Ketua OSIS yang baik hati, lemah lembut, anggun, dan selalu patuh dengan peraturan (X)
Ketua OSIS yang cantik, seksi, liar, gemar dugem, suka mabuk, hingga main cowok (✓)
Itulah Naresha Ardhani Renaya. Di balik reputasi baiknya sebagai seorang ketua OSIS, dirinya memiliki kehidupan yang sangat tidak biasa. Dunia malam, aroma alkohol, hingga genggaman serta pelukan para cowok menjadi kesenangan tersendiri bagi dirinya.
Akan tetapi, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat saat dirinya harus dipaksa menikah dengan Kaizen Wiratma Atmaja—ketua geng motor dan juga musuh terbesarnya saat sedang berada di lingkungan sekolah.
Akankah pernikahan itu menjadi jalan kehancuran untuk keduanya ... Atau justru penyelamat bagi hidup Naresha yang sudah terlalu liar dan sangat sulit untuk dikendalikan? Dan juga, apakah keduanya akan bisa saling mencintai ke depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita Hangat
Happy reading guys :)
•••
Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, rona biru cerah mulai mendominasi cakrawala, mengusir sisa-sisa mendung tipis yang sempat menghiasi angkasa. Matahari telah bergerak secara perlahan, memancarkan sinar hangat yang menerpa atap-atap gedung pencakar langit, pepohonan pinggir jalan, hingga wajah-wajah para pejalan kaki yang sedang terburu-buru ke tempat tujuan masing-masing.
Awan-awan putih mengambang pelan layaknya seperti gumpalan kapas yang diangkut oleh angin, menambah kesan damai dan menenangkan pada pagi hari ini. Sesekali, kicauan burung terdengar samar di antara deru kendaraan bermotor dan langkah-langkah tergesa yang menyusuri jalanan trotoar kota. Jakarta, meskipun ramai dan tak pernah benar-benar sunyi, tetapi pada pagi ini terasa sedikit lebih lembut dari biasanya.
Meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan kota Jakarta, di dalam ruangan OSIS Batara Senior High School, terlihat sosok Naresha sedang mengerucutkan bibir mungilnya sembari merebahkan kepala di atas meja pribadinya.
Naresha membuka layar handphone, melihat kembali beberapa chat berisikan perdebatan antara dirinya bersama Kaizen beberapa jam lalu—perdebatan yang dimulai lantaran dompet Naresha masih dipegang oleh cowok itu, dan Naresha hanya mendapatkan uang saku sebesar dua puluh lima ribu pada hari ini.
Gadis berparas cantik itu mengembuskan napas panjang beberapa kali, menatap chat terakhir yang telah dikirimkan oleh Kaizen di dalam layar handphone.
“Enak banget itu tangan kalau ngetik … sejak kapan dua puluh lima ribu bisa buat makan sama beli minum di sekolahan ini,” batin Naresha, sembari mengusap wajah cantiknya cukup kasar dengan tangan kiri, “Apa aku manfaatin Gavin lagi, ya? … Iya, kayaknya aku harus manfaatin Gavin … setidaknya salah satu e-wallet-ku nggak disentuh sama itu bocah ngeselin. Jadi, Gavin bisa transfer ke sana.”
Saat Naresha ingin mengirimkan sebuah pesan kepada Gavin, sebuah notifikasi chat dari ‘Ayah Dari Anak-anakku’ masuk ke dalam layar, membuat Naresha sontak menggembungkan kedua pipi putihnya.
Kaizen:
“Jangan aneh-aneh … Gue tahu lu mau manfaatin Gavin sama cowok-cowok bucin itu.”
“Kalau itu sampai kejadian, e-wallet terakhir lu juga bakal gue sita ….”
“Dan kalau lu nolak, gue aduin ke mama sama papa … biar lu di homeschooling aja.”
Tanpa menunggu waktu lama, Naresha bergegas menggerakkan kedua ibu jarinya untuk mengetikkan sesuatu pada keypad handphone, lantas segera mengirimkannya kepada Kaizen.
Naresha:
“Nggak usah sok ngatur gue!”
“Gue bisa laporin ini sebagai financial abuse, lu tahu nggak?!”
“Buru, balikin dompet sama semua e-wallet gue, Kaizen!”
Tanpa perlu menunggu waktu lama, pesan yang telah Naresha kirim dilihat oleh Kaizen, tetapi cowok itu tidak lagi memberikan jawaban—seakan sengaja ingin membuat Naresha semakin frustasi.
Naresha mengepalkan kedua tangan sempurna. “Dibaca doang?! Kaizen sialan … gue pastiin lu kena batunya karena udah bikin gue jadi kayak gini.”
Nayla dan Thalita yang sedang sibuk mengecek laporan keuangan organisasi OSIS sontak mengerutkan kening, lalu saling pandang beberapa saat ketika melihat ekspresi tidak bersahabat yang tengah Naresha tunjukkan. Mereka berdua mendekatkan wajah satu sama lain, sebelum berbisik-bisik agar sahabat mereka itu tidak dapat mendengarnya.
