Medeline Arcela Forza, dijual oleh Kakak tirinya di sebuah tempat judi. Karena hal itu pula, semesta kembali mempertemukannya dengan Javier Antonie Gladwin.
Javier langsung mengenali Elin saat pertemuan mereka yang tak disengaja, tapi Elin tidak mengingat bahwa dia pernah mengenal Javier sebelumnya.
Hidup Elin berubah, termasuk perasaannya pada Javier yang telah membebaskannya dari tempat perjudian.
Elin sadar bahwa lambat laun dia mulai menyukai Javier, tapi Javier tidak mau perasaan Elin berlarut-larut kepadanya meski kebersamaan mereka adalah suatu hal yang sengaja diciptakan oleh Javier, karena bagi Javier, Elin hanya sebatas teman tidurnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Di lelang
"5 juta."
"11 juta."
"Aku akan bayar 15 juta untuknya."
"20 juta. Bagaimana?"
Nominal uang terus disebutkan bergantian oleh mulut-mulut ke enam pria yang berada di satu meja itu.
Ya, mereka benar-benar mau menjadikanku seperti barang lelang yang akan didapatkan oleh penawar yang mampu memberi harga tertinggi.
"Apa ini akan berhenti di 20 juta?" tanya salah satu dari mereka.
Tanpa bisa ku tahan, airmataku jatuh begitu saja namun buru-buru aku mengusapnya.
"Hei, Medeline. Apa kau masih perawan? Jika ya, aku akan memberi harga lebih tinggi lagi daripada 20 juta yang diajukan Tuan Donald." Tuan Joan mendongak padaku--yang kini terpaksa berdiri disisinya.
Aku tak mampu menjawab, karena pertanyaan Tuan Joan justru semakin membuat dadaku sesak, harga diriku terasa diinjak-injak. Aku kembali menangis.
"Kenapa menangis, Sayang? Oke, aku artikan jika kau masih tersegel," sambung Tuan Joan menyimpulkan sendiri, disusul dengan suara tawa dari mereka semua.
"Aku bayar 35 juta. Tapi dia akan menemaniku sampai di kamar," ucap Tuan Joan terdengar yakin.
Mereka kembali tertawa, seolah pembicaraan mereka yang sedang menawarku adalah sebuah lelucon konyol yang patut ditertawakan, sedang didalam dada ini terasa bergemuruh hebat ingin sekali mencaci dan mengumpat mereka semua.
"Tidak, Tuan!" Entah keberanian darimana, akhirnya aku mampu bersuara. "Aku tidak menjual diriku. Aku hanya bekerja disini," ujarku dengan suara serak karena tangisku belum benar-benar mereda.
Tuan Donald menatapku remeh, seringainya tampak mengejek.
"Justru itu, kau bekerja disini dengan catatan harus membuat kita semua happy," katanya dengan senyuman paling menjijikkan.
Aku menggeleng keras-keras. "No! Aku tidak menjajakan diriku," ucapku dengan suara tercekat.
Mereka malah semakin tergelak sekarang, seakan menertawakan kepolosanku.
Sadar jika aku dibuat seperti mainan dan bahan lelucon oleh mereka, bahkan harga diriku dijadikan bahan percandaan, aku pun ingin segera angkat kaki dari sana.
"Kau mau pergi? Tidak bisa! Kami sudah membayar mahal untuk kau temani disini malam ini. Jadi, jikapun kau belum berminat menemani sampai tahap plus-plus, kau harus tetap bertahan disini dan temani kami berjudi!"
"Ya, itu benar!"
"That's right!"
Mereka saling menimpali satu sama lain. Membuatku tersudut. Mengurungkan ku untuk segera berderap pergi.
"Padahal, kalau kau mau ... kau bisa mendapatkan uang yang banyak dalam beberapa hari saja. Aku bersedia membayar mahal untuk menjadi orang pertama yang membuka segelmu." Tuan Joan menangkup daguku dengan satu tangannya, dia menatapku dengan tatapan sarat akan ga irah, aku sempat menghindar, tapi yang ada daguku semakin dicengkeram dengan kuat.
"Kau cantik, dan muda ... aku tidak merugi jika memakaimu sampai aku merasa bosan," kata Tuan Joan lagi sembari menyentakkan wajahku saat dia melepaskan tangannya dari daguku.
Mereka tertawa kembali, sampai seorang pelayan datang untuk menambah minuman di meja mereka.
"Ayo, tuangkan minumanku, Medeline!" titah salah satu pria kurus yang aku tidak tau siapa namanya.
