📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elesa di sana ketertarikan yang makin tumbuh
Pagi datang dengan wajah pucat. Langit masih berwarna kelabu tipis, cahaya matahari menembus kaca jendela ruang rapat markas, membuat udara di dalam terasa dingin sekaligus berat.
Suara kursi berderit, berbaris rapi menghadap meja panjang penuh map, dokumen, dan laptop terbuka. Beberapa perwira sudah sibuk membolak-balik berkas, ada yang mengetik cepat, ada pula yang hanya mengangguk-angguk mengikuti jalannya diskusi.
Rom, seperti biasa, duduk di kursi paling belakang. Posisi yang selalu ia pilih—cukup jauh dari sorotan, cukup dekat untuk mengamati semua. Tubuhnya condong sedikit ke belakang, bahu tegang, seragamnya masih menyimpan aroma sabun mandi yang terburu-buru. Matanya menatap layar proyektor di depan, tapi pikirannya berlari jauh dari ruangan itu.
“Malam tadi… wajah Lina masih jelas… desahannya, tangisnya, tatapannya… semua melekat. Apa benar itu yang terakhir? Apa benar aku bisa menjalani hari ini seolah tak terjadi apa-apa?”
Rom menghela napas panjang, menunduk, jemarinya mengetuk pelan meja di depannya. Dari luar ia tampak tenang, seorang prajurit yang patuh, tapi di dalam dadanya ada perang lain yang jauh lebih sulit ia menangkan.
Karena pagi ini, untuk pertama kali setelah malam panjang, ia merasa kosong. Seperti apa pun yang ia jalani di sini hanyalah rutinitas mekanis, sementara separuh dirinya masih tertinggal di kamar bercahaya terang itu, bersama Lina yang mungkin kini tengah duduk sendiri, menatap jendela rumah putihnya.
Seperti hari–hari biasanya juga, ruang rapat dipenuhi barisan kursi panjang yang terisi penuh oleh para tentara. Suasana siang merambat masuk lewat kisi jendela, cahaya putih panas menimpa meja–meja kayu yang sudah kusam. Pendingin ruangan bekerja setengah hati, membuat udara tetap terasa padat.
Di depan, Marcno Damarudi berdiri tegap, memberi arahan dengan suara lantang. Di sampingnya, Elesa Alyadiraya berdiri dengan postur yang sama disiplin.
Rom bersandar di kursi belakang, tampak seperti mendengar, padahal matanya hanya terpaku pada sosok Elesa.
Elesa berjilbab. Kainnya dimasukkan rapi ke kerah kemeja seragamnya. Setiap gerakan tubuhnya terasa terukur, tidak ada yang berlebihan. Cahaya siang memantul dari kain jilbabnya, menambah kesan tegas sekaligus sederhana.
Rom menatapnya lama, lalu batinnya bergumam, “Elesa… begitu berbeda dengan Lina.”
Bayangan Lina muncul seketika—Lina yang selalu berantakan, rambut tergerai, pakaiannya longgar dan santai. Perempuan yang ia sentuh dengan liar di malam hari. Dan di hadapannya kini, Elesa: sosok yang tertutup rapat, tak memberi ruang bahkan untuk imajinasi kecil sekalipun.
“Satu kubawa dalam dosa, satu hanya bisa kupandang dari jauh. Dua dunia yang tak pernah mungkin bertemu… tapi kenapa hatiku masih juga goyah?”
Proyektor menyala terang, menyorot layar putih di dinding depan. Suara mesin proyektor berdengung halus, bercampur dengan suara kipas angin yang berputar malas di atas.
Marcno berdiri tegap, wajahnya keras, tangannya menunjuk ke arah data yang terpampang.
“Hasil penggerebekan kemarin.” suaranya menggema memenuhi ruangan.
Elesa, yang berdiri di sisi lain, maju setengah langkah. Suaranya tenang, tapi penuh penekanan.
“Kita tidak menemukan data–data yang dirampok mereka di gedung tersebut.”
Rom di kursi belakang hanya menatap bibir Elesa. Bibir mungil itu bergerak pelan, seolah setiap suku kata menetes lembut. “Imut sekali… mungil, rapat, seakan ingin ku gigit…” batinnya bergetar, mata tak lepas dari gerakan bibir itu.
Marcno menoleh tajam ke barisan tentara.
“Kalian gagal. Kenapa kalian biarkan helikopter itu lolos?!” suaranya meninggi.
Elesa tetap dingin, matanya menatap ke arah layar, lalu kembali ke hadapan prajurit.
“Mulai besok, setiap tentara harus berbekal peluncur roket tangan. Setiap kali menyerbu musuh, tidak boleh ada lagi yang lolos.”