“Resha kenapa? Tumben banget dari tadi diam terus,” tanya Nayla pelan, sembari menutup pulpen yang sedang dirinya pegang.
Thalita mengangkat kedua bahunya sambil menyelipkan beberapa helai rambut yang sedikit berantakan ke belakang telinga. “Gue juga nggak tahu … Apa mungkin ada hubungannya sama hukuman yang om Ardhan sama tante Gayatri kasih ke dia?”
Mereka berdua kembali diam setelah saling melontarkan pernyataan, sebelum pada akhirnya bangun dari atas tempat duduk masing-masing—tanpa mengatakan apa-apa—dan melangkahkan kaki mendekati tempat Naresha berada saat ini.
“Sa, lu kenapa? Gue perhatiin dari tadi murung banget … nanti cantiknya hilang, loh,” tanya Nayla saat telah berada di samping kanan Naresha, sembari sedikit memberikan godaan agar sahabatnya itu sedikit tersenyum.
Akan tetapi, bukannya tersenyum, Naresha justru mengerang penuh kefrustasian seraya mematikan layar handphone—berusaha menyembunyikan kolom chat bersama Kaizen yang masih ada di dalam sana.
“Sa, kenapa? Cerita ke kita … siapa tahu gue sama Nayla bisa bantu nyelesain masalah lu.” Thalita refleks menggerakkan tangan kanan untuk memberikan elusan lembut di puncak kepala Naresha—hal yang selalu dirinya lakukan saat sahabatnya itu sedang marah atau pun mendapatkan masalah di dunia malam mereka.
“Dompet, kartu ATM, e-wallet, dan semua duit gue! Semuanya kena sita! … Gue harus apa sekarang!” seru Naresha penuh frustasi, menatap wajah Nayla dan Thalita dengan menunjukkan ekspresi begitu sangat sedih.
Nayla melebarkan mata sempurna dengan mulut sedikit terbuka saat mendengar penjelasan Naresha. “Hah! Disita?! Disita sama siapa, Sa?!”
“Disita sama Ka—” Naresha spontan menghentikan ucapannya saat sadar hampir saja menyebut nama Kaizen, lalu kembali membuka suara ketika melihat raut wajah Nayla dan Thalita berubah menjadi begitu sangat penasaran. “Disita papa sama mama! Sebagai hukuman karena gue ketahuan kemarin! Dan sekarang … gue cuma pegang duit dua puluh lima ribu.”
Nayla dan Thalita sontak saling pandang beberapa saat, terkekeh pelan, sebelum pada akhirnya bergerak untuk memeluk tubuh Naresha dengan cukup erat.
“Aduh, aduh … kasihan banget sahabat gue ini. Biasanya selalu happy karena kehidupan, tapi sekarang dibuat pusing karena uang,” celetuk Nayla sambil memberikan elusan lembut di punggung Naresha.
Naresha kembali mengerucutkan bibir mungilnya saat mendengar celetukan Nayla, tetapi itu tidak berlangsung lama, karena beberapa detik kemudian dirinya segera mengukir senyuman manis kala mendengar ucapan Thalita.
“Udah, jangan manyun terus kayak gitu. Nanti cantiknya beneran hilang.” Thalita mencubit pelan pipi kiri Naresha, sebelum kembali membuka suara. “Lebih baik sekarang kita ke kantin … Hari ini sampai dompet lu balik … biar gue sama Nayla yang bayar semua keperluan makan lu selama di sekolah.”
Tanpa menunggu waktu lama, Naresha bangun dari atas tempat duduknya, lantas merangkul leher kedua sahabat baiknya itu sebelum melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan OSIS, sembari merekahkan senyuman manisnya hingga lesung pipinya terlihat sempurna.
Melihat hal itu, Nayla dan Thalita kembali saling pandang beberapa saat, lalu terkekeh pelan dan membiarkan diri mereka dituntun oleh Naresha keluar dari dalam ruangan.
•••
Kantin utama Batara Senior High School hari ini tampak lebih ramai dari biasanya. Para siswa-siswi yang berada di dalam sana terlihat asyik sekali mengobrol sambil menikmati makanan milik masing-masing.
Mereka mengobrolkan satu topik yang begitu sangat panas—yaitu topik pembicaraan tentang salah satu anak Valefor yang kemarin dikeluarkan secara paksa oleh Kaizen dan para petinggi lainnya.
Kabar itu menyebar dengan sangat cepat, seperti api yang menjalar ke sebuah ladang kering. Bahkan, para siswa-siswi kelas satu pun sudah mengetahui detail kejadian yang terjadi pada hari minggu lalu.
Semua memperbincangkan bagaimana mantan anak Valefor bernama Drazel Adiwangsa ditendang keluar oleh Kaizen, lantaran ketahuan menjadi mata-mata dari musuh bebuyutan mereka.
