SCRIPT SWEET

Lagi sibuk packing orderan, Aluna mendapat panggilan tamu dari speaker kos. Ia mengerutkan dahi, perasaan tak ada teman yang mau mengajak keluar atau bertamu. Ia cek ponselnya siapa tahu ada pesan masuk yang terlewat. Tetap saja tak ada, Aluna pun segera ganti baju dan menemui tamunya.

Ia mengerutkan dahi, karena tidak ada tamu di ruang tunggu. Aluna pun mendekati satpam kos menanyakan siapa tamunya. Ternyata tamu Aluna berada di mobil depan kos. Mendadak ia takut, siapa tahu penculik? Tapi menculik Aluna juga buat apa?

“Selamat siang?” sapa Aluna sembari mengetuk kaca jendela pelan. Kaca mobil pun diturunkan, terdapat seorang perempuan paruh baya tersenyum sinis pada Aluna. “Maaf, Nyonya cari saya?” tanya Aluna, wanita itu hanya tersenyum. Tak berniat turun dan mengajaknya bertemu di café depan gang kos Aluna saja. Kaca mobil ditutup segera dan meluncur begitu saja. “Dih, siapa? Sombong amat,” ucap Aluna sewot. Tapi mengambil motornya untuk segera membuntuti mobil tersebut.

Aluna masih belum paham beliau siapa, apalagi beliau terlihat sangat angkuh begitu. Cara duduk dan memandang Aluna layaknya meremehkan sekali. “Duduklah!”

“Mau pesan apa?”

“Terimakasih, tidak perlu repot-repot!” ucap Aluna ikut bertingkah angkuh juga. Dirinya tidak akan tunduk pada orang yang angkuh seperti beliau, meskipun sudah tua. Aluna akan menghormati siapa pun asalkan sopan.

“Bagus juga gengsi kamu. Baiklah kalau begitu, saya mamanya Abimanyu. Kamu pasti kenal kan?” Aluna mengangguk saja. “Jauhi anak saya. Mungkin dia cinta sama kamu, tapi saya harap kamu bisa memutuskannya. Karena kamu tidak cocok menjadi pendamping Abi.”

Aluna melongo, lalu tersenyum sinis. “Maaf, kayaknya Nyonya salah Alamat deh. Saya bukan pacar Abi, dan kita hanya teman kelas saja. Tidak ada hubungan lebih.”

“Bisa sekali kamu bohongnya, jelas-jelas kemarin kamu mengajak anak saya jualan di CFD. Anak saya terlahir kaya, tak patut lah jualan di pinggir jalan seperti itu, jualan barang receh lagi.”

Waow, mama Abi ternyata sombong tingkat dewa, sangat berbeda dengan anaknya yang supel. Baru bertemu saja sudah main merendahkan, apa kabar kalau Aluna kemarin menerima cinta Abi. Bumi gonjang-ganjing dong ya. “Iya sih, Nyonya. Jualan saya memang receh dan Abi memang tidak cocok dekat dengan saya. Apa Nyonya sekalian mau menawarkan uang agar saya menjauhi anak Nyonya?” pancing Aluna, sekalian saja memainkan emosi lawan bicaranya. Sebagai calon psikolog tentu bisa membalikkan omongan lawan tanpa bisa diintimidasi. “Biasanya orang kaya begitu kan kalau mau menjauhkan anaknya dengan perempuan miskin?”

“Sudah kuduga, pasti kamu dekat dengan Abi mau uangnya saja. Kamu minta berapa?” tantang mama Abi dengan ketus. Aluna hanya tersenyum sinis saja.

“Kayaknya Abi belum terbuka siapa saya deh. Maaf, Nyonya. Saya diajarkan oleh orang tua saya untuk mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain, terutama soal uang. Meski Anda menganggap saya miskin, setidaknya saya sudah punya penghasilan sendiri. Merantau tanpa sokongan dana dari orang tua. Kemudian saya mau meluruskan juga keadaan sebenarnya, saya dan Abi hanya berteman. Namun Abi beberapa kali mengutarakan rasanya pada saya hanya saja saya tolak. Alasannya saya tidak sreg punya pasangan yang full pewaris, karena daya juang untuk hidup kurang, kedua saya tipe perempuan yang susah diatur selain donator. Coba tanyakan pada Abi apakah saya pernah menerima satu rupiah pun dari dia? Dan begitu Anda tahu jawabannya, Anda akan tahu siapa gadis yang ada dihadapan Anda sekarang! Maaf dan terimakasih, insyaAllah saya akan menjauhi Abimanyu.”