Dengan tangan gemetar, aku berusaha menuangkan minuman itu ke dalam gelas disisinya.
"Jadi, dia sudah menjadi milikku. Aku membayar untuk pelelangannya sebesar 23 juta." Tuan Joan kembali berbicara seraya mengeluarkan semacam note yang ternyata itu adalah sebuah buku cek. Dengan santainya pria itu menuliskan jumlah nominal diatas kertas itu, lalu melemparnya ke tengah-tengah meja karena dialah yang memenangkan pelelangan itu.
Aku kembali menitikkan airmata. Harga diriku sudah terbang entah kemana. Apakah aku harus berubah menjadi wanita yang bukan diriku? Apa sekarang aku bukan lagi Elin yang dulu? Setelah ini? Apalagi? Tidak cukupkah sampai disini saja? Apa aku harus pasrah menerima nasibku? Mencoba menjalani saja? Tidak ... aku tidak mau.
Saat mereka berjudi, tangan nakal Tuan Joan seakan mulai menggerayangiku. Jelas saja, dia sudah menjadi pemenang lelang. Namun, dia juga tak marah saat yang lain ikut-ikutan mau menyentuhku. Dia malah terkekeh bangga karena bisa membagi ku pada yang lain.
Aku jadi mengingat ucapan Gwen sebelumnya, bahwa mereka bisa menyentuhku selama dalam permainan ini, karena aku disini semacam salah satu objek kesenangan dan penghiburan untuk para tamu.
Dengan gerakan ragu, aku selalu mencoba menghindar agar tubuhku tidak tersentuh oleh salah satu dari mereka.
Namun rupanya, Tuan Donald yang paling marah saat menyadari penolakan ku saat ingin disentuhnya.
Pria itu tiba-tiba berdiri, melemparkan kartu ke atas meja, secara otomatis permainan mereka pun berhenti.
Tuan Donald menatapku nyalang. Dalam sekali pergerakan, dia mendekat padaku. Aku salah perkiraan karena justru mundur kearah dinding. Aku tersudut disana dengan keadaan Tuan Donald berada tepat didepanku.
Sedang ke lima temannya yang lain, bukannya menolongku, justru menganggap kejadian ini seperti tontonan yang paling seru.
Bukan cuma meja mereka yang menghentikan permainan, tapi orang-orang yang menempati beberapa meja lain di lantai yang sama, juga ikut menyaksikan keadaanku yang lemah dibawah intimidasi Tuan Donald.
Aku terpojok, saat tangan besarnya menyentuh pipiku. Mereka semua menontonnya. Bahkan bersiul dan menyorakkan kalimat-kalimat yang menjijikkan.
"Ya, lanjutkan Donald. Dia perlu diberi pelajaran!"
"Dia layak mendapatkan hukuman!"
"Benar, karena dia menolak kita sentuh!"
Aku tidak tau bagaimana caranya agar aku cepat terhindar dari situasi seperti ini. Aku mau pergi, tapi tidak bisa bergerak karena aku benar-benar terpojokkan.
"Ja-jangan, Tuan!" mohonku. Aku takut Tuan Donald menyentuhku lebih jauh lagi.
"Kau benar-benar tidak mau disentuh ya? Dia menyeringai.
"Tolong, Tuan. Jangan perlakukan aku seperti ini." Aku kembali terisak.
"Jangan sok suci!" umpatnya. "Keberadaanmu disini sudah cukup membuktikan bahwa kau bukan gadis baik-baik jadi jangan menolak sentuhanku. Aku paling benci ditolak!"
Tiba-tiba tangan pria itu naik, dia menjambak rambutku hingga membuat kepalaku terdongak.
"Lihat aku, Girl!"
Mungkin dia melakukan itu karena tak suka dengan sikapku yang selalu menunduk dan tidak mau menatapnya.
Aku meringis saat merasakan sakit di kulit kepalaku karena jambakannya.
"Kau semakin cantik dengan wajah sembab dan ketakutanmu itu," katanya menyeringai.
Sementara suara orang dalam ruangan itu seakan mendukung perbuatan kasar Tuan Donald kepadaku.
Ku rasa sia-sia saja jika aku berharap ada salah seorang diantara mereka yang mempunyai hati nurani untuk melarangnya berbuat kasar padaku dan mau menolongku.
Tuan Donald hampir menciumku saat suara tepuk tangan terdengar dari arah yang berlawanan. Dia segera beringsut dari depan wajahku demi melihat siapa yang sedang bertepuk tangan disana.
