnya, memantulkan kegilaan yang tak terselubung. Dengan satu tangan, ia mengusap pipi Lya perlahan, meraih air mata yang mengalir lalu mencicipinya seolah itu sebuah kemenangan.
”Sudah lama sekali aku tidak melihatmu menangis, Lya. Mungkin sejak pemakamannya. Meski tubuhmu sakit, meski mendengar perkataan menusuk dari kedua orangtuamu, meski kakimu terluka parah, kau tidak pernah mengeluarkan air mata.”
Leo mengangkat kaki Lya yang masih terbalut gips dan meletakkannya di pundaknya. Sentuhan obsesifnya jatuh berkali-kali, seolah menandai luka itu dengan kepemilikan. Napasnya memburu, tersengal, menandakan gejolak yang kian tak terkendali. Air mata yang mengalir di wajah Lya justru membuat matanya berkilat aneh—sebuah dorongan gelap dalam dirinya terus bangkit, semakin sulit ia bendung.
”Air mata itu jatuh karena diriku. Apa kau tahu betapa gembiranya aku saat ini, Lya?”
Pertanyaan Leo—yang sejatinya bukan pertanyaan—hanya dijawab oleh isakan Lya. Perempuan itu pasrah. Dengan satu tangan yang akhirnya bebas, ia berusaha mengusap air matanya sendiri, meski sia-sia. Dalam posisi seperti itu, ia tak tahu lagi harus berbuat apa, selain membiarkan rasa sakit terus mengalir, menyesakkan dada tanpa henti.
Di detik berikutnya, Leo masih belum berhenti. Ia justru semakin merendahkan tubuh depannya. Kini bibirnya menyerang leher Lya, yang seperti biasa, tertutup kerah tinggi. Dengan cepat jarinya menarik turun kerah itu, memperlihatkan banyak guratan luka di sana. Senyum menyeringai muncul di wajahnya sebelum akhirnya ia menjatuhkan bibir pada leher itu. Bukan kecupan biasa—melainkan gigitan dan hisapan kuat. Seketika tubuh Lya kaku, matanya melotot ngeri, dan air matanya pun mengalir semakin deras.
”Leo! Hentikan sekarang, Leo! Kumohon!” Leo mengabaikannya. Meski tenggorokan Lya sampai menegang pun, Leo tidak berhenti dan semakin menjadi. Kini tangan lancangnya menyusup masuk ke dalam baju Lya, meraba kulit halus itu penuh nafsu.
PLAK!
Suasana mendadak sunyi. Tangan Leo terhenti, lalu perlahan bergerak meraba pipinya—bekas tamparan keras dari Lya masih terasa membakar. Sorot mata yang tadinya gelap dan gila seketika buyar, tergantikan oleh syok yang mantap menancap di wajahnya. Dengan mata kecokelatan yang membesar, ia kembali menatap Lya—sosok yang kini berantakan di bawahnya. Baju yang sedikit tersingkap, leher dengan bekas kemerahan, napas tersengal, dan air mata yang masih terus mengalir.
Wajah Leo sulit terbaca, pikirannya tak terdefinisikan—hanya raut yang mengeras. Ia menggertakkan gigi, lalu dengan cepat melesat keluar dari kamar. Tinggallah Lya, masih terbaring, belum pulih dari guncangan batin yang baru saja menghantamnya.
***
Ben menatap gedung tinggi di hadapannya sambil menggenggam ponsel. Rasa takjub menyelinap di benaknya, memikirkan betapa kayanya Leo hingga mampu tinggal di apartemen yang dikenal berharga selangit di kawasan itu.
Setelah memastikan nomor kamar Leo yang dikirimkan Lya lewat chat, Ben melangkah masuk ke lobi apartemen. Ia segera menuju lift dan menekan tombolnya. Beberapa menit berlalu, pintu lift terbuka—menampakkan sosok Leo dengan wajah kusut. Pemandangan itu membuat langkah Ben tertahan, niatnya masuk seketika urung.
Sementara itu, Leo jelas tidak berniat mencari keributan. Ia mengabaikan lelaki yang menatapnya sungkan, melangkah melewatinya tanpa sepatah kata pun, bahkan tanpa sapaan singkat. Ben hanya bisa terpaku, menatap punggung Leo yang semakin menjauh, meninggalkan tanda tanya di benaknya meski tidak bertahan lama. Ia masih memiliki tujuan utama yang sangat penting, yaitu menjemput Lya. Ia pun menaiki lift menuju lantai letak kamar Leo berada.
Tak butuh waktu lama hingga Ben berdiri di depan kamar Leo. Ia kembali memastikan nomor kamar itu, lalu menekan bel. Beberapa saat hening menyelimuti lorong, sebelum akhirnya pintu terbuka perlahan. Senyum lebar merekah di wajah Ben—namun seketika membeku, berganti syok saat mendapati sosok Lya yang muncul di ambang pintu.
Siapa pun bisa melihat bahwa Lya habis menangis. Matanya bengkak dan merah. Selain itu air mukanya sangat suram. Menyulut rasa cemas Ben dengan cepat.
