Setelah terusir dari rumah dan nyaris menjadi korban kebejatan ayah tirinya, Lisa terpaksa hidup di jalanan, berjuang mati-matian demi bertahan.
Ketika kehormatannya terancam, takdir mempertemukannya dengan Javier Maxim, CEO muda nan arogan, yang muncul sebagai penyelamat tak terduga.
Namun, kebaikan Javier tak datang cuma-cuma. "Tuan bisa menjadikan saya pelayan Anda," tawar Lisa putus asa.
Javier hanya menyeringai, "Pelayanku sudah banyak. Aku hanya memerlukan istri, tapi jangan berharap cinta dariku."
Dan begitulah, sebuah pernikahan kontrak pun dimulai. Sebuah ikatan tanpa cinta, yang hanya berfungsi sebagai kunci bagi Javier untuk mengklaim warisannya. Namun, seiring waktu, pesona dan kecantikan Lisa perlahan menyentuh hati sang CEO.
Seiring kebersamaan mereka, sebuah rahasia besar terkuak: Lisa bukanlah wanita sembarangan, melainkan pewaris tersembunyi dari keluarga yang tak kalah terpandang.
Mampukah cinta sejati bersemi di tengah perjanjian tanpa hati ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Baru yang Asing
Setelah perkenalan singkat yang terasa begitu lama di ballroom, Javier membawa Lisa kembali ke penthouse miliknya. Bukan ke kamar utama yang megah, melainkan ke sebuah kamar tamu yang terletak di sisi berlawanan dari suite utamanya. Ruangan itu memang mewah dan lengkap, dengan tempat tidur berukuran king, kamar mandi pribadi, dan pemandangan kota yang sama menakjubkan, namun terasa dingin dan hampa.
"Kau bisa tidur di sini," kata Javier, suaranya kembali datar seperti saat ia pertama kali menemukan Lisa. Ia tidak menatap Lisa, malah sibuk melonggarkan dasinya. "Pakaian tidur dan perlengkapan lain sudah disiapkan di lemari."
Lisa hanya mengangguk pelan, jantungnya masih berdebar akibat kecemasan seharian. Ia memperhatikan Javier melepas jasnya, melipatnya dengan rapi, lalu meletakkannya di sofa. Tidak ada kontak mata, tidak ada kata-kata basa-basi. Jarak di antara mereka terasa begitu nyata, sebuah jurang tak terlihat yang memisahkan mereka.
"Jika ada yang kau butuhkan, panggil saja Bastian," lanjut Javier, suaranya sedikit lebih lembut, namun tetap tanpa emosi. "Dia akan mengurusnya."
Tanpa menunggu balasan, Javier berbalik dan berjalan menuju pintu. Sebelum ia keluar, ia sempat berhenti sebentar, menoleh ke arah Lisa yang masih berdiri kaku di tengah ruangan. Tatapannya sesaat melunak, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun buru-buru ia menepisnya. Kilatan itu hilang secepat kilat.
"Selamat malam, Nyonya Maxim," ucapnya dingin, lalu keluar dan menutup pintu, meninggalkan Lisa sendirian dalam keheningan yang menyesakkan.
Lisa menghela napas panjang. Ia berjalan perlahan ke arah jendela besar, menatap gemerlap lampu Jakarta yang membentang luas di bawahnya. Pantulan dirinya di kaca tampak rapuh dalam balutan gaun pengantinnya. Gaun putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan dan awal yang baru, kini terasa seperti belenggu, mengikatnya dalam sebuah peran yang tidak pernah ia inginkan.
Ia membuka lemari, menemukan piyama satin yang lembut dan beberapa pakaian santai lainnya. Setelah mengganti gaunnya, Lisa duduk di tepi tempat tidur, merasakan kelembutan seprai sutra di bawah jemarinya. Ironis, pikirnya. Ia kini hidup dalam kemewahan yang tak pernah ia bayangkan, namun hatinya terasa lebih miskin dari sebelumnya.
Malam ini adalah malam pertamanya sebagai "Nyonya Maxim", sebuah gelar yang terasa asing dan berat. Ia hanyalah boneka, dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, dihias, diinstruksikan, dan dimainkan sesuai kehendak orang lain. Tidak ada kebebasan, tidak ada pilihan. Ia menikah, namun tanpa cinta, tanpa ikatan emosional. Sebuah pernikahan kosong yang hanya bertujuan untuk memenuhi ambisi Javier.
