Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Dia Bisa Menerima?
Selama masa libur miyang, Weko mengantarkan Inaya ke tempat bus ngetem saat pulang bekerja. Inaya tidak lagi bisa menolak karena Weko sangat persisten.
“Pacar kamu sudah datang itu, Na!” kata Amelia, admin yang menggantikan Nuri.
“Bukan pacar.”
“Sekarang bukan, tahu-tahu nanti jadi suami!”
“Bisa saja kamu!”
Inaya mematikan komputernya dan membereskan mejanya. Setelah berpamitan dengan rekan-rekannya, Inaya menemui Weko yang sudah menunggunya.
Weko memberikan helm untuk Inaya dan mengatakan kalau dirinya belum makan dan berencana mengajaknya untuk makan sebelum pulang.
“Aku masih kenyang, Mas.”
“Ya sudah. Aku antar sekarang, nanti aku makan sendiri saja.” Inaya mengangguk.
Setelah mengantarkan Inaya, Weko tidak makan melainkan bertemu dengan teman-temannya yang sedang berkumpul di sebuah kafe.
“Bagaimana? Sudah berhasil belum?” tanya salah satu Weko yang tahu dirinya sedang mendekati Inaya.
“Belum. Dia masih waspada denganku.”
“Mungkin karena wajahmu yang menyeramkan!”
“Apa aku terlihat menyeramkan?”
“Tidak sih! Lebih mirip preman.” Weko memperhatikan wajahnya di kaca.
Alis yang menyatu dan tebal, mata tajam dan tubuh yang kekar, dan kulit gelap, memang membuatnya mirip seperti preman. Apa karena ini Inaya masih menjaga jarak dengannya?
“Sudalah! Kalau tidak berhasil, kamu bisa mencari yang lain! Besok ikut aku nongkrong di warung dekat SMAGA. Banyak yang bening di sana.”
“Iya! Hitung-hitung cuci mata. Siapa tahu ada yang mau sama kita yang jomblo tua ini!” semua orang tertawa.
Mereka adalah orang-orang miyang yang jarang dekat dengan Perempuan karena jika ada Perempuan yang dekat, mereka akan mundur setelah tahu profesi mereka.
“Memangnya orang miyang itu buruk, ya?” tanya Riki yang paling kecil di antara mereka.
“Bukan buruk, hanya saja pekerjaan kita yang kebanyakan dilaut itu yang membuat para Perempuan berpikir.”
“Bukankah hanya 20 hari?”
“Kapal kami iya, tapi kalau seperti suami Sintya bisa sebulanan. Siapa yang mau ditinggal lama seperti itu. Kalaupun mau, sudah pasti mereka akan selingkuh seperti kasus Rangga dan istrinya.”
“Tapi kalau tetangga sendiri, bagaimana?”
“Tetangga?” semua orang melihat ke arah Riki, termasuk Weko.
“Boleh juga kamu, Rik!” semua orang memberikan selamat kepada Riki.
Kebanyakan dari mereka malas memiliki hubungan dengan tetangga sendiri karena sudah banyak kasus, hubungan rumah tangga hancur karena campur tangan pihak keluarga. Dan masalah tidak kunjung selesai karena rasa sungkan dengan tetangga dan orang-orang terdekat.
Keesokan harinya. Weko yang masih bermalas-malasan dikamarnya, dipaksa mandi dan bersiap oleh Giga yang bertekad membawanya melihat anak SMAGA hari ini. Dengan terpaksa Weko mengikuti Giga sampai di warung yang ada di dekat SMAGA.
Saat mereka sampai, anak-anak SMAGA sedang ada penilaian olahraga lari 3 km. Sehingga beberapa kelas yang mengikuti penilaian, berkumpul di depan gerbang. Lari 3 km yang dilakukan akan dilakukan dengan memutari Gedung sekolah melewati gang yang ada di kanan, kiri dan belakang sekolah.
“Lihat itu! Bukankah mereka terlihat bening-bening?” tanya Giga dengan bersemangat.
“Biasa saja.” Jawab Weko dengan nada malas.
“Kamu bahkan tidak melihat anak Perempuan yang sedang salah tingkah disana!” kesal Giga.
“Inaya memang terlihat bening, apalagi berhijab menambah aura adem kalau melihatnya. Tetapi tidak ada salahnya juga untuk melihat Perempuan lain yang tidak berhijab. Auranya manja dan feminim.” Kata Doni.
“Benar itu!” setuju teman-teman Weko yang lain.
Weko tidak berkomentar. Baginya Inaya adalah satu-satunya Perempuan yang bisa membuatnya tertarik. Perempuan lain belum ada yang bisa membuatnya tertarik. Jika ada, mungkin ia sudah berpacaran sebelum mengenal Inaya.
