NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kutukan

Kalimat itu menggantung di udara yang pengap, lebih berat dari keheningan yang menyusul setelah Rina menutup telepon. Sebaiknya Bapak tidak datang sendirian.

Angkasa tidak menjawab. Ia hanya menurunkan ponsel dari telinganya dengan gerakan lambat, seolah benda itu tiba-tiba memiliki bobot satu ton. Sendirian. Kata itu adalah lelucon paling kejam yang pernah ia dengar. Siapa yang harus ia bawa? Hantu ayahnya? Bayangan ibunya? Atau Mia, gadis yang mulai memberikan warna dalam kehidupan monokromnya?

Angkasa tertawa. Sebuah suara tawa yang serak dan kosong, tanpa sedikit pun keceriaan, memantul ganjil di dinding-dinding kamarnya yang sempit. Ia sendirian. Selalu sendirian. Tentu saja ia akan datang sendirian.

Surat rujukan di atas meja itu kini tampak seperti undangan pemakaman. Ia meraihnya, melipatnya dengan rapi, lalu memasukkannya ke dalam saku celana jinsnya yang warnanya sudah pudar. Tidak ada panik. Tidak ada air mata. Hanya ada sebuah penerimaan yang dingin dan menusuk, seperti bongkahan es yang terbentuk perlahan di rongga dadanya. Ketakutan yang selama ini ia coba enyahkan kini telah terwujud, dan anehnya, ia merasa lebih tenang. Pertarungan melawan bayangan telah usai. Sekarang ia hanya perlu menatap monster itu tepat di matanya.

.

.

.

.

.

Rumah sakit adalah sebuah dunia lain yang beroperasi dengan aturannya sendiri. Udara di lorong-lorongnya berbau campuran aneh antara disinfektan, penderitaan, dan harapan yang dipaksakan.

Angkasa berjalan melewati hiruk pikuk itu seperti hantu, namanya yang tertera di surat rujukan menjadi satu-satunya identitasnya. Ia mendaftar di bagian pendaftaran dengan suara monoton, menjawab pertanyaan-pertanyaan administratif seolah sedang membacakan naskah drama orang lain.

Ruang tunggu poli hematologi lebih sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk berjauhan, wajah mereka membawa beban cerita yang sama beratnya. Angkasa memilih kursi paling sudut, menyandarkan kepalanya ke dinding yang dingin, dan menutup mata. Ia tidak ingin melihat. Ia tidak ingin merasakan. Ia hanya ingin semua ini cepat selesai.

“Atas nama Bapak Angkasa Dirgantara?”

Suara itu menyentaknya kembali ke kenyataan. Seorang perawat berdiri di ambang pintu sebuah ruangan. Angkasa bangkit, kakinya terasa berat, dan melangkah masuk.

Dokter Hendrawan, pria berusia lima puluhan dengan rambut yang mulai memutih di pelipis dan sorot mata yang tajam namun penuh empati. Ia tidak banyak berbasa-basi. Di mejanya, tergeletak hasil tes darah Angkasa, deretan angka-angka yang tidak Angkasa mengerti namun ia tahu adalah vonisnya.

“Selamat siang, Pak Angkasa. Silakan duduk,” kata Dokter Hendrawan, suaranya tenang dan dalam.

“Saya sudah menerima hasil tes Anda dari Klinik Sehat Sentosa dan sudah kami konfirmasi ulang di lab kami pagi ini, dan kami juga sudah melakukan tes ulang pada sample darah Anda.”

Angkasa duduk di kursi di seberang meja. Ia hanya mengangguk.

Dokter Hendrawan menatapnya lekat-lekat, seolah mencoba mengukur kekuatan pria muda di hadapannya.

“Saya akan langsung ke intinya, ya. Hasil tes darah Anda menunjukkan kondisi yang sangat serius.” Dokter Hendrawan membalik kertas di hadapannya.

“Ketiga komponen utama darah Anda, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit, jumlahnya sangat rendah. Ini bukan anemia biasa. Ini indikasi kuat bahwa pabrik pembuat darah di tubuh Anda, yaitu sumsum tulang, tidak berfungsi sebagaimana mestinya.”

Wajah Dokter Hendrawan terlihat tenang, tapi jelas dimatanya sebuah rasa iba tertuju pada Angkasa.

Angkasa merasakan es di dadanya mulai retak. Ia sudah tahu. Ia sudah menduganya. Tapi mendengarnya diucapkan dengan begitu lugas rasanya seperti ditampar.

“Apa… nama penyakitnya?” tanya Angkasa, suaranya nyaris tak terdengar. Tangannya yang basah oleh keringat mengepal diatas paha yang berbalut jeans usang.

Dokter Hendrawan mengambil napas pelan.

“Dari semua gejala dan hasil lab ini, diagnosisnya mengarah kuat pada satu kondisi, Anemia Aplastik.”

Dunia Angkasa berhenti berputar. Nama itu. Dua kata itu adalah gema dari masa lalunya yang paling kelam, sebuah warisan yang ia kira telah terkubur bersama jasad ayahnya. Ia bisa mencium lagi aroma balsam dan obat-obatan dari kamar ayahnya yang temaram. Ia bisa melihat lagi senyum lelah itu.

“Ayah saya…” bisik Angkasa, matanya menatap kosong ke arah deretan buku medis di rak belakang sang dokter.

“Meninggal karena penyakit itu.”

Sorot mata Dokter Hendrawan melembut, dipenuhi simpati.

