NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 : Akhir Pekan Pertama

Sabtu pagi datang dengan udara yang lebih segar dan suasana yang lebih ringan dari biasanya. Alarm tidak memekikkan tekanan, dan barak tak lagi dipenuhi suara pelatih yang memanggil apel.

Pengumuman disampaikan oleh komandan peleton bahwa hari ini, para taruna diberi izin pesiar sehari penuh. Wajah-wajah lelah seketika berubah menjadi cerah. Sorakan kecil dan gumaman bahagia terdengar di setiap sudut barak.

Para taruna langsung berkemas. Sebagian sibuk mencari dompet, mencatat daftar belanjaan, ada yang mengatur jadwal bertemu keluarga atau sekadar mengecek saldo di dompet digital.

Beberapa langsung keluar gerbang akademi, sebagian besar menuju kota kecil di sekitar kompleks militer. Tujuannya beragam: ada yang ke pasar untuk membeli perlengkapan pribadi seperti sabun, sikat gigi, atau charger, ada juga yang hanya ingin menyegarkan pikiran dengan berjalan-jalan.

Di antara mereka, tampak Darma, taruna asal Bandung, dengan ransel kecil di punggungnya. Ia berjalan santai sambil berbicara pada teman sekamarnya. Darma dengan logat khasnya “Saya teh pengen nyoba jalan-jalan sambil lihat sekitar. Sekalian cari cemilan yang enak. Katanya dekat sini ada seblak yang viral…”

Darma juga membawa daftar kecil—titipan belanja dari beberapa temannya, termasuk Cakra.

Darma memeriksa ulang daftar belanjaan “Cakra nitip kopi sama pasta gigi. Sip, sekalian aja lah.” Sebelum keluar, Darma sempat menepuk bahu Cakra yang sedang duduk di dekat ranjang baraknya. “Santai wae di barak. Nanti sore juga saya balik. Titipan aman.” Cakra mengangguk dan tersenyum tipis, sambil melirik Arlan yang sedang membongkar gamepad dari dalam laci.

Siang hari datang, dan suasana barak nyaris sunyi. Mayoritas taruna telah keluar, menyisakan hanya segelintir yang memilih untuk tetap tinggal. Di antara yang tertinggal, Cakra dan Arlan tampak paling santai.

Di sisi barak yang menghadap taman kecil, mereka berdua duduk bersandar pada tiang beton. Laptop terbuka, colokan panjang menjulur dari dalam barak, dan dua gelas plastik berisi air panas berdiri berdampingan—siap untuk kopi instan.

Arlan meregangkan tubuhnya, masih mengenakan kaos oblong dan celana training. Ia menguap lebar sebelum menjatuhkan diri di kursi lipat. “Capek banget, Bro. Seminggu dihajar push-up dan push-up. Hari tenang tuh... mending healing pake game. Jalan-jalan? No thanks.”

Cakra hanya tertawa kecil, ikut membuka laptopnya. Tangannya meraih sachet kopi yang tadi dititipkan Darma, lalu menuangkannya ke dalam gelas.

Saat menunggu air panas mendingin, ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Laras. Ia tersenyum kecil saat nama Laras muncul di layar, namun senyumnya perlahan luntur saat muncul tulisan:

"Sedang dalam panggilan lain..."

Cakra terdiam sejenak. Ia menatap layar ponsel dalam hening, jempolnya tak jadi menekan tombol merah. Pandangannya menerawang.

Cakra (berbisik pelan):

“Nomornya lagi di panggilan lain...”

Ia menghela napas perlahan. Tak ada amarah, hanya sedikit kecewa. Tapi ia cepat menguasai diri dan memaklumi. Mungkin Laras memang sedang sibuk. Ia mengembalikan ponsel ke dalam saku dan kembali menatap layar laptop.

Sementara itu, Arlan berdiri dari tempat duduknya.

Arlan:

“Gue ke luar sebentar, nyari sinyal. Mau nelpon orang rumah.”

Cakra hanya mengangguk tanpa menoleh. Arlan berjalan menjauh sambil memainkan ponselnya, suaranya pelan-pelan hilang tertelan angin.

Cakra mengaduk kopinya. Aroma kopi hangat bercampur dengan suara dedaunan yang bergoyang ringan. Meski sepi, hari itu terasa damai baginya. Dan game di layar laptop menunggu dimainkan.

Suara langkah cepat terdengar dari arah gerbang barak. Darma, dengan keringat menetes di pelipis, muncul lebih dulu, membawa kantong belanjaan plastik bening yang berisi perlengkapan mandi dan kebutuhan ringan.

Darma dengan logat Sunda khasnya

“Nah, ini teh titipan si Cakra. Udah komplit, bro. Tisu, sabun, kopi...ngan kakasihna teu acan kapanggih.”

(“Tinggal pujaan hatinya yang belum ketemu.”) Tak lama, Hakim, taruna asal Aceh, muncul di belakangnya sambil membawa bungkusan makanan berkuah. Aromanya langsung memenuhi ruangan barak. Hakim dengan senyum lebar mengangkat barang bawaannya “Tadi lewat warung pinggir jalan, si Darma maksa mampir. Ini buat makan siang, bro seblak katanya!”

Cakra langsung tersenyum lebar, mengucap terima kasih sambil menepuk bahu keduanya.

Cakra: “Wah, kalian keren banget. Laper parah, nih.” Mereka duduk bertiga di teras barak. Cakra membuka bungkusan seblak dan mulai meniupinya pelan. Uap panas naik dari mangkuk kertas, aroma pedas menggoda.

