Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Naya turun dari tangga dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya masih terlihat sembab, tapi sudah ia tutupi dengan concealer tipis. Ia duduk di meja makan yang sudah penuh dengan hidangan pagi, tapi tidak satupun yang disentuh.
Pak Firman duduk membaca koran. Di sebelahnya, Bu Mita menyeruput teh sambil pura-pura hangat menyambut pagi.
“Selamat pagi, Naya,” ucap Bu Mita manis.
Naya hanya mengangguk datar.
Setelah beberapa menit keheningan, Naya membuka suara.
“Saya mau ke kampus hari ini.”
Pak Firman tidak menoleh. Masih menatap koran.
“Baik biar kamu diantar sama sopir papa?”
“Saya bisa sendiri,” jawab Naya cepat.
“Saya bisa nyetir, saya cuma mau... menghirup udara sendiri, Pa.”
Pak Firman akhirnya menurunkan koran dan menatap putrinya lekat.
“Tidak usah. Pak Raka akan mengantar.”
Naya menoleh tajam.
“Papa… saya cuma mau ke kampus, bukan kabur.”
“Kamu sudah pernah bilang begitu sebelumnya. Tapi nyatanya kamu mabuk di restoran. Berbohong. Melanggar aturan.”
Nada suara Pak Firman tetap tenang, tapi dingin.
“Papa tidak akan biarkan kejadian seperti itu terulang. Kamu mau kuliah, silakan. Tapi kamu tetap dalam pengawasan.”
Naya mengepalkan tangan di bawah meja.
“Jadi saya ini apa, Pa? Narapidana?”
Bu Mita cepat-cepat memotong dengan suara lembut.
“Naya... Papa cuma khawatir. Jangan bawa ke hati. Lebih baik kan ada yang antar, siapa tahu capek.”
Naya berdiri dari kursinya tanpa menjawab.
Wajahnya menegang, tapi bibirnya tetap terkunci.
tanpa mengatakan apa-apa naya langsung keluar meninggalkan dua orang tersebut.
Pak Raka, sopir pribadi keluarga Firman, sudah siap membuka pintu mobil hitam mewah itu.
Naya melangkah keluar rumah dengan tas selempang di bahu dan wajah datar. Ia tidak menyapa siapa pun.
Begitu masuk ke dalam mobil, ia menyandarkan kepala ke jendela, memandang keluar.
Dalam hatinya, hanya satu kalimat:
“Kalau aku harus tunduk hari ini, aku akan cari cara untuk berdiri besok.”
Mobil berhenti tepat di depan lobi. Naya turun dengan cepat, tanpa menoleh pada sopir. Ia langsung berjalan ke arah gedung perkuliahan—hendak menuju kelas.
Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara yang familiar:
“Naya!”
Suaranya lantang, penuh antusias, dan membuat beberapa mahasiswa menoleh.
Sarah.
Dengan rambut panjang digerai dan jaket oversized, gadis itu berlari kecil menghampiri Naya sambil tersenyum lebar.
“Akhirnya muncul juga! Hei, kamu masih hidup, kan?”
Naya mengerutkan alis, lalu tersenyum tipis.
“Masih. Setengah.”
Sarah menyenggol lengan Naya.
“Gila, kamu ilang kayak ditelan bumi. Setelah malam itu... aku kira kamu kabur ke planet lain.”
Naya menunduk sejenak.
“Aku cuma... nggak siap cerita waktu itu.”
“Tapi sekarang?” tanya Sarah sambil menatap tajam tapi hangat.
Naya menghela napas.
“Masih belum. Tapi aku datang ke kampus hari ini untuk waras. Jadi... ya, satu langkah dulu.”
Sarah mengangguk pelan.
“Oke, no pressure. Tapi kamu tahu kan, kamu bisa cerita kapan pun. Kalau nggak sama Dante, ya sama aku.”
“Iya, aku tahu.”
Mereka mulai berjalan beriringan menuju kantin, karena ternyata jam kuliah Naya masih 15 menit lagi. Sarah masih berceloteh soal kampus, dosen killer, dan cowok ganteng misterius yang baru pindah fakultas.
Naya hanya tertawa kecil di sela-sela.
