Katanya, Arsel pembunuh bayaran. Katanya, Arselyno monster yang tak berperasaan. Katanya, segala hal yang menyangkut Arselyno itu membahayakan.
Seorang Berlysa Kanantasya menjadi penasaran karena terlalu banyak mendengar desas desus mengenai cowok bernama lengkap Arselyno M Arxell. Semua murid sekolah mengatakan bahwa Arsel 'berbahaya', menantang gadis yang bernama Lysa untuk membuktikan sendiri bahwa yang 'katanya' belum tentu benar 'faktanya'.
Penasaran kecil yang berhasil membuat Lysa mengenal Arsel lebih dalam. Penasaran kecil yang sukses menjebaknya semakin menjorok ke dalam jurang penasaran.
Pada akhirnya, Lysa mengerti; ternyata mencintai Arsel, memang seberbahaya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon __bbbunga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab IX :// Keceplosan
Arsel telah berkutat dengan lokernya ketika tidak sengaja mendengar namanya disebut-sebut sebagai bahan perbincangan. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya. Semua siswa di sekolah paling sering menjadikannya bahan perghibahan, seburuk itu namanya di mata orang-orang.
"Tau, nggak, sih, katanya Arsel bunuh orang lagi! Tau nggak?"
Arsel tidak menggubris tiga siswi yang sedang menggunjing dirinya, tetap fokus berkutat pada lokernya. Mengambil beberapa buku pelajaran yang sengaja ia tinggalkan di loker sekolah.
"Nggak heran lagi. Namanya pembunuh bayaran. Harusnya orang kayak di itu di basmi! Kenapa nggak masuk penjara aja, sih?"
""Sampah masyarakat banget"
"Gue denger dari anak kelas sebelah, katanya dia pernah lihat si Arsel itu pegang tangan anak SMP. Dih... Pedofil, anjir!"
Arsel tetap mengontrol diri. Yang mereka maksud itu adalah Alyn, adiknya sendiri. Terkadang gosip di sekolah ini semakin hari semakin hiperbola sak.
"Tau, nggak, yang terbaru? Gue denger ibunya itu perebut suami orang! Parahnya lagi, sekarang suami yang dia rebut itu lebih pilih ibunya Arsel. Nggak tau diri banget, kan?"
Bangsat! Arsel mengumpat dalam hati. Amarahnya seketika memuncak ketika orang-orang ini membawa nama ibunya. Arsel tidak masalah mau sejelek apa namanya di mata orang lain, setidaknya jangan pernah membawa nama ibu dan adiknya, Arsel tidak akan pernah menolerir jika itu terjadi.
Dengan tangan mengepal, Arsel ingin menghampiri tiga siswi tadi. Namun Lysa sudah lebih cepat mendahuluinya dan menghadap mereka.
"Gue dengar-dengar, katanya lo suka ngupil pas lagi jam pelajaran olahraga, ya?" cibir Lysa, sengaja mencemooh cara bicara mereka tadi.
"Lo juga katanya sering boker di toilet cowok, terus lupa disiram?" cibir Lysa lagi menunjuk yang disebelahnya.
"Dan lo katanya sering juga diam-diam suka sama Mang Saleh tukang cilok?" ketiganya spontan melotot.
"maksud lo apa, sih, Sa? Siapa yang ngomong kayak gitu? Nggak ada akhlak banget" omel siswi yang berambut sebahu di gerai itu seraya bersedekah. Tidak terima di tuding seperti itu.
"Iya, sama kayak lo bertiga, kalau ngomong nggak ada akhlak"
Ketiganya spontan membelalak saling menatap satu sama lain.
"Sekarang tau, kan, gimana rasanya waktu orang omongin sesuatu yang bukan faktanya tentang lo bertiga. Nggak enak, kan?"
Ketiganya menunduk. Yang dikatakan Lysa ada benarnya.
"Jadi, daripada sibuk ngurusin keburukan orang lain, mending lo bertiga urus diri sendiri. Udah lebih baik dari dia belum?"
Ketiganya hanya menunduk, mengaku salah.
"Hidup seseorang itu hak masing-masing, bukan hak lo atau orang lain. Jadi lo nggak punya hak buat andil dalam jalan hidup orang lain. Urus aja jalan hidup lo sendiri"
Lysa lalu membalikkan badan, pergi meninggalkan mereka bertiga.tepatnya, ketika ia bersinggungan dengan Arsel, tangannya kemudian di cekal pelan. Lysa menoleh beradu tatap dengan Arsel yang juga kini tengah menatapnya. "Kenapa?"
Arsel menatapnya sejenak, tersenyum kecil lalu menggeleng. "Gaya lo keren"
Lysa refleks menahan senyumnya. "Gue memang keren dari lahir!" kekehnya percaya diri.
"Tapi lebih keren pakai sandal bulu-bulu kemarin"
Lysa membulatkan bola matanya. Sial, pipinya terasa memanas. Ah, malu sekali. "Kemarin itu..." Lysa menurunkan nada bicaranya. "Khilaf". Cewek itu menyengir kemudian.
Senyum Arsel terbit"Nggak mau kepoin gue lagi?"
"Ih, gue nggak kepoin elo, kok!" sergah Lysa tidak terima. Berusaha menahan pipinya agar tidak memerah.
"Iya, jangan. Bahaya"
"Kenapa?"
"Bisa bikin gue jadi nyaman"
Lysa mengulum bibirnya. Bisa bikin jantung gue jumpalitan terus-terusan jugaZ!
"Gue rasa lo suka sesuatu yang menantang" Arsel menarik sebelah sudut bibir, membuat alis Lysa terangkat bingung.
"Mau, nggak, datang ke sekolah entar malam sama gue?"
"Hah?"
...*****...
thor mampir juga dong ke ceritaku..