Darma menyendok seblak “Awas pedes, tapi ini seblak Bandung asli, bukan abal-abal!”

Cakra menoleh ke arah Arlan, yang masih berdiri agak jauh, di bawah pohon, berbicara di telepon. Suaranya pelan, ekspresinya serius. Cakra berkata pelan ke Darma dan Hakim “Tumben Arlan nggak mau makan. Biasanya dia yang paling ribut kalau ada makanan...” Darma melirik sekilas.

“Mungkin lagi nelpon orang penting. Pacarnya kali?”

Cakra hanya mengangguk pelan, namun sorot matanya tak lepas dari Arlan. Ada sesuatu yang terasa berbeda. Bukan hanya karena Arlan menolak seblak, tapi ekspresi wajahnya yang tak biasa terlalu serius, terlalu jauh.

Sementara itu, Arlan terlihat menyendiri di sudut halaman barak. Ponsel di telinganya, tubuhnya bersandar santai ke tiang lampu.

Wajahnya cerah, sesekali tertawa kecil, senyum mengembang seperti sedang berbicara dengan seseorang yang membuatnya nyaman. Cakra sempat melirik dari jauh. Ia menatap sebentar, menyipitkan mata dengan sedikit rasa penasaran. Namun, ia memilih tak mencampuri urusan pribadi Arlan. Di bawah teras barak, Darma dan Hakim duduk kembali bersama Cakra. Angin sore berhembus pelan.

Cakra menuangkan air panas ke dalam tiga gelas plastik, masing-masing berisi kopi instan. “Kopi sore dulu, bro.” Darma tersenyum menerima, kemudian melirik ke arah Cakra yang tampak sedikit melamun sambil memainkan mouse laptop-nya. Darma dengan senyum menggoda “Kepengen juga, kang?” Cakra langsung menoleh cepat. Ia sadar arah pertanyaan itu bukan soal kopi. Sambil mengalihkan pandangan ke layar game, ia menjawab datar:

“Enggak. Lagipula saya juga udah punya.” Hakim ikut masuk ke percakapan, menahan senyum. “Tapi belum jadian kan, Bang? Mendingan cepetan…” sambil membungkuk sedikit dan berbisik “Sebelum diambil orang.” Hakim mengangguk ke arah Darma. Darma yang baru saja menyeruput kopi langsung mendelik. “Eh, teu kunanaon. Aing mah jalma anu satia, moal maling babaturan sorangan.”

Cakra dan Hakim tertawa keras mendengarnya. tiba-tiba tawa mereka terhenti. “Artinya apaan tuh?” Darma menarik napas panjang, menyerah. “Huhh… Eh, enak aja. Saya orangnya setia. Nggak akan nikung teman sendiri.” Mereka bertiga tertawa lagi. Suasana terasa hangat, penuh keakraban. Di kejauhan, Arlan masih terlihat bicara di telepon, tapi kini matanya sempat melirik ke arah mereka, wajahnya sedikit berubah sebelum kembali tertawa kecil kepada lawan bicaranya.

Angin sore berhembus lembut, merayap masuk ke celah-celah bangunan asrama yang kosong. Udara yang biasanya dipenuhi teriakan pelatih atau langkah-langkah cepat para taruna, kini terasa hening, begitu berbeda. Seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi ketenangan yang langka.

Hanya suara angin dan gemericik air di halaman yang terdengar. Suasana yang jarang ditemukan di akademi ini, tempat yang selalu penuh dengan rutinitas ketat dan disiplin keras.

Cakra duduk di kursi kayu sederhana, memandangi halaman depan barak yang terbuka. Kopi yang sudah hampir habis di tangannya tidak lagi ia perhatikan. Ia hanya menatap kosong ke depan, menikmati setiap detik dari kedamaian yang jarang ia rasakan.

Senyumnya samar, walau dalam hatinya ada keheningan yang tidak bisa dijelaskan. Saat ini, ia merasa sedikit lebih ringan dibandingkan hari-hari sebelumnya, meskipun ada beberapa ketegangan yang masih menggelayuti pikirannya.

“Momen langka seperti ini nggak akan berlangsung lama…”

Namun, di balik ketenangan yang begitu pasif itu, ada sebuah perasaan yang tak bisa diabaikan. Meskipun ia mencoba untuk menikmati hari ini, ada rasa yang tak nyaman di dadanya—perasaan bahwa badai mungkin sudah mulai mengintai.

Laras yang tak bisa dihubungi beberapa kali membuatnya bertanya-tanya. Biasanya, komunikasi antara mereka berjalan lancar, namun sekarang ada kesunyian yang terasa aneh. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi rasanya ia berada di ambang sesuatu yang besar.

Arlan, yang sejak tadi berbicara dengan seseorang di luar, kini kembali mendekat. Ia tampak sedikit lebih ringan dan ceria setelah selesai menelepon. Sesaat, ia duduk di sebelah Cakra, tanpa berkata apa-apa. Keduanya hanya duduk bersama dalam keheningan, saling berbagi ketenangan yang mereka dapatkan di hari itu.

Cakra menatap Arlan sejenak, lalu kembali memandangi langit yang mulai berubah warna. Suasana di sekitar mereka terasa seperti sebuah perangkap waktu, di mana segala yang terjadi sebelumnya terasa seperti mimpi. Namun, di dalam hati Cakra, ada sesuatu yang terus berbisik—sesuatu yang belum terjawab dan belum terungkap. “Mungkin besok akan berbeda… atau mungkin... ini hanya ketenangan sebelum badai datang.”

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!