Meja pojok kantin yang menghadap ke taman belakang menjadi tempat Naya dan Sarah duduk santai. Sarah masih berceloteh semangat sambil menyendok parfait mangga miliknya.
“Kamu harus lihat sendiri, Nay. Tinggi. Putih. Rapi. Senyumnya kayak sinar matahari pagi waktu libur semester!”
Naya mengerutkan alis sambil menyeruput es tehnya.
“Yang barusan pindah itu?”
“Iya! Namanya reza, katanya pindahan dari kampus pusat. Beda fakultas sih, tapi entah kenapa banyak cewek yang tiba-tiba nongkrong di fakultas dia sekarang. Termasuk aku, obviously,” ucap Sarah sambil menepuk dada sendiri dramatis.
Naya hanya tertawa kecil, menoleh ke arah taman belakang.
“Dasar kamu, Sar. Kalau bukan cowok ganteng, kamu nggak bakal semangat ngampus.”
“Hidup ini terlalu berat untuk dijalani tanpa visual menyenangkan,” jawab Sarah ringan.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah santai dari arah pintu masuk kantin. Seorang cowok dengan tas selempang hitam di pundaknya dan kaus sederhana menghampiri mereka.
Arya.
Wajahnya segar meski tampak kelelahan, rambutnya sedikit berantakan tapi tetap memberi kesan santai. Ia tersenyum manis begitu melihat dua sahabatnya duduk di sudut ruangan.
“Kalau bukan dua ratu gosip kampus ini.”
Sarah menoleh cepat, matanya membulat.
“Arya?! Astaga! Kirain kamu pindah planet, bukan pindah kelas!”
Arya terkekeh dan menarik kursi di samping Naya, lalu duduk.
“Aku sibuk, Sar. Tugas-tugas akhir semester mulai ngeri. Mana dosennya killer semua.”
Ia melirik Naya.
“Termasuk satu yang kamu tahu banget siapa.”
Naya memutar mata malas.
“Udah jangan bahas dia.”
Sarah ikut tertawa.
“Eh...eh... tapi yang mana dulu nih jangan bilang pak Alvan ya?"tanya sarah menebak nebak sambil memainkan kedua alisnya
"Hhmm"jawab Naya
“Ehh Sar, gimana ceritanya cowok pindahan yang katanya ganteng itu? Yang bisa bikin para ciwi-ciwi mau ikut pindah jurusan segala,” tanya Arya sambil mengaduk minumannya. Senyum jahil tergambar jelas di wajahnya.
Sarah langsung duduk lebih tegak, matanya berbinar seperti anak kecil dapat es krim gratis.
“Kamu belum lihat dia? Parah sih. Beneran kayak aktor drama Korea. Tinggi, bersih, ada tahi lalat kecil di bawah matanya—jenis laki-laki yang kalau lewat, semua jalanan bisa sunyi.”
Ia sampai memegang dada sendiri, dramatis. “Fix bisa jadi penyebab gagal fokus nasional.”
Naya hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis. Arya tertawa kecil di sampingnya.
“Tapi kayaknya kamu yang lebih gagal fokus deh, Sar. Bukan nasionalnya.”
“Yah, namanya juga mata perempuan sehat, Tan, masa nggak boleh liat cakep-cakep?” sahut Sarah dengan tawa. Arya ikut tergelak.
Untuk sesaat, suasana meja itu terasa seperti hari-hari lama yang ringan, bebas dari tekanan dan perasaan berat. Tawa mereka menyatu dengan riuh kantin.
Tapi tak ada yang tahu...
Dari sudut matanya, Sarah memperhatikan Arya.
Dan tepat saat itu Arya sedang melirik Naya, menatapnya diam-diam ketika Naya sedang fokus membuka bungkus makanannya.
Seketika, wajah Sarah menegang setengah detik, sebelum ia cepat-cepat menunduk pura-pura sibuk memainkan sedotan.
Ada rasa ngilu yang datang tiba-tiba. Perih yang tak bisa diungkap, hanya bisa ditelan sendiri.
Mata Sarah kembali mendongak. Kali ini, ia tersenyum lebar seperti biasa, dan menyambar potongan kentang goreng dari piring Naya.