"Hebat. Pertunjukan apa yang sedang disajikan disini?" tanya orang itu, kalimatnya terdengar sangat sarkasme.
Aku tidak melihat siapa pendatang itu, karena aku sibuk menata perasaanku yang berkecamuk ketakutan karena perbuatan Tuan Donald sebelumnya. Tapi, suara orang itu sangat tidak asing bagiku. Suara seraknya seperti ...
"Tuan Gladwin?!"
Entah siapa yang berseru, namun hal itu cukup untuk menemukan jawaban, bahwa pria yang baru saja datang dan bicara itu adalah Tuan Gladwin. Kenapa dia bisa disini? Bukankah dia tak akan kesini?
"Kami semua sedang ..." Tuan Joan menatap Tuan Donald seolah meminta bantuan agar dapat menjawab pertanyaan dari Tuan Gladwin disana.
Alih-alih mau mendengarkan penjelasan dari kedua orang itu, Tuan Gladwin justru mengadahkan tangan sebagai isyarat tak mau mendengar apapun dari mereka.
Aku dapat melihat aura berbeda dari Tuan Javier, dimana kini dia tampak lebih dingin dan dominan daripada biasanya.
"Mana Aro?" Tuan Gladwin bertanya.
Suara hentakan kakinya terdengar mendekat ke arahku, dia setengah berjongkok--tepat didepanku yang kini sudah terduduk dilantai--dengan keadaan yang pasti sangat kacau.
"Mana Aro!?" Suara Tuan Gladwin meninggi. Meski dia dihadapanku, tapi aku tau dia tidak menanyakan keberadaan Tuan Aro kepadaku, dia bertanya pada keenam orang yang tadi sudah membuatku jadi objek kesenangan mereka.
"Aku disini, Tuan."
Tiba-tiba Tuan Aro muncul dari balik lift yang terbuka. Dia tampak tergesa-gesa. Dia berdiri dengan menundukkan kepala disana.
"Kau tau jika disini ada pertunjukkan tadi?" Tuan Gladwin bertanya pada Tuan Aro sambil menunjukku.
"Maaf, Tuan. Soal Elin ... dia--dia sendiri yang mau bekerja malam ini," jawab Tuan Aro dengan gelagat gugup dan takut-takut. Padahal Tuan Gladwin bukan menanyakan tentangku, tapi Tuan Aro malah menjelaskan mengenai diriku pada pria itu.
Aku langsung mengangkat wajah, karena jawaban Tuan Aro sangat bertolak belakang dengan kenyataan. Aku tidak pernah menyatakan mau bekerja. Jangankan malam ini, bahkan malam-malam sebelumnya pun demikian. Aku tidak mau bekerja disini.
Tuan Gladwin sedikit melirikku, entah kenapa aku mengartikan tatapannya itu seolah sedang meminta jawaban dariku. Aku pun meresponnya dengan gelengan samar.
"Kau tau kan, kalau kau sudah melanggar kesepakatan kita!"
Aku tak mengerti apa maksud ucapan Tuan Gladwin pada Tuan Aro, yang jelas sekarang perasaanku cukup lega, karena pada akhirnya aku terlepas dari situasi dimana aku harus berada diantara enam orang hidung belang.
"Iya, Tuan. Aku bersalah." Tuan Aro tampak pasrah pada tuduhan Tuan Gladwin.
Tak berapa lama, Tuan Gladwin langsung memasuki lift, dia tidak menyapaku sama sekali. Tapi sesaat setelah kepergiannya, Tuan Aro memintaku untuk bangkit dan mengikutinya.
Didalam lift, Tuan Aro berbicara padaku..
"Kau membuat keributan di lantai 3, Elin. Jadi kau akan ku hukum setelah ini."
Aku diam tak menyahut.
"Kembali ke kamarmu. Jangan keluar sebelum aku yang menyuruhmu!"
Aku hanya bisa mengangguk, aku terlalu lelah untuk meladeni dan berujung dengan perdebatan nantinya.
Yang jelas, aku bersyukur sudah bisa keluar dari keadaan absurd tadi. Dan aku harus menyiapkan diri untuk hukuman yang mungkin akan ku terima dari Tuan Aro.
Tiga hari disini, sudah membuatku sangat tersiksa. Aku masuk kamar sambil menangis. Meratapi nasibku, juga mengingat jika Liam sudah menikmati uang hasil menjual ku di tempat ini. Benar-benar miris.
...Bersambung ......
Tolong berikan like dan dukungan ke novel ini yaa🙏🙏