Rom merasakan jantungnya memukul pelan, bukan karena arahan, tapi karena ketegasan Elesa. Aura dingin tapi manis. Antara disiplin dan sesuatu yang memikat jauh di balik jilbabnya.
Marcno menggebrak meja.
“Jangan ada yang gagal lagi! Entah menara Semar Mohawk itu memang cabang persembunyian musuh atau hanya pancingan, kalian semua harus tetap waspada!”
Suasana ruangan menegang. Puluhan mata menatap ke depan. Hanya Rom yang tetap menatap satu orang—Elesa.
Elesa tiba–tiba mengalihkan pandangan. Tatapannya langsung ke arah kursi belakang, tepat ke Rom.
“Solerom, sepertinya Anda terlalu sibuk. Apa Anda ingin menggantikan saya berdiri di sini?”
Seketika ruangan hening. Semua kepala menoleh ke arah Rom.
Rom tersentak, tangannya yang tadi mengetuk meja berhenti. Bibirnya menegang, tapi di dalam hati ia justru tersenyum getir. “Dia memperhatikan aku… Elesa benar–benar melihat aku.”
Rom panik, suara nadanya tercekat tapi penuh urgensi.
“Saya… saya punya sedikit — mungkin banyak — pertanyaan, Pak Marcno.”
Elesa mengangkat satu alis, nada suaranya dingin samar. “Apa pertanyaanmu? Saya harap kamu serius, Solerom.”
Rom menelan keringat, memaksa menarik napas panjang. Matanya terpaku ke meja, lalu menatap kembali Marcno dan Elesa. “Maaf, Bu, Pak. Roket tangan tidak cukup. Mereka pakai helikopter, senjata mahal, taktik cepat. Kemarin kita cuma andalkan senjata biasa dan kendaraan darat—tim kurang maksimal. Mobil dipaksa untuk menjatuhkan helikopter? Mana mungkin efektif.” Suaranya semakin tegas, takutnya berubah jadi tekad.
Suasana rapat bergetar: beberapa orang saling bertukar pandang, bisik-bisik kecil terdengar. Marcno menutup jarinya di meja, menunggu Rom melanjutkan. Elesa mencondong sedikit, menahan rasa ingin tahu—tidak sepenuhnya dingin sekarang.
“Kita butuh kedaerahan udara juga,” Rom melanjutkan, suaranya kini lebih mantap. “Mobil lawan mobil itu tak akan memaksa mesin terbang turun. Kita harus pikirkan intercept dari udara, kontrol ruang udara, dan dominasi elektronik—jamming, intel pengintaian lebih rapat. Kalau perlu, gunakan helikopter patroli untuk mengawal jalur evakuasi dan membayangi. Kalau musuh punya udara, kita juga harus punya opsi udara.”
Marcno menatap tajam. “Kamu bilang gunakan helicopter untuk melawan helicopter?”
Rom mengangguk cepat. “Iya. Bukan sekadar head-on. Koordinasi—intel yang lebih rapi, patroli udara yang ditempatkan di titik-titik chokepoint, dukungan darat yang siap memblokir rute pelarian. Dan kalau memungkinkan, buat zona no-fly sementara dengan dukungan elektronik—bukan bikin kerusakan, tapi mengganggu sistem navigasi mereka sampai mereka tak punya pilihan selain mendarat atau ditangkap.”
Elesa menghela napas, nada evaluatifnya muncul. “Itu gagasan besar, Solerom. Tapi biaya dan sumber dayanya lain—kita butuh lisensi udara, pilot, bahan bakar, dan izin operasi yang lebih tinggi. Kamu sadar konsekuensinya?”
Rom tahu itu. Ia menatap Elesa, nada suaranya rendah tapi meyakinkan. “Saya sadar, Bu. Tapi kalau kita tak atur ulang taktik, mereka akan terus kebal. Kita tidak bisa mengandalkan peluncur roket tangan saja. Saya mau merancang proposal taktis: kebutuhan aset udara minimal, titik penempatan patroli, dan opsi intel elektronik untuk menutup celah. Kalau memang terbatas, kita susun prioritas—yang paling efisien dulu.”
Marcno menatap Rom beberapa detik, kemudian menoleh ke Elesa. Di ruang itu muncul diam panjang—kritik, perhitungan, dan kemungkinan. Elesa menimbang, kemudian berkata pelan: “Buatkan rencana ringkas, Solerom. Satu halaman—apa aset yang dibutuhkan, bagaimana integrasinya dengan operasi darat, dan risiko utamanya. Saya ingin itu di mejaku sebelum sore. Kalau masuk akal, kita bicarakan eskalasi.”
Rom hampir tersenyum tetapi menahan. “Siap, Bu. Terima kasih.”