“Saya turut berduka, Pak. Kalau begitu, Anda mungkin sudah sedikit tahu tentang kondisi ini. Anemia Aplastik terkadang bisa bersifat turunan. Ini menjelaskan banyak hal.”

“Jadi ini kutukan?” Angkasa bertanya, nadanya datar, tanpa emosi. Pertanyaan itu lebih ditujukan pada takdir daripada pada sang dokter.

“Ini adalah kondisi medis yang langka dan serius, Pak Angkasa. Bukan kutukan,” jawab Dokter Hendrawan dengan lembut namun tegas.

“Dan yang terpenting, ini bisa ditangani. Tapi kita harus bergerak cepat.”

Senyum getir tersungging di bibir pemuda tampan itu.

“Ditangani bagaimana?” tanyanya gamang.

“Untuk jangka pendek, kita harus segera menaikkan jumlah sel darah Anda melalui transfusi. Terutama trombosit Anda yang sudah di level yang sangat berbahaya. Satu benturan kecil saja bisa menyebabkan pendarahan internal,” jelas sang dokter.

“Karena itu, saya harus meminta Anda untuk rawat inap. Hari ini juga.”

Rawat inap. Kata itu terasa begitu final.

“Lalu untuk jangka panjang?” tanya Angkasa, sudah tahu jawabannya akan seperti apa.

“Satu-satunya jalan untuk kesembuhan total adalah melalui transplantasi sumsum tulang belakang. Kita mengganti pabrik darah Anda yang rusak dengan yang baru dan sehat.”

“Donor?”

“Betul. Idealnya dari saudara kandung. Peluang kecocokannya paling tinggi.”

Angkasa tersenyum miring. Sebuah senyum pahit yang bahkan tidak mencapai matanya. “Saya tidak punya saudara kandung. Saya… tidak punya keluarga.”

Dokter Hendrawan terdiam sejenak.

“Kalau begitu, kita bisa mencari dari bank donor nasional atau internasional. Prosesnya memang lebih lama dan lebih rumit. Belum lagi soal biaya…”

Biaya. Kata terakhir itu adalah paku terakhir di peti matinya. Ia seorang barista paruh waktu yang hidup dari gaji ke gaji. Tabungannya bahkan tidak cukup untuk membayar sewa apartemen selama tiga bulan ke depan.

“Saya mengerti,” hanya itu yang bisa Angkasa katakan.

Dokter Hendrawan menatapnya, melihat kepasrahan yang dingin di mata pemuda itu. Ia melihat seseorang yang tidak sedang berjuang, melainkan seseorang yang sedang menerima eksekusi.

“Pak Angkasa,” katanya, mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Jangan menyerah sebelum kita berperang. Ada banyak jalan. Ada yayasan, ada program bantuan pemerintah. Yang paling penting sekarang adalah menstabilkan kondisi Anda. Biarkan kami merawat Anda dulu, ya? Soal yang lain, kita pikirkan bersama nanti.”

Angkasa tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Perang? Ia sudah lelah berperang seumur hidupnya. Berperang melawan kenangan, melawan kesepian, melawan kerinduan. Mungkin inilah saatnya untuk berhenti.

.

.

.

.

.

Seorang perawat mengantarnya ke kamar rawat di lantai tujuh. Sebuah ruangan dengan tiga tempat tidur, bercat putih pucat yang menyilaukan. Saat ini, hanya tempat tidurnya yang terisi. Dua matras lain di sampingnya masih terbungkus seprai putih yang rapi dan kaku, menunggu penghuni berikutnya.

Setelah perawat memasang infus di punggung tangannya dan menjelaskan jadwal pemeriksaan, Angkasa ditinggal sendirian. Ia menatap tetesan cairan bening yang mengalir perlahan melalui selang, masuk ke dalam pembuluh darahnya. Kehidupan artifisial.

Ia berbaring, menatap langit-langit putih yang tak berujung. Ia merasa seperti kapal yang akhirnya karam setelah terlalu lama dihantam badai. Tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Ia telah sampai di tujuan akhirnya. Ditinggalkan ibunya untuk memulai hidup baru, dan kini ditinggalkan oleh tubuhnya sendiri, mengikuti jejak ayahnya. Sebuah lingkaran sempurna yang tragis.

Ia memejamkan mata, membiarkan kelelahan yang sesungguhnya, kelelahan jiwa, menelannya utuh. Suara roda ranjang dorong dan langkah-langkah kaki di koridor menjadi musik pengantar tidurnya.

Beberapa jam kemudian, ia terbangun oleh suara pintu kamarnya yang berderit pelan saat dibuka. Matanya yang berat mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya senja yang masuk dari jendela.

“Permisi… ini kamar nomor 702, kan?”

Sebuah suara perempuan terdengar dari ambang pintu. Tegas, sedikit lelah, tetapi menenangkan.

Angkasa menoleh perlahan. Seorang wanita muda, mungkin seumuran Angkasa berdiri di sana, tapi bukan dia tidak terlihat seperti perawat rumah sakit. Pakaiannya biasa. Dia datang dengan mendorong sebuah kursi roda, dan ada seorang remaja laki-laki yang wajahnya pucat dan tampak kesal, duduk di kursi roda itu.

“Iya, benar,” jawab Angkasa lirih.

Wanita itu tersenyum tipis padanya, sebuah senyum sopan yang tidak bisa menyembunyikan kelelahan di matanya. Ia kemudian menoleh pada remaja di kursi roda.

“Ayo, Gilang. Kita sampai. Ini kamar barumu untuk beberapa hari ke depan.”

Remaja itu, Gilang, mendengus.

“Bagus. Penjara baru.”

1
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!