“Eh, itu beneran nggak, sih? Gue masih nggak percaya kalau kak Drazel ngehianatin Valefor,” tanya seorang siswi kelas satu yang sedang duduk di meja barisan tengah.
“Beneran … di sosial medianya Valefor juga udah ngumumin. Katanya, kak Drazel itu pengin ngerebut jabatan kak Kaizen … makanya dia mau jadi mata-mata Cerberus,” jawab siswi lainnya.
“Ih, gila banget … Padahal, kak Kaizen udah percaya banget sama dia, tapi dia malah mau nusuk dari belakang,” sambung siswi lainnya.
Obrolan para siswa-siswi itu masih terus berlanjut—semakin bertambah semangat saat berbagai macam informasi yang belum diketahui mulai keluar dari mulut satu sama lain—tetapi itu tidaklah menarik untuk Naresha, terbukti dengan dirinya yang hanya berfokus menikmati berbagai macam jenis makanan di atas meja, mengabaikan setiap nama sang suami yang masuk ke dalam kedua telinganya.
Nayla menopangkan dagu di atas meja, menatap ke arah salah satu meja kala sebuah informasi cukup menarik mulai terdengar dari sana. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena dirinya sesegera mungkin mengalihkan pandangan ke arah depan, menatap wajah cantik Naresha yang terlihat begitu sangat menggemaskan saat sedang menikmati makanan.
“Nggak tertarik sama masalahnya Kaizen, Sa?” tanya Thalita secara tiba-tiba, seraya mengaduk-aduk susu vanila hangat miliknya menggunakan sedotan.
Naresha menggelengkan kepala pelan, tanpa menghentikan aktivitasnya mengunyah makanan.
“Nggak tertarik … biarin aja, udah gede,” ucap Naresha dengan suara tidak terlalu jelas, lantaran banyaknya makanan di dalam bibir mungilnya, “Selagi nggak ngerugiin gue dan sekolah … bodo amat.”
Nayla mengangkat alisnya, seraya terus memperhatikan Naresha yang masih asyik menikmati makanan. “Tapi, lu nggak khawatir, Sa? … Dengan adanya pengkhianatan kayak gini, bukannya justru bikin sekolah kita jadi semakin sering kena masalah, ya? Soalnya, si Drazel masih ada di dalam sini ….”
Naresha menelan makanan terakhir di dalam mulutnya, lantas mengambil gelas berisikan Strawberry Cream Cheese Smoothie yang dingin dan manis untuk menghilangkan rasa haus serta kembali menyegarkan tubuhnya.
“Mungkin itu bakal terjadi, tapi kita lihat aja ke depannya … kalau emang dia bikin masalah … gue baru akan ikut campur,” ucap Naresha, mengembuskan napas panjang penuh kepuasan sambil menaruh gelas yang sudah kosong kembali ke atas meja, “Gue udah selesai. Yuk, balik ke kelas.”
Nayla dan Thalita saling pandang sejenak sebelum pada akhirnya mengangguk setuju. Mereka tahu, kalau sudah begini artinya Naresha tidak ingin membahas masalah yang sedang dialami oleh anak-anak Valefor lebih dalam lagi.
“Ya udah, yuk … tapi ke kasir dulu, buat bayar makanan.” Nayla bangun dari tempat duduknya, lalu merapikan rok yang sedikit terangkat.
Naresha mengangguk pelan, sebelum pada akhirnya memberikan pelukan cukup erat pada tubuh Thalita yang telah berdiri di samping kanannya. “By the way … makasih banyak, ya, udah mau traktir gue. Gue sayang banget sama kalian berdua.”
Thalita terkekeh pelan dan mulai membalas pelukan yang sedang Naresha berikan. “Udah, ah … nggak usah dibahas, kayak sama siapa aja.”
Beberapa detik berlalu, setelah melepaskan pelukannya, Naresha mulai melangkahkan kaki, mengikuti Nayla yang sudah terlebih dulu berjalan menuju kasir kantin.
Sesampainya di depan meja kasir, Naresha spontan mengerutkan kening sempurna saat mendengar bahwa semua makanannya tadi telah dibayar oleh seseorang.
“Punyaku udah dibayar, Bu? Sama siapa?” tanya Naresha, menatap penjaga kasir dengan sorot mata penuh rasa penasaran.
Ibu penjaga kantin mengangguk di sela menghitung makanan yang telah dibeli oleh Nayla dan Thalita. “Iya, Mbak Resha … Yang bayar mas Kaizen. Katanya kasihan lihat Mbak dari tadi pagi kayak orang nggak dikasih makan.”
Setelah mendengar jawaban dari ibu penjaga kasir, tanpa mengatakan apa-apa, Naresha segera pergi meninggalkan ruangan kantin dengan tangan mulai mengepal sempurna.
“Orang itu … aku nggak mau tahu. Hari ini juga … aku harus dapetin lagi semua hakku!”
To be continued:)