Ketika rapat melanjutkan ke slide berikutnya, suara alat tulis menggantikan jeda. Rom kembali duduk di kursinya yang jauh di belakang, dada masih berdebar—bukan hanya karena rapat, tapi karena dua dunia yang menunggu di kepalanya: strategi militer di siang hari, dan rumah putih sekaligus desah Lina di malam hari. Mata Rom sekilas melihat Elesa yang kini menunduk menyusun catatan; ada sesuatu yang samar di sana—kekaguman profesional, atau sekadar pengakuan bahwa ide bagus berani datang dari tempat yang tak terduga.
Rapat berlanjut seperti biasa, tapi di kepala Rom, ia sudah mulai merancang kertas satu halaman itu, mengatur prioritas, dan menimbang konsekuensi—bukan hanya untuk misi, tapi juga untuk dirinya sendiri.
Ruang rapat itu tidak besar, tapi padat. Bau kertas, tinta spidol, dan debu karpet tipis bercampur dengan aroma keringat para prajurit yang duduk berjajar. Lampu neon di langit-langit menyorot terlalu terang, membuat semua bayangan wajah tampak tegas, garis rahang mereka keras, tapi mata-mata menahan kantuk atau resah. Proyektor di depan masih menampilkan gambar helikopter yang kemarin lolos—seakan menghantui setiap kepala.
Suara Elesa memecah hening: “Perhatian.”
Nada itu seperti palu kecil, bukan keras tapi tepat sasaran. Spontan semua kepala serempak menoleh, seperti gerakan refleks.
Marcno mengambil alih. Tubuh tegapnya bergerak setengah langkah maju, bayangan besar jatuh di layar. “Ucapkan salam perpisahan pada Prakai.”
Kalimat sederhana, tapi langsung mengundang riak di ruangan. Beberapa pasang mata saling berpandangan; ada yang mengernyit, ada yang mengangkat alis. Nama itu berat, punya riwayat panjang di antara mereka.
Elesa menyusul, nadanya lebih terukur. “Salah satu anggota kita, tentara Prakai, akan pindah ke Kota Baja Purnama.”
Ia berhenti, memberi jeda, lalu dengan tenang menambahkan: “Prakai tidak hadir di rapat ini bukan karena bolos. Saya melarang dirinya hadir.”
Riuh kecil meletup di barisan tengah, seolah beberapa prajurit tak percaya. Larangan hadir bukan hal biasa; artinya ada batas, ada pengucilan.
Marcno memotong kegaduhan dengan suara keras: “Misi dan hasil yang ada di monitor tadi hanya boleh kalian lihat. Prakai sudah bukan bagian dari misi ini. Informasi ini hanya untuk pihak terkait. Dia tidak akan lagi ikut dalam kelompok operasi kita.”
Tangannya mengepal di atas meja, menegaskan bahwa kalimat itu bukan sekadar prosedur—tapi final.
Elesa, dengan tenang, menutup pengumuman itu: “Saat ini Prakai ada di gudang, membereskan semua barang pribadinya. Temuilah dia di sana seusai rapat.”
Suaranya tak memberi ruang protes, hanya memberi perintah sederhana: kalau ingin ucapkan sesuatu, lakukan setelah ini.
Ruangan mendadak terasa berat. Beberapa wajah prajurit muram, beberapa lain pura-pura tetap dingin. Ada ikatan di antara mereka, dan kehilangan satu anggota selalu meninggalkan rongga.
Rom di kursi belakang terdiam. Jantungnya tidak sekadar berdebar karena perintah. Ada sesuatu yang lebih dalam: nama itu. Prakai.
Ia bukan sekadar rekan. Dalam bayangan Rom, nama itu juga mengait pada Lina—suami yang akan membawanya jauh, keluar dari orbit hidup Rom. “Jadi… ini yang dimaksud Lina semalam?” bisiknya dalam hati. Dadanya menegang, antara pahit dan getir.
Langkah sepatu mulai terdengar—prajurit-prajurit bubar, keluar dengan barisan tak serapi biasanya. Suara desis bisik-bisik mengikuti mereka di lorong. Marcno berdiri tegap, menutup map rapat dengan keras. Elesa menatap sekilas ke arah Rom, singkat, hampir tak kentara, lalu kembali fokus pada kertas-kertas di tangannya.
Rom menghela napas. Tangannya meraih topi dinas di meja, tapi pikirannya tak pada disiplin. Kakinya memilih jalur berbeda. Bukan ke pos. Bukan ke ruangannya. Ia berjalan menuju gudang. Ada sesuatu yang harus ia lihat dengan mata kepala sendiri—Prakai, di ambang perpisahan, dan semua pertanyaan yang menggantung di dadanya.