"aku...aku hamil Rayan !!" teriak frustasi seorang gadis
" bagaimana bisa laa" kaget pemuda di depannya.
Laluna putri 19 tahun gadis desa yatim piatu yang tinggal bersama neneknya sejak kecil.
Rayyan Aditya 22 tahun mahasiswa semester akhir anak orang berada asal kota.
Alvino Mahendra 30 tahun CEO perusahaan besar AM grup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rizkysonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33.
Ruang perawatan itu dingin, senyap, dan penuh ketegangan. di tempat tidur terbaring pasien dipenuhi selang, infus, dan suara mesin pemantau yang berdenyut perlahan, Luna masih terbaring tak bergerak, wajahnya pucat bagai kertas.
Di sisi lain, Rayyan, lelaki yang berjanji selalu menjaganya, kini justru terbaring dalam keadaan yang sama, antara hidup dan mati.
Keduanya hanya dipisahkan oleh tembok rumah sakit, tapi seakan ribuan kilometer jaraknya.
Bu Meri duduk di kursi, tubuhnya gemetar menahan tangis. Tangannya menggenggam tangan Rayyan, seolah ingin memindahkan kekuatan untuk nya. “Kalian berdua harus bangun… dengar, nak? Ada anak kalian yang sudah menanti, Jangan tinggalkan kami begini…” suaranya pecah di tengah sunyi.
Dokter masuk perlahan, membawa map hasil pemeriksaan terbaru. Wajahnya serius, sedikit berat ketika berbicara.
“Bu Meri, kondisi sodara Rayyan semakin lemah. Luka di bagian dalam tubuhnya parah. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi peralatan di sini terbatas. Satu-satunya harapan… hanya jika dia segera dibawa ke luar negeri untuk operasi lanjutan.”
“Lalu bagaimana dengan istrinya, Dok?” tanya Bu Meri lirih.
“ibu Luna stabil, tapi masih belum sadar, kita tidak punya waktu menunggu nya, sodara Rayyan harus segera di tindak.”
Kalimat itu membuat udara terasa berhenti. Antara memilih siapa yang harus ia dahulukan, anak laki-lakinya, atau menantu yang telah memberikan cucu untuk nya.
Novi yang berdiri di pojok ruangan menutup mulutnya, menahan isak. “Kalau Rayyan harus dibawa pergi, biar aku yang menjaga Luna dan bayi nya ma, mama sama papa temani saja Rayyan”
Bu Meri menatap keduanya, seolah minta petunjuk yang tak kunjung datang. “Aku… aku nggak bisa milih,” bisiknya. “Mereka suami istri… bagaimana aku bisa pisahkan mereka bahkan saat begini?”
Namun waktu tak memberi kesempatan lama. Dokter menunduk hormat. “Kita harus putuskan malam ini, Bu. Pesawat medis siap berangkat besok pagi.”
Bu Meri menatap wajah Rayyan yang diam tak bergerak, Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Ia mendekat ke sisi Rayyan, menggenggam tangan putranya erat.
“Rayyan, Nak… kalau kamu bisa dengar Ibu… kamu harus berjuang. Kami akan bawa kamu berobat, ya. Tapi janji, kamu harus sembuh. istri dan anakmu di sini menunggu kamu.”
Pak Robi datang juga Tomi, mereka baru pulang dari kantor,
" bagaimana mana keadaan Rayyan ma..?
" kata dokter dia harus di bawa keluar negeri...." Bu Meri menceritakan apa yang tadi dokter sampai kan
" benar kata novi ma, bawa aja Rayyan berobat ke sana, di sini biar kami yang handle, untuk urusan kantor biar aku sama ka Rendi yang urus, jadi papa bisa fokus pada kesembuhan Rayyan" kata Tomi
" baiklah, biar papa bicara dulu pada dokter "
" iya pa... Novi antar mama pulang dulu, sekalian kita lihat bayi Luna bentar.. Tomi kamu jagain Rayyan bentar" .
Suster bersiap memindahkan Rayyan.
Sementara dalam ruangan lainnya,
Luna menggenggam selimutnya erat. Mesin detak jantungnya naik sedikit, seolah jiwanya tahu seseorang yang selalu menggenggam tangannya akan dibawa jauh darinya.
Namun baik Luna maupun Rayyan tetap terdiam, terjebak di antara dua dunia.
Dua jiwa yang tak sadar, tapi masih saling mencari dalam diamnya napas masing-masing.
