Arsa menjalani hidup yang sangat sulit dan juga aneh. Dimana semua ibu akan bangga dengan pencapaian putranya, namun tidak dengan ibunya. Alisa seperti orang ketakutan saat mengetahui kecerdasan putranya. Konfilk pun terjadi saat Arsa bertemu dengan Xavier, dari situlah Arsa mulai mengerti kenapa ibunya sangat takut. Perlahan kebernaran pun mulai terkuat, dimulai dari kasus terbunuhnya Ayah Arsa, sampai skandal perusahaan besar lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humble, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Dengan Fitri
Arsa memutuskan sambungan telepon begitu saja. Sebenarnya, dia masih sedikit gugup saat ini. Karena sejak awal, dia dan Tom Parker hanya berbincang lewat email dan pesan singkat saja.
Itu dia lakukan karena saat memulai ini semua, usianya masih sangat-sangat muda. Bahkan sampai sekarang, dia yakin Tom Parker sama sekali belum mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Arsa hanya menggunakan inisial One sejak pertama kali mereka berkomunikasi.
**
Di sebua halte bus, sambil menunggu. Arsa baru saja berniat mengirimkan profil perusahaan yang ingin dia akusisi di kota ini. Namun tanpa disadari, dua orang yang sangat dia kenal datang mendekat.
“Arsa…?”
Mendengar panggilan itu, pemuda tersebut mendongkakkan kepalanya, dan seketika matanya melebar.
“Harris!…” balas Arsa, lalu melihat seorang lagi yang ada disebelah pemuda itu. “Bryan?…kalian? Kenapa kalian berdua ada disini?” Tanya Arsa pada teman sekamarnya itu, heran.
Harris tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya. Pemuda itu duduk di sebelah Arsa, sebelum akhirnya berkata.
“Bro, seharusnya kami yang bertanya, kenapa kaunada disini? Bukankah aku sudah memberitahumu bahwa, aku dan Bryan sedang magang di salah satu perusahaan di DTM?” Balas Harris.
Arsa sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya matanya kembali melebar karena saat itu dia sudah mengingatnya.
“Oh, maaf. Aku melupakan bagian itu, saat kau bercerita.. saat itu, kau hanya berfokus pada gadis-garis yang juga magang disana.” Jawab Arsa, membela diri.
Mendengar itu, kedua temannya itu langsung saling bertatapan dan tersenyum bersamaan. Sambil menepuk bahu Arsa, Harris yang kini duduk di sebelahnya kembali berbicara. “Yah, harus aku akui, gadis-gadis yang ada disana memang sangat me—“
“Oh, aku pikir aku salah mengenali. Dan coba lihat! Ternyata aku benar.”
Harris yang merasa bahwa perkataannya baru saja di sela oleh seorang wanita, langsung berbalik, begitu juga dengan Arsa dan Bryan.
Belum sempat ketiganya bereaksi, namun wanita yang terlihat menatap remeh pada ketiganya itu, kembali bersuara. “Apa yang dilakukan oleh tiga orang menyedihkan seperti kalian di tempat ini?”
Lebih dari keduanya, Arsa benar-benar terkejut saat menyadari siapa wanita di depannya.
“Fitri apa yang kau lakukan disini?” Tanya Arsa menyela.
“Arsa, diam disana.” Ucap Bryan, sambil mengangkat satu tangannya, sebelum akhirnya berbalik sepenuhnya, menatap Fitri yang melipat kedua tangan di depan dadanya.
“Hei, apa maksudmu berkata seperti itu?” Balas Harris, bertanya geram.
Melihat bagaimana raut wajah Harris, Fitri sedikit memundurkan kepala, namun senyum meremehkan itu tidak lepas dari wajahnya.
“Hoho. Coba lihat! Sepertinya masih ada yang kesal, karena tidak mendapatkan ini..” balas Fitri sambil menunjuk sesuatu yang ada di tangannya, sebelum akhirnya mengipas-ngipaskanya ke wajahnya.
Ketiganya reflek melihat pada benda yang di tunjukkan Fitri.
“Dengar pelacur… silahkan kau pamerkan benda itu kepada orang lain, kami sama sekali tidak peduli dengan hal seperti itu.” Ucap Harris dengan geram.
Kening Arsa berkerut heran, saat melihat sebuah kartu yang sedang di pamerkan mantan pacarnya itu. Seolah, dari raut wajah Fitri benda itu sangat berharga.
Mendengar apa yang dikatakan Harris, sontak membuat Fitri tertawa. “Haha… aku melihat wakah kalian tadi, saat semua orang mendapatkan undangan ini, namun kalian tidak.” Ucap Fitri. “Sayang sekali aku tidak mengambil poto, untuk menunjukkannya saat ini. Jika tidak, maka—“
Melihat Fitri sudah melewati batas, Arsa langsung berdiri, dan memotong kata-katanya. “Fitri, hentikan! Apa masalahmu?”
Melihat Arsa akhirnya bereaksi, Fitri kembali tersenyum. Saat itu, gadis tersebut menatap Arsa dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.
“Oh. Sial! Kau benar-benar mimpi burukku.” Ucap Fitri dengan nada jijik, “bagaimana bisa, dulu aku mau tinggal bahkan tidur denganmu?”