Lisa memejamkan mata, mencoba mengusir air mata yang mendesak keluar. Ia tahu ia harus kuat. Ia telah bertahan hidup di jalanan, ini seharusnya tidak lebih sulit. Namun, rasa sepi dan kehilangan identitasnya sendiri terasa begitu menyesakkan. Ia merindukan kebebasan, bahkan jika itu berarti harus kelaparan. Setidaknya saat itu, ia adalah dirinya sendiri.
Malam itu, di kamar terpisah, dengan dinding tebal memisahkan mereka, Lisa dan Javier sama-sama terdiam. Javier mungkin sibuk dengan pemikirannya tentang warisan dan strategi, sementara Lisa hanya bisa merenung tentang nasibnya, berharap ia bisa menemukan kembali dirinya di tengah pusaran takdir yang begitu cepat ini. Akankah ia selamanya menjadi pion dalam permainan Javier?
☘️☘️
Pagi datang terlalu cepat bagi Lisa. Matahari sudah menyelinap masuk melalui celah gorden tebal, menerangi kamar mewah itu dengan cahaya keemasan.
Ia membuka mata, merasakan kelembutan seprai sutra di bawahnya, dan untuk sesaat, melupakan semua beban yang menimpanya.
Namun, ingatan tentang Javier, kontrak, dan takdir barunya segera menyerbu, menghempaskan kembali kenyataan pahit.
Ia bangkit dari ranjang, merasakan tubuhnya yang jauh lebih segar setelah mandi dan tidur yang cukup.
Sebuah blus putih sederhana dengan potongan elegan dan celana panjang berwarna krem. Lisa memakainya, dan merasa canggung.
Pakaian ini terasa begitu berbeda dari baju-baju kumal yang biasa ia kenakan. Rasanya seperti bukan dirinya.
Setelah berpakaian, Lisa berjalan ke ruang utama penthouse. Aroma masakan tercium samar, dan ia melihat Bastian sedang menata sarapan di meja makan. Telur orak-arik, sosis, roti panggang, dan jus jeruk segar tersaji rapi di sana.
Sebuah hidangan yang sangat mewah baginya. Lisa merasa kikuk, tidak tahu harus berbuat apa. Ia terbiasa mengais makanan dari tempat sampah, atau paling banter, makan seadanya dari warung pinggir jalan.
"Selamat pagi, Nona," sapa Bastian ramah, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Silakan sarapan."
Lisa duduk di salah satu kursi, ragu-ragu. "Terima kasih, Pak Bastian."
Ia mengambil sepotong roti panggang dan mengolesinya dengan selai. Rasanya enak, sangat enak. Setiap suapannya terasa seperti keajaiban. Ia makan perlahan, menikmati setiap gigitan, takut kalau ini hanya mimpi yang akan segera berakhir. Bastian sendiri hanya berdiri di dekat meja, sesekali melirik Lisa dengan tatapan iba.
Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka, dan Javier Maxim muncul. Pria itu sudah rapi dengan setelan jas hitam yang membalut tubuh atletisnya. Rambutnya tersisir sempurna, dan aura dominan terpancar kuat darinya. Ia tampak jauh lebih mengintimidasi di siang hari.
"Sudah selesai sarapan?" tanya Javier, suaranya datar dan tanpa emosi. Ia tidak duduk, hanya berdiri bersandar di kusen pintu ruang makan.
Lisa hampir tersedak rotinya. "Sudah, Tuan," jawabnya, sedikit gugup.
Javier mengangguk. "Bagus." Ia kemudian melirik Bastian. "Bastian, berikan dia kartu itu."
Bastian mengangguk, lalu mengambil sebuah amplop kecil dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada Lisa.
"Ini adalah kartu kredit," jelas Javier, tanpa menatap Lisa. "Kau bisa menggunakannya untuk membeli apa pun yang kau butuhkan. Pakaian, kebutuhan pribadi, apa pun. Tapi ingat, jangan berlebihan. Aku akan mengecek setiap transaksi."
Lisa memegang kartu itu, terasa dingin di tangannya. Sebuah kartu kredit. Ia bahkan tidak tahu cara menggunakannya. Sepanjang hidupnya, uang tunai pun sulit ia dapatkan, apalagi kartu semewah ini.
"Kau akan tinggal di sini," lanjut Javier, suaranya memecah keheningan. "Penthouse ini adalah tempat tinggal kita. Bastian akan memberitahumu tentang aturan-aturan dasar yang harus kau patuhi."
Aturan dasar? Lisa menatap Javier, mencoba membaca ekspresinya, namun wajah pria itu tetap tanpa emosi.
"Pertama," Javier melanjutkan, "Jangan pernah keluar dari sini pergi tanpa seizinku atau seizin Bastian. Kedua, jangan pernah mengundang orang lain ke sini tanpa persetujuan jelas dariku. Ketiga, kau tidak diizinkan untuk menghubungi siapa pun dari masa lalumu."