---
Sudah dua minggu sejak pesawat medis membawa Rayyan jauh meninggalkan negeri ini. Setiap malam, bi Ida selalu menjaga Luna dengan telaten, ia sudah menganggap Luna seperti anak nya sendiri. Sementara Novi dia tak pernah datang menjenguk Luna, ia sibuk menjaga bayi Luna di rumah dengan bantuan suster nya.
Bi Ida memandang Luna yang masih terbaring, tapi kali ini, matanya mulai bergerak di balik kelopak. Jari-jarinya sesekali menegang, lalu melemah lagi.
Suster yang memeriksa refleksnya sempat terkejut.
“Bu! Ada respons!”
bi ida segera berdiri dari kursinya. Langkahnya terburu-buru, hampir berlari mendekat ke sisi ranjang.
“Luna… nduk… kamu dengar bibi,?”
Kelopak mata itu akhirnya terbuka perlahan, redup, kebingungan, dan penuh tanda tanya. Air mata langsung mengalir dari mata bi Ida tanpa bisa ditahan. Ia memeluk Luna pelan, takut membuatnya sakit.
“Syukurlah… kamu bangun, nduk…” suaranya serak menahan tangis. Kemudian Luna kembali menutup mata nya.
" dokter bagaimana keadaan nya?
" pasien sudah stabil, kita biarkan dia istirahat sebentar ya.. Suster tolong pindahkan pasien keruang rawat ya"
" baik dok.."
" ibu bisa tunggu di sana nanti"
" baik dokter terimakasih banyak "
....
Setelah di pindahkan Luna kembali membuka matanya.
Luna berusaha bicara, tapi suaranya hampir tak terdengar. “baby.. Di mana baby aku bi?” sambil meraba perut nya
Pertanyaan itu membuat dada Bu Meri bergetar. Ia terdiam sejenak, mencari cara paling lembut untuk menjawab.
" bayi kamu selamat nduk dia laki-laki, seperti yang kamu harapkan"
" dimana dia bi? aku mau melihatnya "
" dia di rumah bersama non Novi.. Kamu tenang ya, kamu baru aja sadar"
"apa kak Rayyan sudah datang.."luna tidak mengingat berapa lama ia tidur, yang ia ingat hanya saat dirinya terjatuh dan perut nya sakit
“ den Rayyan… sedang berobat, nduk. Dia harus dirawat di luar negeri. Tapi dia berjuang, sama seperti kamu. Dia juga ingin cepat pulang.”
Air mata menetes dari sudut mata Luna. Ia menatap langit-langit, lalu menutup mata lagi. “dia.. Kenapa bi…”
"sesaat kamu jatuh kami langsung mengabari nya, dan dia langsung pulang, tapi mungkin karena terburu-buru dia kecelakaan dan terluka cukup parah" dengan suara bergetar bi Ida menjelaskan tentang Rayyan
" semua pasti gara-gara aku bi, aku teledor bi.. Aku gak bisa jaga diri, pasti kak Rayyan cemas waktu itu"
" ini bukan salah kamu nduk, ini musibah "
" aku mau ketemu sama kak Rayyan bi.."
Bu Meri menggenggam tangan Luna erat. “Kamu belum kuat, Nak. Kamu baru sadar. Tapi kalau kamu mau ketemu den Rayyan… kamu harus sembuh dulu. Supaya nanti waktu dia pulang, kamu bisa sambut dia dalam keadaan sehat.”
Luna hanya diam. Dalam hatinya, ia ingin berlari, ingin berada di sisi Rayyan meski hanya untuk memegang tangannya. Tapi tubuhnya lemah. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah berjuang, seperti yang selalu Rayyan ajarkan: jangan menyerah, bahkan saat tak ada jaminan esok akan sama.
Malamnya, Luna menatap foto pernikahan mereka yang kini berdiri di meja samping ranjang.
“kak Rayyan cepat sembuh, kita akan merawat anak kita kak.” bisiknya pelan.
Suster yang datang malam itu sempat melihat Luna menatap foto itu lama sekali, dan untuk pertama kalinya sejak kejadian… senyum kecil terukir di wajah Luna.
Bukan karena ia sudah tenang, tapi karena ia yakin, di suatu tempat jauh di sana, Rayyan pasti masih berjuang untuk sembuh.
.
.
.
Terimakasih untuk semua yang sudah ngikutin cerita nya Laluna 🤗
Tetap dukung author dengan like dan komen dan vote ya 🤗
Love
you
😍