Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lelah mencintai
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki. Ternyata Bella keluar dari kamar, membawa buku di tangan. Ia menatapku sebentar lalu mendekat.
“Bell, udah belajar belum?”tanya ibu
“Udah kok, Bu.”jawab Bella.
Bella ikut duduk di meja makan, matanya menatapku penuh penasaran.
“Kak, kok mata Kakak sembab?” tanya Bella polos.
Aku tersentak, buru-buru tersenyum.
“Sembab? Enggak, Kakak cuma ngantuk aja,” jawabku gugup sambil menunduk.
Ibu yang sejak tadi memperhatikan, tersenyum tipis lalu menepuk pelan pundakku.
“Sudah, jangan banyak tanya, Nak. Biarkan Kakakmu makan dulu,” katanya menengahi.
Bella mengangguk, tapi matanya tetap menatapku, seolah masih mencari jawaban yang kusembunyikan.
Suapan demi suapan masuk ke mulutku, tapi rasanya hambar.
Di hadapanku, ibu dan Bella berbincang ringan, tapi pikiranku melayang jauh.
Hati ini sama sekali tak tenang.
Setiap detik, bayangan Reza terus muncul.
Wajahnya, senyumnya, bahkan postingan terakhirnya bersama wanita bernama Nancy itu kembali terulang di benakku.
Sendokku sempat berhenti di udara, lalu kuturunkan pelan.
"Kenapa aku masih seperti ini?, apakah jika aku berhenti mencintainya,aku akan mati?"batinku.
Aku benar-benar lelah.Setiap hari, setiap malam, pikiranku hanya berputar tentang dia.
Padahal aku tahu jelas siapa Reza itu,dia brengsek, tak tahu diri, hanya datang untuk memanfaatkan aku.
Aku sadar, baginya aku tak lebih dari pemuas gratisan.
Aku tahu tipe wanita yang selalu ia incar cewek montok, tubuh tobrut, wajah cantik yang bisa ia pamerkan.
Dan buktinya nyata, wanita yang ia posting itu semua sesuai tipe yang ia cari.
"Tapi kenapa?"
"Kenapa di dalam hatiku, namanya terus saja disebut?"
"Kenapa aku masih menginginkan seseorang yang hanya menyisakan luka?"
batinku bergelut dengan akal sehatku.
Aku menunduk, mencoba menepis pikiran itu, tapi semakin aku berusaha, semakin sesak rasanya di dada.
Air mataku hampir jatuh, tapi kutahan mati-matian. Aku tidak ingin ibu dan Bella tahu betapa rapuhnya aku sekarang.
Sendok di tanganku gemetar, suara piring beradu terdengar jelas.
“Ka, kok diem aja? gak enak makanannya?” tanya Bella menatapku dengan penuh perhatian.
Aku terkejut, buru-buru tersenyum kaku.
“Enggak, enak kok Kaka cuma lagi kepikiran tugas,” jawabku gugup.
Ibu meletakkan sendoknya, menatapku lembut tapi penuh curiga.
“Ghea… ibu tahu kamu lagi gak tenang saat ini, Makanannya gak bakal kemana-mana, tapi hatimu kalau terus kamu biarin kayak gini bisa menghancurkan diri sendiri.”
Aku tercekat, rasanya ingin menangis seketika.namun masih bisa ku tahan.
Aku menggenggam sendok erat-erat, menunduk menatap nasi di piringku. Suaraku bergetar, “Tapi susah, Bu aku sudah terlalu lelah"
“Lelah karena apa, Nak? Karena pria seperti itu?” tanya ibu lembut, tapi seketika menusuk jantungku.
Aku tidak sanggup menjawab, hanya bisa terdiam. Air mataku jatuh meski sudah kutahan sekuat tenaga. Bella menatapku bingung, tangannya yang kecil menyentuh lenganku, seakan ingin ikut menguatkan.
Tiba-tiba Bella bersuara dengan wajah serius tapi polos.
“Kak… kalau cowoknya brengsek, yaudah. Nanti Kak Ghea dapet cowok yang super duper baik. Yang tiap hari beliin es krim sama jagain Kak Ghea biar gak nangis lagi.”ucap Bella dengan suara imutnya.
Aku spontan menoleh, menatap Bella. Bocah kecil itu tersenyum lebar, matanya jernih tanpa beban.