“Eh, kamu diem aja, Nay. Jangan-jangan kamu juga suka tuh cowok pindahan?”
Nada suaranya bercanda. Tapi matanya... tidak.
Naya hanya menjawab santai, “Aku udah cukup pusing sama yang ada sekarang. Nambah drama? Thanks, no.”
Arya tertawa kecil lagi, dan entah kenapa itu cukup untuk membuat jantung Sarah mencelos.
____
Siang itu langit mendung, dan perpustakaan cukup sepi. Beberapa mahasiswa duduk menyebar, sebagian sibuk membaca, sebagian lagi sekadar menghindari kelas.
Naya duduk di meja panjang dekat jendela. Di hadapannya beberapa buku terbuka, tetapi ia tidak membaca. Hanya berpura-pura sibuk. Pandangannya kosong menatap halaman yang tidak bergerak sejak lima menit lalu.
Hidupnya hari ini bukan hanya dikekang di rumah, tapi juga diikat dengan tali pertunangan yang tidak pernah ia minta.
Hingga langkah sepatu mendekat.
“Fokusmu tetap buruk meskipun kamu pura-pura baca buku.”
Naya mendongak cepat.
Alvan.
Pria itu berdiri dengan kemeja abu-abu dan jaket kampus, tangannya menyelipkan buku ke rak di belakangnya, lalu perlahan duduk di kursi seberang tanpa diminta.
“Ngapain Pak duduk di sini? Mau ngawasin saya juga kayak Papa saya?”
Nada Naya tajam, dingin.
“Aku duduk di perpustakaan. Sama seperti kamu. Ini ruang publik, bukan ruang interogasi.”
“Tapi sikap Pak Alvan seperti interogator. Dari kemarin kerjaannya mengomentari hidup saya.”
Alvan menatapnya tenang.
“Karena kamu selalu membuat dirimu jadi pusat masalah.”
“Masalah?” Naya terkekeh pendek.
“Justru masalah saya disini karena bapak.”
Alvan diam sesaat, lalu bertanya.
“Kalau kamu pengen bebas, kenapa nggak tolak pertunangan ini dari awal?”
Pertanyaan itu menyentak Naya.
Ia bersandar, menyilangkan tangan, menatap Alvan tajam.
“Dan Pak Alvan sendiri kenapa nggak tolak?”
“Karena saya nggak punya alasan untuk menolak.”
“Lalu kenapa menilai saya seolah saya harus berubah agar cocok jadi tunangan Bapak?”
Nada suara Naya Pelan tapi penuh penekanan.
“Saya nggak minta dijodohkan. Saya nggak minta dilamar oleh dosen killer yang bahkan nilai mahasiswa nggak pernah pakai hati.”
“Dan saya juga nggak pernah minta ditunangkan dengan perempuan yang pikir masalahnya bisa selesai dengan lari dari masalah.”
Jawaban Alvan cepat dan tajam.
Naya terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahannya kuat-kuat.
“Kamu tahu kenapa aku nggak langsung nolak perjodohan ini, Naya?” Alvan berkata dengan nada lebih rendah, tapi menusuk.
“Karena aku ingin lihat... apa kamu akan terus hidup seperti ini dikendalikan oleh keadaan, atau kamu akhirnya bisa ngambil kendali hidupmu sendiri.”
“Berhenti berpikir bahwa semua orang adalah musuhmu.”
“Saya nggak pernah berpikir begitu, dan bapak tidak perlu nasetahin saya , Saya tidak butuh itu” bisik Naya, dingin.
“Apalagi Bapak.”
Alvan berdiri. Merapikan kertas di depannya.
Sebelum pergi, ia menatap Naya dalam-dalam.
“Mungkin kamu nggak butuh itu. Tapi kamu harus hadapi. Dan saya di sini... bukan untuk jadi pahlawan. Tapi mungkin untuk bikin kamu berhenti lari.”
"Ohh iya jangan lupa malam Sabtu tampil cantik karena saya tidak mau calon istri saya terlihat jelek karena matanya yang memerah"
Lalu ia pergi, meninggalkan Naya yang kembali terdiam.
🍒🍒🍒