Lisa terkesiap. "Termasuk ibuku?" tanyanya, suaranya bergetar.
Javier menatapnya tajam. "Termasuk siapa pun. Masa lalumu sudah berakhir. Kau adalah istriku sekarang, dan kau harus memutuskan semua ikatan dengan kehidupan lamamu. Ini demi kebaikanmu juga."
Mata Lisa berkaca-kaca. Memutuskan semua ikatan? Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa secuil pun sisa dari masa lalunya, meskipun masa lalunya itu menyakitkan.
"Keempat," Javier melanjutkan, tidak mengindahkan reaksi Lisa, "kau harus menjaga nama baikku. Tidak ada skandal, tidak ada perilaku memalukan. Kau adalah bagian dari nama besar Maxim sekarang."
Lisa hanya bisa menunduk, mengangguk pasrah. Ia merasa seperti boneka yang sedang diprogram.
"Untuk saat ini," Javier mengakhiri, "Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan di dalam penthouse ini. Ada televisi, buku, dan koneksi internet. Jika kau bosan, Bastian akan mencarikan kegiatan yang bisa kau lakukan."
Setelah mengatakan itu, Javier berbalik dan berjalan menuju lift. "Bastian, aku pergi," katanya sebelum pintu lift tertutup.
Sepeninggal Javier, suasana kembali hening. Lisa masih memegang kartu kredit itu, merasakan beban yang lebih berat daripada nilai uang di dalamnya.
"Mari Nona, saya akan menunjukkan bagian-bagian lain dari apartemen ini," Bastian mendekat, suaranya lembut. "Dan menjelaskan beberapa hal lagi."
Bastian membimbing Lisa mengelilingi penthouse. Ada dapur yang luas dan modern, dilengkapi dengan peralatan canggih yang belum pernah Lisa lihat. Ada ruang kerja dengan rak buku penuh dan komputer berteknologi tinggi. Ada pula sebuah gym pribadi dengan berbagai alat olahraga.
"Nona bisa menggunakan semua fasilitas ini," jelas Bastian. "Ada koki pribadi yang akan menyiapkan makanan sesuai permintaan Nona. Atau, jika Nona ingin memasak sendiri, bahan-bahan akan disediakan."
Lisa merasa canggung. Ia tidak pernah bermimpi memiliki semua ini. Ini seperti hidup di dalam majalah mewah, tapi ia tidak merasa bahagia. Semua kemewahan ini terasa kosong, hampa tanpa kebebasan dan kasih sayang.
"Untuk pakaian, Nona bisa memilih sendiri di butik yang saya tunjukkan nanti," lanjut Bastian. "Kebutuhan pribadi lainnya juga bisa dibeli. Jika Nona membutuhkan sesuatu, cukup beritahu saya."
Setelah tur singkat, Bastian kembali ke ruang tamu. "Nona bisa bersantai sekarang," katanya.
"Jika Nona ingin belajar sesuatu, ada banyak buku di sini. Atau, Nona bisa menonton film."
Lisa hanya mengangguk. Ia duduk di sofa, memandang keluar jendela. Dunia baru ini memang menawarkan kenyamanan fisik yang luar biasa, namun ia merasa terasing. Ia seperti burung yang dikurung dalam sangkar emas. Semua kebutuhan terpenuhi, namun ia tidak bisa terbang bebas.
Ia mencoba menyalakan televisi, lalu mematikan lagi. Ia mencoba membaca buku, tapi pikirannya terlalu kalut untuk fokus. Kenangan masa lalu terus menghantui, bercampur dengan ketidakpastian masa depan.
Lisa menyadari bahwa meskipun ia telah diselamatkan dari kehidupan jalanan yang keras, ia kini terjebak dalam sangkar lain, yang meskipun terbuat dari emas, tetaplah sebuah sangkar. Ia tidak tahu berapa lama ia bisa bertahan dalam situasi ini, di mana ia adalah seorang "istri" tanpa cinta, tanpa kebebasan sejati, dan tanpa seorang pun yang bisa ia percaya sepenuhnya.
Apakah kehidupan ini lebih baik? Ia tidak lagi kelaparan, tidak lagi kedinginan, dan tidak lagi diusir. Tapi, ia kehilangan jiwanya. Ia adalah seorang istri, tetapi tanpa identitas. Ia adalah bagian dari sebuah nama besar, tetapi tanpa eksistensi diri.
Lisa hanya bisa berharap, dalam dua tahun ke depan, ia akan menemukan cara untuk mendapatkan kembali dirinya, meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...