Setelah mengikuti teman-temannya beberapa saat, Weko memutuskan untuk pulang karena ia merea jenuh. Teman-temannya tidak ada yang menghentikannya karena tahu Weko tidak seperti mereka yang suka cuci mata.
Sampai di rumah, Weko sudah ditunggu oleh sang ibu, Mida.
“Apa benar kamu menyukai Inaya?” tanya Mida.
“Iya, Bu.”
“Ibu juga suka dengan Inaya. Anaknya sopan dan baik. Tapi apa dia mau menerima keluarga kita?”
“Maksud, Ibu?”
“Pekerjaan kamu miyang dan kamu adalah tulang punggung keluarga ini. Apakah dia mau berbagi dengan Ibu dan adik-adik kamu nanti?”
“Kenapa Ibu khawatirkan itu?”
“Tentu saja ibu khawatir! Ayah kamu cedera dan tidak lagi bisa bekerja, kami mengandalkan kamu untuk kelangsungan hidup dan sekolah adik-adik kamu.”
“Tenang saja, Bu! Uang yang aku hasilkan itu tidak sedikit, jadi aku masih bisa mengimbanginya.”
“Kamu bisa, tapi apa Inaya bisa?” Weko tidak mau berdebat dengan sang ibu.
Ia pergi meninggalkan Mida tanpa menjawab pertanyaannya. Ini juga merupakan salah satu alasan mengapa Weko masih sendiri di umurnya yang sudah hampir kepala 3.
Weko yang pergi tanpa arah, berakhir di warung yang ada di depan koperasi tempat Inaya bekerja. Ia duduk dan memperhatikan koperasi yang sepi. Kemungkinan, Inaya sedang sibuk memasukkan data saat ini.
Sampai jam makan siang, Weko masih tidak melihat Inaya keluar atau pengantar makanan datang. Ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Inaya hari ini izin, Mas. Katanya ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan.” Jawab Amelia.
“Terima kasih.”
“Sama-sama, Mas.”
Weko terlihat lesu meninggalkan koperasi tempat kerja Inaya. Ia tidak tahu harus apa saat ini.
Di sisi lain.
“Apa masalahnya sampai tidak bisa diselesaikan, sampai mengembalikannya kemari? Apa Ibunya tahu?” tanya Inaya menekan kemarahannya.
“Kalau aku bisa mengatasinya, aku tidak mungkin menyerah! Aku sudah tidak bisa lagi mendidiknya!” jawab Rodi, ipar dari kakak pertama Inaya.
“Ibunya tidak tahu karena sudah beberapa bulan ini tidak bisa dihubungi.” Imbuhnya.
“Ya, sudah. Biarkan dia di sini.” Kata Ranti yang sudah tidak bisa menahan air matanya.
“Terima kasih, Mak. Saya pamit.” Rodi pergi begitu saja, padahal Inaya masih memiliki banyak pertanyaan.
“Kenapa Ibu menerimanya begitu saja?” tanya Inaya saat mereka hanya berdua di kamar.
“Lalu ibu harus bagaimana? Yanti juga cucu Ibu.”
“Aku masih tidak terima dengan masalah terakhir kali, Bu. Sekarang datang lagi, hinaan seperti apa lagi yang akan kita terima?” Ranti hanya diam.
“Siapa tahu kali ini berbeda.”
“Berbeda apanya? Apa ibu tidak ingat kalau Awan harus tinggal di panti asuhan karena ayahnya tidak mau mengurusnya? Bagaimana tanggapan ibunya waktu itu? “Biarkan saja! Awan susah diatur!” Apa kita mau mengulangnya lagi, Bu?”
“Setidaknya Yanti ikut kita, dia bisa kita rawat dengan baik.”
“Benar, kita bisa merawatnya. Tetapi bagaimana tanggung jawab mereka sebagai orang tua, Bu? Aku tidak mau usaha ibu disia-siakan!”
“Tidak apa. Yang penting anak itu tidak terlantar.” Kata Ranti yang kembali menitikkan air mata.
Inaya menghela nafas frustasi dan meninggalkan kamar Ranti. Bukan dirinya tidak mau, ia sudah terlalu hafal dengan sifat kakak pertamanya. Semua tanggung jawab akan dilimpahkan kepada sang ibu dan sang kakak tidak akan mau tahu dengan apa yang terjadi dengan anaknya.
Apakah ada jaminan, jika anak itu Inaya didik menjadi anak yang berbakti tidak akan menyakiti sang ibu nanti?
.
.
.
.
.
Maaf lagi.. hanya bisa up 1 bab.. author sedang dalam masa mendekati tamu bulanan.. Maaf kalau besok tidak bisa up 🙏🏻