Aluna pamit dan pergi begitu saja, terserah pemikiran mama Abi. Dia mengendarai motor dengan menangis, bukan karena menyesal akan jauh dari Abimanyu, tetapi karena perlakuan wanita itu. Sebagai perempuan kok bisa-bisanya merendahkan perempuan lain, belum kenal lagi. Mana dikatain jualan receh lagi, bukankah dulu keluarganya bisa membangun kerajaan bisnis juga dimulai dari 0. Harusnya kalau kaya juga tidak boleh sesombong itu, masih banyak orang kaya di atas mereka. Aluna mengusap air matanya saat ia sampai di kos. Sudahlah, hari ini tak usah pegang aksesoris, malah buyar semua.

Aluna pun mengambil ransel, memasukkan laptop, dan juga dompet, serta mukenah. Sebaiknya ia pulang saja setelah paket diambil oleh kurir. Dia pun memberi pengumuman toko libur di marketplace, dan info di status WA.

Seller mau healing dulu ya. Orderan akan dikirim setelah hari rabu, sabar ya teman. Love you all🥰.

"Tumben libur?" chat masuk dari Abi, ah Aluna malas sekali membacanya. Mau diblokir tapi kok kekanak-kanakan, biarkan sajalah. Aluna pun chat pak kurir langganan, minta diambil sekarang kalau berada di sekitar kos Aluna.

Tepat pukul 3, Aluna sudah sampai terminal dan langsung duduk di barisan depan dekat sopir. Ia masih terngiang dengan ucapan menohok mama Abi. Segitunya melihat orang lain yang tak sepadan dengan keluarganya. Tak lupa Aluna mengirim pesan di grup keluarga minta jemput di terminal sekitar maghrib

Katanya gak pulang? Sang mama langsung mengomentari chat sang putri.

Suntuk, Ma. Anak kos banyak yang pulang, packing orderan juga sudah beres.

Are you okay? Ah papa chatnya kenapa begitu peka, Aluna mewek, tapi buru-buru ia alihkan ke jendela bis. Baru kali ini ia direndahkan dengan orang yang tak dikenal, nyesek aja.

Mbak, gue traktir es krim, tapi maksimal 50k. Gak lebih.

Dih pelit. Mama Arimbi mengomentari chat putra bungsunya.

Kita keluar bersama, merayakan ultah Mbak Aluna. Papa Sabda memberi ide dan membuat Aluna terharu.

Perjalanan kurang lebih 3 jam, membuat Aluna sempat tidur dalam perjalanan, ia baru bangun saat ponselnya bergetar, ternyata Bintang yang telepon.

"Hem?"

"Sampai mana?" Aluna pun menoleh, mencari patokan lokasi, kemudian menjawab pertanyaan sang adik. Kurang lebih 20 menitan sampai terminal, Bintang pun sudah stand by di depan pintu masuk bus, menunggu sang kakak.

"Tumben lo yang jemput?" tanya Aluna saat naik motor dibonceng sang adik. "Papa ke mana?"

"Papa ada zoom meeting. Meski sudah 40an masih laku ternyata," ledek Bintang, langsung saja Aluna main tonyor kepala belakang sang adik.

"Tua-tua semakin menjadi," balas Aluna membuat kakak adik itu tertawa, semoga saja sang papa tidak keselek, karena diomongin kedua anaknya.

Begitu sampai di rumah, mama Arimbi langsung memeluk sang putri, menggiringnya ke kamar mandi untuk segera cuci kaki, dan menyodorkan puding taro kesukaan sang putri. "Anak mama gak boleh cengeng, kudu strong."

"Heleh, mama sok tahu. Justru Mbak yang ditakuti sama orang."

"Diem napa, Bintang! Gak lihat kalau matanya merah," omel Arimbi.

"Coba lihat!" Bintang langsung memutar pundak sang kakak. Aluna melotot saja ketika dipandangi sang adik. "Ih upil lo gede banget!" ejek Bintang kurang ajar. Arimbi tertawa ngakak melihat keusilan putra bungsunya. Aluna langsung main tonyor jidat sang adik.

"Rasain!"