“Kalau cowok itu bikin Kakak nangis, berarti dia gak pantes punya Kakak. Bella aja bisa jagain Kakak, masa cowok dewasa gak bisa?” lanjutnya dengan nada polos.
Aku tersenyum di sela-sela tangisku, merasa ada sedikit hangat yang menenangkan.
Ibu yang melihat itu ikut menghela napas lega, lalu menatapku lembut.
“Tuh, dengar kata adikmu, Nak. Kadang justru anak kecil yang bisa menenangkan dengan cara sederhana. Kamu jangan biarkan hatimu hancur gara-gara orang yang bahkan gak pantas disebutin namanya.dan juga kamu gak pernah menemuinya di dunia nyata”
Bella lalu meraih tanganku dengan tangan mungilnya.
“Kak, nanti kalau Kakak sedih lagi, cerita aja sama Bella. Bella janji gak bakal ninggalin Kakak.”
Dadaku terasa sesak, bukan lagi karena luka, tapi karena rasa hangat yang perlahan tumbuh. Aku sadar, meski dunia seakan menjatuhkan aku, masih ada ibu dan Bella yang menjadi rumah untukku.
Bagaimana bisa aku menangisi pria brengsek itu sementara aku masih punya adik yang begitu tulus menyayangiku?
“Bella sayang banget sama Kakak,” ucapnya lagi sambil tersenyum kecil. Senyumnya sederhana, tapi justru lebih indah daripada semua kata-kata manis yang pernah kudapat dari Reza.
Aku mengusap kepalanya perlahan. “Kakak juga sayang sama Bella…” ucapku dengan suara yang bergetar.
Ibu memperhatikan kami berdua, lalu berkata pelan, “Nak, cinta itu memang bisa bikin kita lupa segalanya. Tapi keluarga selalu jadi alasan untuk kembali waras. Jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri hanya karena orang lain yang bahkan sama sekali gak peduli sama kamu.”
Aku terdiam. Kata-kata ibu seperti tamparan keras, tapi juga terasa hangat. Ada benarnya, aku terlalu larut dalam luka hingga hampir lupa siapa aku sebenarnya.
Bella tiba-tiba menyodorkan sepotong ayam goreng ke piringku.
“Makan yang banyak ya, Kak. Kata Bu Guru, kalau orang sedih terus gak mau makan, nanti tubuhnya juga ikutan sakit. Kakak gak boleh sakit.”
Aku tertawa kecil, meski suara tawaku terdengar getir. “Iya, Bell… Kakak makan, kok.”
Namun, di dalam hati, aku masih merasakan perih yang tak bisa kuhilangkan begitu saja.
Aku mencoba mengunyah, tapi setiap suapan rasanya hambar. Di kepalaku, nama Reza terus terputar, wajahnya, suaranya, bahkan senyumnya yang dulu pernah membuatku jatuh cinta sampai saat ini.
Aku ingin berhenti memikirkannya, tapi semakin keras aku menolak, semakin kuat pula bayangan itu menyerang.
Ibu menatapku yang hanya memainkan sendok. “Nak, jangan bilang kamu masih mikirin dia?”
Aku menunduk, lalu menghela napas panjang. “Aku… aku berusaha, Bu. Tapi kayaknya aku belum bisa.”
Ibu menghela napas panjang, lalu terdiam. Tatapannya kosong, seolah sedang menelusuri kenangan masa lalu yang pernah ia alami sendiri. Mungkin ibu paham bagaimana rasanya jatuh cinta begitu dalam pada seseorang, cinta yang kita yakini sebagai yang terakhir, tapi justru berakhir dengan luka.
Aku menatap wajah ibu diam-diam. Ada garis letih di sana, seakan hatinya juga pernah dihantam badai yang sama.
Baru kusadari, mungkin ibu dulu juga pernah berada di posisiku, pernah merasakan bagaimana hancurnya dunia ketika orang yang kita percaya meninggalkan kita.
Bella ikut terdiam, seolah merasakan atmosfer sendu di antara aku dan ibu. Tangannya meraih tanganku di bawah meja, hangat, kecil, tapi begitu tulus.
“Kak, kalau Kakak sakit hati, Bella ada kok. Jangan sedih sendirian…” bisiknya pelan.
Aku hampir menangis mendengar itu, tapi kutahan. Air mata sudah terlalu sering jadi sahabatku belakangan ini.