”Lya? Ada apa?” tanya Ben sebelum ia mengingat Leo yang juga memasang wajah persis seperti Lya saat ini. Ia pun menarik kesimpulan. ”Kau bertengkar dengan Leo?” Pertanyaan itu membuat Lya bergidik. Wajahnya sulit dikendalikan, menegang, diliputi rasa takut yang jelas terpancar. Di detik berikutnya, air mata justru yang menjawab pertanyaan Ben.
”Lya? Ada apa, Lya?” Ben semakin resah dibuatnya. Ia mengguncang pelan tubuh Lya yang kini gemetar. Membuat perasaan Ben tidak enak. ”Untuk sekarang, ayo kita pergi dulu dari sini, ya?” Tanpa menunggu persetujuan, Ben segera menuntun Lya pelan-pelan agar tidak semakin menyakiti kakinya. Ia terus berusaha menyeka air mata Lya selama perjalanan singkat mereka menuju mobil sederhana milik Ben.
Setibanya di mobil, Ben dengan hati-hati membantu Lya duduk di kursi penumpang depan. Setelah memastikan pintu tertutup, ia menyusul ke kursi kemudi. Raut wajahnya penuh kekhawatiran. Apa pun yang menimpa Lya, jelas serius—cukup untuk membuatnya menangis begitu pilu. Setelah dipikir, baru kali ini Ben melihat Lya menangis, tapi ternyata ia benci melihat air mata itu. Sesak rasanya di dada, namun ia tak bisa berbuat banyak sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kini ia hanya bisa melontarkan kalimat-kalimat penenang penuh kasih sayang sambil terus menerus mengusap lembut wajah Lya.
”Tenanglah, Lya. Jangan menangis, kumohon. Katakan padaku apa yang membuatmu sedih, hmm?”
Lya menatap wajah Ben. Ia tidak bisa menggambarkan perasaannya sendiri saat ini. Hanya ada kekacauan yang terlalu besar untuk ia tampung untuk hati rapuhnya.
”Aku selama ini tahu...” lirih Lya ”Hubungan kita yang tidak bisa kembali seperti dulu.”
Ben bingung tapi ia memutuskan untuk tetap mendengarkan tanpa berkomentar. Di tengah itu, ia juga memberi tepukan ringan di punggung Lya, berharap bisa menenangkan kekasihnya.
”Aku mengabaikannya. Aku mengabaikan amarah Leo, mengabaikan perasaan yang ia miliki, memanfaatkannya agar aku tidak tenggelam seorang diri. Aku yang menyudutkannya sampai ke titik ini.”
”Lya... apa yang kau bicarakan—
Perkataan Ben tercekat. Hanya sekilas, tapi matanya menangkap sesuatu di pergelangan tangan Lya. Ia meraihnya—terlihat jelas bekas merah, tanda genggaman yang terlalu kuat.
“Leo yang melakukannya?” suaranya bergetar. Lya tidak menjawab, hanya diam. Namun diam itu sudah cukup bagi Ben.
“Kenapa dia melakukan ini padamu?”
Lya segera menarik tangannya, menggenggamnya erat seakan melindungi diri sendiri. Tubuhnya bergetar hebat, membuat Ben kian dihantui rasa marah sekaligus iba. ”Lya... Katakan padaku. Apa lagi yang ia lakukan padamu? Lihat kedua tanganmu sampai begini. Ini jelas bukan pertengkaran biasa, kan?”
Bibir Lya terbuka ragu-ragu. Dengan suara yang sama gemetarnya, ia menjelaskan yang terjadi padanya dan Leo sesaat sebelum Ben datang. Dunia Ben seakan terhenti mendengar penjelasan yang satu-persatu memasuki telinganya itu. Di akhir penjelasan, tangan Ben meraih hati-hati leher Lya, menurunkan kerah itu hanya untuk melihat banyak bekas luka dan sedikit bercak kemerahan yang kontras. Darah Ben seakan mendidih. Murka menguasainya detik itu juga.
Ben tak tahu harus menyalurkan kemarahan itu ke mana. Ia ingin sekali menemui pria yang membuat Lya seperti ini dan menumpahkan amarahnya, namun entah kemana Leo pergi. Kekalutan menggerogoti Ben; meski kepingan kebenaran kini sudah terlihat, ia tetap tak mampu berbuat banyak. Dada terasa sesak, telapak tangan mengeras di setir, dan kepedihan campur marah itu berputar di kepalanya tanpa arah.
Namun saat ini bukan waktunya memikirkan gejolak hatinya sendiri. Yang terpenting adalah menenangkan Lya. Maka Ben merengkuhnya dalam pelukan erat—pelukan penuh kasih yang seolah berusaha menutup luka dengan kehangatan.
Lya terdiam dalam pelukan itu. Tubuhnya sempat kaku, seperti tidak tahu harus bagaimana, tapi perlahan ia mulai melembut. Isakannya masih terdengar, namun sedikit demi sedikit mereda, tergantikan oleh kelegaan tipis yang datang bersama rasa aman di dada Ben. Air matanya tetap jatuh, membasahi bahu Ben, tapi kali ini ia tidak menahannya. Untuk sesaat, dunia yang terasa kacau tadi seperti berhenti bergerak.
”Lya... Hari ini, kita tidak usah ke kampus saja, ya?” ajak Ben sejurus kemudian.
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