Laras Sagita, gadis kampung yang polos, lucu, dan blak-blakan, merantau ke kota untuk mengubah nasib. Di hari pertamanya melamar kerja sebagai sekretaris, ia tanpa sengaja menabrak mobil mewah milik seorang pria tampan yang ternyata adalah calon bosnya sendiri, Revan Dirgantara, CEO muda yang perfeksionis, dingin, dan sangat anti pada hal-hal "tidak teratur"—alias semua yang ada pada diri Laras.
Tak disangka, Revan justru menerima Laras bekerja—entah karena penasaran, gemas, atau stres akibat energi gadis itu. Seiring waktu, kekacauan demi kekacauan yang dibawa Laras membuat hari-hari Revan jungkir balik, dari kisah klien penting yang batal karena ulah Laras, hingga makan siang kantor yang berubah jadi ajang arisan gosip.
Namun di balik tawa, perlahan ada ketertarikan yang tumbuh. Laras yang sederhana dan jujur mulai membuka sisi lembut Revan yang selama ini terkunci rapat karena masa lalu kelamnya. Tapi tentu saja, cinta mereka tak mudah—dari mantan yang posesif,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Klarifikasi, Cemburu, dan Kejujuran yang Melepas Topeng
Malam Hari di Grup Kantor
Arga: “GUYSSSS BARUSAN GUE LIAT LARAS DAN BOS DI TAMAN KOTA!!”
Nina (admin keuangan): “WKWK KANTOR KITA JADI ROMCOM LIVE!”
Dinda (stalker mode): “Kalian ini suka lebay. Bos mungkin cuma baik sebagai atasan.”
Arga: “Oke Din... terus lo kirain bunga tadi pagi buat siapa? Kantor?”
Esoknya: Awal Drama
Senin pagi. Laras baru datang, tiba-tiba emailnya bermasalah. Semua akses ke dokumen penting diblokir.
Arga panik. “Lo diapain? Lo resign? Bos marah?”
Laras kebingungan. “Nggak tahu. Aku bahkan belum ngapa-ngapain.”
Lalu muncullah email dari divisi HR.
Subjek: Panggilan Klarifikasi Terkait Kedekatan Personal di Lingkungan Kantor
Arga melongo. “Gila. Ini... ada yang main kotor.”
Laras menelan ludah. “Dan aku tahu siapa pelakunya.”
Pagi itu terasa dingin di tubuh Laras, walau matahari terang benderang. Tangannya gemetar saat membuka pintu ruang HR. Di dalam, Dinda duduk dengan ekspresi terlalu datar untuk ukuran manusia.
"Silakan duduk, Laras," ujar Dinda datar, sambil mengetik entah apa di laptopnya.
"Ini... tentang hubungan saya dengan Pak Revan?" Laras membuka suara duluan. Suaranya tenang, meski jantungnya berdebar seperti genderang perang.
Dinda menatap tajam. "Bukan urusan saya pribadi, Laras. Tapi sudah banyak laporan dari staf lain tentang sikap tidak profesional. Mereka merasa terganggu dengan kedekatan kamu dan atasan."
Laras mengepalkan tangan. "Kami tidak melanggar aturan apa pun. Saya tetap bekerja sesuai porsi saya. Kalau perhatian Pak Revan membuat orang lain tidak nyaman, mungkin mereka yang harus refleksi, bukan saya."
Dinda tersenyum tipis. "Jawaban bagus. Tapi kamu tetap akan dipantau lebih lanjut. Kamu boleh kembali ke meja kerja."
Saat Laras berdiri, Dinda menambahkan dengan nada pelan, "Oh iya, hati-hati. Kadang yang tampak baik, bisa berubah sangat cepat kalau merasa terancam."
Laras berjalan keluar. Tapi satu hal pasti—dia tak akan mundur. Bukan sekarang.
Di Ruang Revan
Revan membaca laporan HR dengan rahang mengeras. Begitu Laras mengetuk dan masuk, dia langsung berdiri.
"Apa mereka menyudutkan kamu?"
Laras mengangguk. "Tapi saya baik-baik saja. Saya tidak akan kabur hanya karena beberapa orang tak suka melihat saya bahagia."