Saat mengatakan itu Fitri menggelengkan kepala seolah benar-benar tidak mempercayai apa yang pernah terjadi antara dian dan Arsa.
“Coba lihat, kau benar-benar menyedihkan, bahkan melebihi teman-temanmu ini.” Cibir Fitri kembali.
Melihat bagaimana sikap Fitri, Arsa mengerti bahwa gadis itu masih kesal, karena apa yang telah dia lakukan terakhir kali, saat keduanya bertemu di kamar hotel.
Namun sebaliknya, sampai detik ini Arsa sama sekali tidak menyesalinya. Bahkan melihat gadis ini saja, sast ini Arsa bahkan jauh lebih kesal.
Hanya saja, saat ini Arsa benar-benar tidak mengerti, kenapa Fitri juga terlihat begitu membeci dua orang temannya ini.
Arsa ingin menanggapinya, namun tiba-tiba Bryan sudah berdiri dan menyelanya. “Arsa, sudahlah. Jangan meladeni wanita gila ini…. Sebaiknya kita pergi saja, sebelum kita bertiga ikut gila.”
Arsa menatap ketiganya secara bergantian. Saat itu, bahwa ketiganya terlihat sering bertemu, setidaknya untuk beberapa waktu terakhir.
Sebab sast Arsa masih berhubungan dengan Fitri, Harris dan Bryan bahkan tidak ingin menyapa gadis ini sama sekali.
“Tidak perlu. Silahkan terus disini, dan nikmati hari-hari kalian yang menyedihkan itu.” Sahut Fitri angkuh.
“Bip…bip.”
Setelah mengatakan itu Fitri langsung berbalik, dan melihat sebuah mobil sedan baru saja membunyikan klakson, sesaat sebelum berhenti disana.
Fitri tersenyum saat melihat seorang pemuda keluar dari pintu kemudi dan berjalan mendekat. Sambil berkata. “Sayang, apa ada masalah? Apa yang kau bicarakan dengan dua pecundang ini?”
“Hei, tuan. Jaga bicaramu… apa maksudmu?” Teriak Arsa sambil menunjuk tangan.
“Arsa, sebaiknya kita pergi saja.” Ajak Bryan seraya menarik tubuh Arsa menjauh.
Arsa jelas sudah terpancing untuk bereaksi. Bahkan, jika saat itu Bryan tidak langsung menarik paksa dirinya agar segera menjauh, pemuda itu yang berada di samping Fitri itu sudah pasti akan di hajarnya.
Arsa tidak bisa menghadapi Fitri, tapi tidak dengan pria ini. Karena dia sudah mendengar apa yang dikatakan pria tersebut tetang dua temannya, dia benar-benar tidak bisa menerima itu.
“Bryan, dia baru saja mengatakan bahwa kalian—“
“Sudah biarkan saja..” sela Bryan sambil terus menarik Arsa dan mencengkram tangan pemuda itu erat-erat.
“Harris, ada apa ini? Kenapa kali—,”
Lagi-lagi Arsa tidak bisa menyelesaikan kata-katanya, karena saat itu dia melihat Harris tiba-tiba berbalik dan berjalan meninggalkan pria itu dan Fitri, melewati Arsa dan Bryan begitu saja.
“Yah, itulah yang dia lakukan pecundang… hei kalian… kita akan tetap bertemu dikantor besok.” Seru pemuda itu, pada Harris dan Bryan.
Tidak ada pilihan, meski hatinya menjadi kesal, Arsa terpaksa mengalah dan mengikuti keduanya menjauh.
***
“Sial! Bajingan… kenapa kalian lari dari pria brengsek itu? Ada apa ini sebenarnya?” Hardik Arsa dengan perasaan kesal.
Jelas itu membuatnya sangat kesal, karena tidak biasanya kedua temannya ini, bersikap seperti pengecut seperti ini.
“Arsa, kami sengaja tidak memberitahumu sebelumnya. Tapi, perusahaan tempat kami magang, juga tempat dimana Fitri bekerja.” Ucap Harris tiba-tiba, yang seketika membuat Arsa melupakan ap yang baru saja ingin ia katakan.
Belum cukup sampai disana, Bryan yang sejak tadi hanya diam, sekarang angkat bicara. “Karena memiliki sedikit posisi lebih tinggi disana, entah kenapa hampir setiap hari gadis sialan itu, mengangguku dan Harris.”
“Fitri? Mengganggu kalian?” Tanya Arsa seolah tak percaya saat mendengarnya.
Harris menggelengkan kepalanya, sebelum akhirnya mengangkat sedikti bahu dan berkata. “Yah, kami tidak tahu apa masalahnya. Tapi, sejak pertama kami mulai magang, dia terlihat sudah begitu kesal pada kami berdua.”
Tentu saja Arsa tahu apa penyebabnya. Namun, pemuda itu sama sekali tidak menyangkan bahwa Fitri akan melampiaskan dendam pada dua sahabatnya itu.
“Sudahlah Arsa… dia hanya gadis gila. Kami bahkan lebih sering mengabaikannya. Jadi ayo pulang!” Seru Bryan, yang saat itu menyadari bahwa pemuda tersebut, sudah jauh tertinggal dibelakang sana.