Revan berjalan mendekat, suaranya merendah. “Saya minta maaf. Seharusnya saya lebih menjaga kamu dari gosip kantor. Tapi mulai sekarang... saya tidak akan diam.”
Sore Hari: Kejutan Kecil
Sore itu kantor heboh lagi. Laras, yang duduk serius di meja, dikagetkan dengan kiriman pizza dan milk tea favoritnya. Di kotaknya tertulis:
> “Terima kasih karena tidak menyerah. –R”
Arga melompat kegirangan. “BOS INI UDAH LEVEL DRAKOR NIH!”
Laras menahan senyum, sementara sekitar mereka makin banyak yang memperhatikan. Tapi kali ini, Laras tak peduli.
“Biarlah. Kalau memang harus jadi bintang utama dalam gosip, aku pastikan ceritanya menarik,” gumamnya.
Di rumah kosannya, Laras makan malam sembari video call dengan keluarganya seperti biasa.
“Mbak, kamu tuh viral ya di kantor?” tanya sang adik.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Laras
“Ibu nonton TikTok, terus ada suara orang bilang, "Bosan jadi staf biasa, pengen jadi pacar bos." Mukanya mirip banget sama Mbak. Terus bawahnya ada komen: ‘Hidup Laras!’ jawab sang adik
Ibu tertawa. “Sudahlah, kalau memang suka, kenapa harus takut? Tapi ingat, jangan sampai kariermu jadi taruhannya.”
Laras mengangguk paham : “Tenang, Bu. Aku tahu mana yang pantas diperjuangkan.”
Minggu pagi, Revan mengajak Laras ke pameran buku. Pakaian Revan kali ini jauh dari kesan CEO—hanya kaus biru tua dan celana jeans. Tapi tetap, aura ‘bossy’ tak bisa hilang dari dirinya.
“Kamu suka buku genre apa?” tanya Revan.
“Fantasi dan komedi romantis. Yang kalau dibaca bikin senyum-senyum sendiri.” jawab Laras
“Mirip seperti kamu, ya.” ujar Revan
Laras menoleh tajam. “Itu gombal?”
Revan tersenyum tipis. “Itu jujur.”
Mereka menghabiskan waktu membaca, saling merekomendasikan buku, lalu makan ramen di kedai kecil. Di sana, Laras melihat sisi Revan yang jauh berbeda: ringan, hangat, dan... suka minta es teh manis dua kali.
Kembali ke Kantor: Mulut-Mulut Tajam dan Surat Baru
Senin datang, dan gosip makin liar. Kali ini muncul meme di grup internal kantor. Isinya gambar animasi pria CEO membawa perempuan di pangkuan, lengkap dengan tulisan:
“Kalau mau naik ranjang atasan jangan lupa bawa bunga.”
Laras gemetar saat melihat itu. Arga langsung bangkit dari mejanya.
“Ini keterlaluan. Harus ada yang lapor ke bos.” ujar Arga kesal
Laras menahan. “Biar aku sendiri yang bicara.”
Ruang Rapat Tertutup: Revan & Dinda
Revan memanggil Dinda ke ruang rapat.
“Kamu yang sebar meme itu?” Tanya Revan dingin
Dinda masih mencoba tersenyum. “Saya tidak tahu, Pak.”
“Jangan anggap saya bodoh, Dinda. Saya punya akses server internal.” jawab Revan marah
Dinda menelan ludah. “Saya... hanya ingin menjaga reputasi perusahaan.”
“Kalau begitu kamu akan dimutasi ke cabang lain mulai bulan depan. Reputasi perusahaan akan lebih aman tanpa orang yang memulai fitnah.” jawab Revan dan tidak bisa di ganggu gugat
Dinda yang mendengar itu sangat shock dan menyalakan Laras.
Sore Hari
Revan mendekati Laras. “Sudah saya selesaikan. Mulai besok, kamu kerja lebih tenang"
Laras melongo.
“Dan juga artinya kamu akan lebih sering lihat saya minum kopi lima kali sehari.” ujar Revan
Laras tertawa. “Deal. Tapi dengan syarat, jangan pakai dasi terus. Bos-bos kayak kamu kadang terlalu serius.”
Revan tersenyum. “Baiklah. Untukmu, bisa.”
bersambung
🌹🌹🌹🌹🌹